20- Argh!

59 8 3
                                    

"Haaa Aidan plis jangan giniii!!!" Pekiknya memukul mukul kaca mobil yang dikunci Aidan.
 
"Kasian Wela!!"
 
"Ntar Wela masuk angin gimana?! Kamu mau ngerokin?! Enggak kan?!"
 
"Ish!! INI KACANYA KENAPA GAK BISA DIBUKA SIH?!"
 
"BUKA KUNCI KACANYA DAN!!"
 
"ATAU ACHA PECAHIN KACANYA SEKARANG HAH?!"
 
"AIDANN! REM MOBILNYA! EH DOMBRET!"
 
"ACHA BAKAL TURUN!!!"
 
"ACHA TURUN!"
 
"ACHA TURUN SEKARANGG!!"
 
Acha dengan rengekannya itu mengguncang guncang lengan abangnya yang tengah menyibukkan seluruh perhatiannya untuk menyetir. Siapa yang akan mengira kekejaman dadakan Aidan? Leher anak kucing yang diikat tali tak berdosa itu, Aidan gantung di spion kiri mobilnya. Dan baru 200 meter saja mobil putih itu melaju, Acha sudah tak tahan dengan syarat abangnya itu. Aidan yang tak mau kupingnya mendadak budek karena mendengar rengekan setengah berteriak dari adiknya itu akhirnya memindahkan kakinya ke pedal rem.
 
Ciiittt..
 
"Apaan sih Cha? Katanya lo udah sepakat, lah sekarang?"
 
"Ya nggak gini juga kali Dan!!" Ketus Acha seraya turun dari mobil.
 
Sesegera mungkin Acha melepaskan ikatan tali pada leher anak kucing malang itu.
 
"Nahloh Dan, siap-siap ntar lo dijadiin sop iga sama Acha." Racau Bastian, ngasal.
 
"Emm.. kasian kamu Wela." Rengek Acha sembari mengelus kepala kucing itu.
 
"DASAR MANUSIA TAK BERPERI KEKUCINGAN!" Ketus Acha.
 
"Cha, udah sini naik!" Ketus Aidan.
 
"Enggak! Mending Acha jalan kaki aja kalo kayak gini!"
 
"JALAN KAKI?! Waduh Cha, jangan gila! Rumah masih jauh amat ini!!" Ucap Bastian yang mengeluarkan kepalanya dari kaca mobil yang terbuka.
 
"Enggak!! Udah sana!" Gerutunya.
 
Aidan menghela napasnya. Ia lalu membuka pintu mobil, dan menghampiri adiknya itu.
 
"Apa?! Kenapa turun?! Udah sana aja!" Bentak Acha.
 
"Acha," ucap Aidan lembut.
 
"APA?! Udah puas liat Wela gini? Aidan kalo emang nggak ijinin Acha pelihara Wela yaudah!"
 
"Yaudah apa?"
 
"Acha bakal ngontrak rumah di hutan kemarin!"
 
"Buset Cha! Lo rela jadi tarzan demi tuh kucing gitu?" Sergah Bastian.
 
"Meow" sahut Wela.
 
"Acha rela lakuin apapun demi Wela! Kalian nggak kasihan apa lihat Wela? Dia nggak punya orang tua tau!" Ketus Acha.
 
"Nggak punya orang tua? Tau dari mana lo, Cha?" Tanya Bastian.
 
"Enggg.. Acha.. Acha lihat KK nya lah! Tadi Wela yang ngasih!" Jawab gadis ini, ngasal.
 
Bastian manggut-manggut, lalu menatap Aidan. "Dan, emang pemerintah juga bikinin KK buat binatang?" Tanya cowok kurang waras itu yang langsung dikeplak keningnya oleh Aidan.
 
Aidan berdecak pelan. Dia sungguh tak ingin berdebat lagi dengan adiknya satu ini, karena akan membuatnya tuli.
 
"Acha, lo naik, kita pulang sekarang. Mama udah nunggu lo."
 
"Enggak! Enggak! Enggak!"
 
Mendengar teriakan adiknya itu, Aidan pasrah. Tidak ada pilihan lain lagi selain memperijinkan kucing itu duduk bersama Acha di dalam mobilnya.
 
"ACHA! Ah!! Yaudah tuh kucing boleh duduk di dalem! Ah pusing gueee!!!" Gerutu Aidan seraya mengacak-acak rambutnya sendiri.
 
Aidan memang begitu. Ia tak ingin ada noda sedikitpun pada apa yang ia miliki. Baik penampilannya, dan kamarnya pun jangan ditanya. Rapi serapi barisan paskibraka, walau kadang otak cowok itu agak kurang waras karena tertular Bastian yang entah tertular dari siapa.
 
"Nggak ikhlas!" Gerutu Acha.
 
"Gue ikhlas Cha!"
 
"GUE IKHLAS!" Ketus Aidan.
 
***
 
"Mama!!"
 
Acha berlari menghampiri Mamanya itu yang tengah duduk cemas di sofa ruang tamu bersama Laura. Mereka lalu berpelukan laksana sudah berpisah 1000 tahun.
 
"Kamu baik-baik aja kan sayang? Ada yang luka? Ini tangan Acha kenapa di perban?" Tanya Ms. Radha.
 
"Loh ini kok ada meow lucu sih?" Sambungnya menatap Wela.
 
"Iya Ma. Kenalin ini Wela. Kucing yang Acha temuin di hutan." Jawabnya.
 
"Acha juga baik-baik aja kok Ma, ini luka kecil, cuma-"
 
"Acha jatoh ke sumur tua, Ma." Jawab Aidan.
 
"Ho'oh, dia pun ditolong ketua OSIS itu, si Satya." Sergah Bastian yang langsung meneguk minuman isotoniknya.
 
"Wait, Satya?" Kekuk Laura yang seketika menganga.
 
"Lo.. lo terjebak di hutan sama OSIS keren itu?!" Tambahnya.
 
Acha manggut-manggut. Dengan ekspresi yang susah dimengerti, dengan mulut sedikit menganga, dengan susah payah Laura dan Ms. Radha memutar lehernya, akhirnya saling menatap satu sama lain.
 
"AH, JINJJAH?!" Pekik mereka, bersamaan.
 
"Hah?" Acha kurang paham.
 
"Lo berarti udah-"
 
"Acha udah tau semuanya Ra, kalo makhluk kutub itu punya kembaran." Sergah Acha sembari membanting tubuhnya di sofa.
 
"Berarti Acha udah kenal baik sama dia?" Tanya Ms. Radha sembari duduk di samping putrinya itu, begitu juga diikuti oleh Laura yang duduk sambil manggut-manggut semangat.
 
"Emm," Acha menepak nepak dagunya menggunakan telunjuknya, memulai dongeng panjangnya untuk ia ceritakan kepada Mama dan sahabatnya yang kepo itu.
 
***
 
"Huhh, selamat kamu Sat." Ucap Chef Andhra sembari menepuk pundak Satya.
 
"Pulang lo?" Ketus Rama yang menyenderkan punggungnya pada ambang pintu kamarnya.
 
Detik itu juga, Satya mendongak keatas, menatap saudara kembarnya itu sekilas.
 
"Hm." Dehamnya sembari melempar ranselnya di sofa.
 
Tok..
 
Satu anak tangga Rama injak.
 
"Gue kira lo bakal bikin rumah di hutan itu." Sinisnya.
 
"Gue nggak ada waktu." Jawab Satya, sembari duduk di sofa dan melepaskan sneakersnya.
 
Tok..
 
Anak tangga kedua akhirnya ia turuni.
 
"Gaada waktu apanya? Menang banyak kan lo bisa tersesat dihutan sama Acha?" Lanjutnya, sinis.
 
Satya terdiam. Ia berusaha menahan amarahnya.
 
"Ram," panggil Chef Andhra, berusaha mencegah terjadinya perang saudara itu.
 
Tok..
 
Anak tangga ketiga ia turuni lagi dengan tatapan sinis dan sarkastis.
 
"Ya ya, gue tau lo-"
 
Kalimatnya terputus kala Satya mendekatinya. Satya hanya tak ingin ada salah paham akibat kejadian kemarin yang mungkin membuat kembarannya itu salah paham.
 
"Kalo lo gatau apa yang sebenernya terjadi, mending tutup rapat mulut lo. Gausah sok menghakimi orang lain yang belum tentu lo tau persis apa yang sebenernya udah terjadi." Ucapnya, dingin.
 
Mendengar jawaban Satya yang tak terduga itu, Rama seketika berpikir, dimana kesalahannya.
 
"Wait. Salah gue dimana?" Jawabnya.
 
"Lo pikir sendiri." Jawab Satya seraya menggantungkan ranselnya di bahu kanannya, dan bergegas menaiki tangga.
 
***
 
"SATU DUA, SATU DUA TIGA MUSIK!"
 
"TERETETETETETETERETETETETERETETETETETERERET!!"
 
"YOU GOT ME LIKE!"
 
"HO O O!!"
 
"IGEON AMU GAMDONG EOBSNEUN LOVE STORY!!"
 
"HO O OO!!"
 
"EOTTEON SEOLLEMDO EOTTEON UIMIDO!"
 
"HO O OO!"
 
"&^@€¥@₩*@&*@^@¥¥&@*@?&@ NOT SORRY!"
 
"HO O OO!"
 
"@^#¥¥@& NAN NAN NAN!"
 
"BICH-I NANEUN SOLLO!"
 
"TERETETETETETET TERETETETETETETTET TERETTETETETTETET, BICH-I NANEUN SOLLO!"
 
Gema suara musisi dadakan itu membuat Acha melongo. Kelakuan sahabatnya itu sangat bobrok. Untungnya dikelas itu hanya ada mereka berdua, alias masih terlalu pagi untuk semua siswa ada disana.
 
"Ra?"
 
Laura mendongakkan kepalanya kearah sumber suara, lalu melambaikan tangannya semangat kearah Acha, sahabatnya.
 
"Annyeong Acha!!"
 
Insecure. Itu yang dirasakan Acha detik itu. Ia lalu berjalan ke bangkunya dan meletakkan ranselnya.
 
"Acha baru tau, ada pula orang yang nyanyi pukul 6 pagi."
 
"Dan itu gue!" Ucap Laura seraya melempar tubuhnya pada bangku sebelah Acha.
 
"Cha, lo tau nggak sih, waktu lo ke Kintamani, Rama Cha!!"
 
"RAMA!!"
 
Seketika Acha membeku sejenak. Perasaan ini sama seperti Satya membentaknya di Perpustakaan.
 
"Iya, ke-kenapa sama Kak Rama?" Kekuk Acha, menatap heran sahabatnya itu.
 
"Gue dikasih cokelat sama dia!! ASTAGA! BARU GUE RASAKAN BETAPA INDAHNYA DUNIA!"
 
"C-cuma di kasih cokelat k-kan?"
 
Mendengar jawaban gila dari Acha, Laura segera menatap tajam kearah Acha.
 
"Eeee... Acha-"
 
"Lo tau nggak sih," Ucap Laura dengan raut wajah bersinetron.
 
"Banyak cewek disini yang PUENGENNN bangett dikasih cokelat Cha! Jangankan dikasih cokelat," sambung Laura dengan raut wajah seperti membaca puisi, lengkap dengan kerutan dikeningnya dan kelima jari tangannya yang seolah akan mencubit.
 
"Disenyumin pun mereka udah beruntung banget!!"
 
"Dan satu lagi." Sambungnya sok serius.
 
"Gue.."
 
"Eee.. iya, kamu..?"
 
Brakkk..
 
Laura menggebrak meja dan berdiri. Sampai Acha terkejut dibuatnya.
 
"GUE SUKA SAMA RAMA!" Jawab Laura dengan penuh drama.
 
"Hah? Bu-bukannya emang dari dulu kamu suka sama kembar itu?"
 
"TIDAK, ACHA!" Bentak Laura penuh drama.
 
Laura lalu melangkah setengah meter dari tempatnya berdiri tadi. Seperti di film-film action Korea yang ia gemari, Laura berlagak seperti Ibu di iklan keju Kraft Chedar.
 
"Rama itu.. lain dari Satya. Satya terlalu dewasa bagi gue Cha!"
 
"Ee.."
 
"Ssstt!" Laura menempelkan telunjuknya ke bibir Acha.
 
"Rama itu.. seperti pangeran dimata gue. Dia sempurna. Gue sampe gak bisa menggambarkan kesempurnaannya hanya dengan kalimat, Cha!" Ujarnya, agak puitis.
 
Acha hanya diam menonton drama gratis dari sahabatnya itu, sembari manggut-menggut mengiyakan saja.
 
"Andai juga nama gue Shinta, pasti gue bakal jodoh sama Rama."
 
Dan sungguh, ini bukanlah kisah Ramayana. Acha mendegus, berusaha terlihat asri berseri dihadapan sahabat semata wayangnya satu ini.
 
"Ra, Acha bukannya nakut-nakutin ya. Kak Satya sama Kak Rama tuh kan kembar, jadi mereka pasti punya fans yang sama juga. Kayak yang Acha temuin pas kegiatan Go Green. Dan Acha cuma nggak mau Laura diteror sama mereka karena suka sama Kak Rama, persis sama yang Acha ceritain kemarin."
 
"Iya sih, Cha. Tapi gue suka sama Rama." Lirihnya. "Trus, Rama ada rasa juga nggak ya, sama gue?" Tanyanya entah pada siapa. Laura kemudian menatap tubuhnya pada pantulan cermin yang dipasang di tembok belakang Acha. "Gue.. nggak sempurna kayak tubuh lo, Cha. Gue rasa gue harus diet lagi." Ujarnya yang sebenarnya sangat tidak terlalu gemuk.
 
Padahal, banyak siswi yang bilang kalau Acha dan Laura adalah contoh body goals impian mereka, namun Laura masih saja menganggap dirinya itu lebih gemuk daripada Acha.
 
"Apa masalahnya suka sama seseorang cuma urusan fisik?"
 
Mereka akhirnya saling bertatapan.
 
"Ra, dengerin Acha. Cinta itu buta. Sekalipun udah ada rasa nyaman dan sayang, sulit untuk memandang hal lain. Dan, kalo orang yang kamu cintai itu bener-bener suka sama kamu, baik itu dari segi hati yang udah saling bertaut, dan perasaan yang udah jadi satu, pasti dia nggak bakal bisa ngelupain kamu. Sekalipun mulutnya berkata dia suka sama yang lain." Pidato Acha.
 
"Hmm, beber sih. Tapi.. apa Rama juga punya perasaan yang sama kayak gue?"
 
"Acha juga nggak tau, Ra. Tapi kamu harus perjuangin dia, sedingin apapun sikapnya, secuek apapun lagaknya, kamu harus buat dia nyaman sama kamu." Ucap Acha, tenang.
 
Mendengar jawaban sahabatnya itu, Laura menjadi cengengesan. Ia lalu memeluk Acha seperti boneka.
 
"Gue bakal kejar Rama." Isaknya.
 
Acha mengelus punggung sahabatnya itu,"Acha pasti bakal bantu kamu, Ra."
 
Kedua sahabat itu tidak akan tau apa yang akan terjadi setelah ini. Acha memang akan membantu Laura, tapi apakah nanti Laura yang harus mengalah karena hal yang tak terduga?
 
Ini adalah awal
dari sebuah puncak kisah,
dimana nantinya akan ada yang harus
"Tetap Bertekad" atau "Mengalah."
 
Ini adalah awal pula,
dari sebuah puncak kisah,
dimana nantinya kebijaksanaan pola pikir yang berkuasa,
rikala harus memilih antara "Cinta" atau "Sahabat."
 
"Sekarang Laura duduk aja dulu, rileks." Ujar Acha seraya menepak-nepak bangku disebelahnya.
 
"Mana bisa Cha, lo nyuruh gue duduk, tapi gue pengen pipis!"
 
"Yaampun! Pasti gegara tadi banyak minum minuman jeruk itu kan?!"
 
Laura mengangguk dan menunjukkan deretan gigi putihnya.
 
"Yaudah sana, Acha tunggu di kelas aja."
 
***
 
"Acha,"
 
"Apa lagi sih Ra?!"
 
Setelah berujar seperti itu, Acha menoleh. Dilihatnya Rama yang berdiri disamping bangkunya dengan membawa cokelat ditangannya. Wah, eror nih. Masa, bertahun-tahun Acha mengenal Laura, suara cowok pun, Acha kira itu Laura. Memang sih, kalau Laura sedang uring-uringan, gadis itu mengeluarkan suaranya yang mirip seperti suara cowok.
 
"Ee.. Kak Rama?"
 
Rama menyodorkan cokelat yang ia bawa,"Buat lo."
 
Acha diam seribu bahasa. Ia sama sekali tak mengerti. Ada sebuah persepsi kenapa tidak Laura saja yang diberi cokelat itu?
 
"Acha.. Acha nggak suka cokelat, Kak. Nanti kata Mama kalau kebanyakan makan cokelat, gigi Acha bisa bolong." Jawabnya, bohong.
 
Padahal, semua jenis cokelat disukainya, termasuk stok persediaan Oreo milik Aidan yang disembunyikan di bawah kasurnya, karena Aidan tau kalau saja Acha mencuri dua sampai tiga bungkus Oreo miliknya.
 
"Lo pasti bohong, gue tau kok."
 
Sungguh, Acha terjebak dengan dialog Rama saat ini. Apa yang harus Acha jawab? Cokelat itu menggoda hatinya. Acha meneguk ludahnya. Baiklah, baiklah. Acha kali ini harus menganggap ludahnya itu berasa seperti cokelat. HARUSS!
 
"I-iya, Acha gak bohong Kak. Lagian dalam rangka apa ngasih cokelat buat Acha? Sekarang bukan hari Valentine kan?" Tanya gadis itu yang kemudian hanya dipandang Rama tanpa respon apapun.
 
"Nah, gimana kalo cokelatnya Kakak kasih ke Laura?"
 
Rama menggeleng,"Buat apa gue kasih ke dia?"
 
"Orang gue sukanya sama lo, bukan Laura." lanjutnya dalam hati.
 
"Ya.. karena Acha ga suka makan cokelat, Kak. Sedangkan Laura suka banget makan cokelat."
 
"Apa hubungannya?"
 
"Acha sama Laura itu kayak saudara. Jadi apa apa yang Acha nggak suka, pasti Laura bakal mau nerima apa yang Acha nggak suka."
 
"Gitu ya?"
 
Acha menggut manggut semangat.
 
"Lagian, menurut Acha, Laura lebih dari segalanya dari Acha."
 
"Gue nggak paham itu, dan gue nggak mau ngasih ini ke Laura."
 
"Lo terima ini, makan. Siapa tau langsung suka makan cokelat." Sambungnya seraya menaruh cokelat itu dan berbalik badan hendak pergi.
 
Namun, saat Rama hendak melangkahkan kakinya, Laura berdiri diambang pintu kelas. Acha mendongakkan kepalanya menatap orang yang menyebabkan Rama berhenti melangkah, dan itu adalah sahabatnya sendiri.
 
"Eee.. Laura?" Ujar Acha seraya berdiri.
 
Tapi Laura mencoba bersikap biasa saja, walau sejak tadi ia sudah mendengar semuanya. Mulai dari Rama yang berjalan menuju kelas mereka, Laura sudah tau. Dia menguntit dan mengurungkan niatnya untuk ke WC. Dan Laura hanya tersenyum kepada sahabatnya itu.
 
"Ram, lo kesini ngapain?" Ucapnya dengan sedikit tersenyum, walau hatinya sangat rapuh.
 
"Bukan apa-apa." Jawab Rama seraya melangkah keluar kelas.
 
Mendengar Rama berucap seperti itu, Laura menghela napasnya. Ada sedikit rasa sesak yang kemudian menyebar luas di dalam tubuhnya. Laura kemudian memilih untuk mendekari Acha, dan duduk disebelahnya. Sewaktu Acha ke Kintamani untuk mengikuti kegiatan itu, Laura adalah orang pertama yang diberi sebatang cokelat oleh Rama. Dan sekarang, saat Acha sudah kembali, Laura harus menelan kenyataan yang tak sesuai ekspektasinya bahwa Rama tak menyukai dirinya.
 
"Emm.. Ra, kamu.."
 
"Gue baru dateng kok, Cha. Emang Rama kesini karena apa?" Tanyanya pura-pura tidak tahu.
 
"Engg.. dia kesini ngasih ini, buat kamu Ra!" Jawab Acha sembari menyodorkan cokelat yang diberi Rama untuknya, bukan untuk Laura. Bukan.
 
"Untuk gue?" Tanya Laura lagi, sok tidak tau, walau sebenarnya ia sudah tau kalau Acha berbohong agar dirinya tidak sedih, apalagi kecewa.
 
Acha menganguk semangat,"Ini buat kamu."
 
Laura hanya menerima apa yang disodorkan sahabatnya itu, sambil tersenyum kecil.
 
"Gue tau lo bohong Cha. Lo berusaha biar gue nggak kecewa. Tapi gue udah tau semuanya. Kalau Rama cintanya sama lo, bukan sama gue." Batinnya, lirih.
 
"Cha, gue mau tanya."
 
Acha menoleh,"Tanya apa?"
 
"Lo suka sama Rama?" Lanjutnya, dalam hati.
 
Laura menggeleng,"Nggak jadi, hehe." Ujarnya sembari membuka bungkus cokelat, dan menggigitnya.
 
"Acha bakal bantu Laura biar jadian sama Rama! Acha janji!" Ucap Acha sembari memeluk Laura.
 
Tapi Laura hanya meresponnya dengan senyuman kecil. Tak disangka, Laura yang dikenal kuat didepan Acha, memiliki perasaan yang sensitif. Tapi, Laura tak ingin berdebat dengan Acha hanya karena urusan sepele seperti ini. Menurutnya, Acha tak bersalah.
 
"Ada kalanya kita tahu, mana yang lebih utama antara ikatan persahabatan dengan perasaan yang kita miliki untuk orang yang kita cintai diam-diam."
 
"Jangan bertindak tanpa ada keputusan yang bijak."
 
***
 
Pukul 06:15.
 
Satya yang sejak tadi berlalu lalang disepanjang koridor hendak menyelesaikan laporan kegiatan Go Green kemarin, sudah hampir selesai dibuatnya. Namanya juga Ketua OSIS telaten, pasti apa apa yang dikerjakan semuanya harus beres. Hingga beberapa detik kemudian, ia merasakan ada aroma yang menganggu hidung mancungnya. Seperti tidak asing lagi, aroma ini selalu muncul saat Zayyan lupa mencuci kaos kakinya.
 
"Bau apa sih ini?!" Ujarnya sembari menutup hidung.
 
Asal muasal aroma tak menyenangkan itu ia cari untuk dibasmi. Ternyata, benar sudah. Dilihatnya Zayyan yang tengah sibuk menyemproti parfum di kaos kakinya itu di kelas yang masih sepi.
 
"We! Za! Lo ngapain disitu hah?!"
 
Zayyan mendongak dan melihat Satya yang sudah berdiri diambang pintu sambil menutup hidungnya.
 
"Eh Sat! Eee.. ini, gue lagi.. biasalah." Jawabnya tanpa memikirkan dosa yang sudah ia perbuat.
 
"Kaos kaki lo nggak dicuci lagi?! Udah sering gue bilang, cuci!"
 
"Ya.. gue nggak sempet Sat, keburu hari Senin,"
 
"Trus?"
 
"Ya.. biar wangi, gue semprotin parfum lo."
 
"PARFUM GUE?!" Satya buru-buru mendekati makhluk macam Zayyan, dan hendak merenggut kembali parfum miliknya. Tapi, Zayyan menyembunyikan benda itu di belakang punggungnya.
 
Zayyan hanya cengar-cengir tak berdosa.
 
"Dapet darimana lo?!"
 
"Di lorong meja lo, mwehehe."
 
"BALIKIN GAK?!"
 
"Sebentar lah, Sat. Gue belum selesai nih."
 
Satya memijat keningnya yang tidak sakit.
 
"Lo mau lulurin kaos kaki lo pake parfum gue?!"
 
"Mweheh iya Sat, lagian dikit juga gue semprotinnya." Jawabnya, entah darimana mendapat ide tidak waras itu.
 
Satya menghela berat napasnya.
 
"Walaupun lo semprotin parfum, baunya gak bakalan ilang! Malah semakin jelek baunya!" Ketus Satya.
 
"Sama dah tuh, kayak hidup gue. Jomblo mengkarat, kuota hp sekarat, hidup melarat, angan doang pengen jadi konglomerat, untung gak pernah jadi sumber hujat." Curhatnya.
 
"Mobil lo ada dua, mau melarat dari segi mananya lo?" Cibir Satya.
 
"Dari segi hati, gue melarat Sat! Lagian tuh mobil punya Papa gue, bukan seratus persen punya gue!"
 
"Hati gue dulu emang melarat, tapi sekarang udah enggak." Ujarnya dan berlalu.
 
"Hah?! Apa lo bilang tadi Sat?!" Pekik Zayyan yang mengejar Satya.
 
"Lo.. sekarang udah gak homo lagi?"
 
"Sejak kapan gue homo?"
 
"Kali aja kan, siapa tahu lo bosen sama cewek, dan lo malah nyari orang bencong."
 
"Ya. Sejak dia hadir, mungkin hati yang beku sekalipun bisa ditaklukkan, hanya dengan senyum satu detiknya."

***

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang