Pukul 23.00
Acha menarik selimut sampai ke lehernya, tak tahan dengan hawa dingin yang menyerbu kamarnya walau semua pintu dan jendela telah ia tutup rapat-rapat. Hujan lebat di luar sana yang disertai riuh petir menyambar di angkasa hitam pekat membuatnya takut. Sensasi horor ia rasakan di kamarnya yang gelap dan hanya terang redup oleh lampu tidur diatas nakasnya, juga pernah disumbangi cahaya satu detik oleh siluet petir yang menyambar. Acha memeluk erat boneka Ice Bear nya, hidung dan kedua pipinya mulai memerah, padahal selimut yang ia gunakan cukup tebal.
Gruugg..
Gemuruh itu datang silih berganti memberikan suara riuh di heningnya malam bertiraikan rintik hujan lebatnya. Acha menutup kedua telinganya, jam segini dia belum bisa tidur karena gemuruh yang ribut. Namun, diantara suara gemuruh yang Acha dengar, sebuah suara samar-samar dapat ditangkap telinganya. Ini bukan kisah horor, karena suara itu adalah suara manusia yang berada dikamar sebelahnya. Acha membuka kedua tangan yang tadinya membekam telinga, keningnya berkerut berusaha menajamkan indera pendengarannya itu diantara riuh gemuruh.
"Untuk apa lagi, hah?!"
Dan benar saja. Itu adalah suara yang ia tangkap lagi dari kamar sebelah; kamar Mamanya. Perasaannya mulai tak enak, maka Acha bangkit dari tidurnya dan beranjak menuju pintu kamarnya. Tapi Acha tidak bertindak buru-buru, dia harus memastikan semuanya dibalik pintu kamarnya yang belum ia buka. Acha tetap berada di dalam kamarnya, memasang telinga baik-baik.
"Bukannya aku ingin semua ini kamu terima kembali secara langsung, karena aku tahu pilihan ini sulit buat kamu. Aku janji semua-"
"Tidak usah menawarkan apapun lagi. Pergi."
Acha mematung, dia tahu benar siapa orang yang mengajak Mamanya berbicara. Napasnya naik turun, sesak itu kembali menyerbu hatinya. Acha tidak tahan, dia membuka pintu kamarnya secara hati-hati. Di benaknya, Acha tidak ingin Mamanya mengulang semua lagi dari awal. Langkah kakinya beranjak keluar kamar dengan hati-hati, tak ingin membangunkan Aiden dan Bastian jika langkahnya beringas. Acha berbelok ke kiri beberapa langkah, dan berdiri diambang pintu kamar Mamanya yang sedikit terbuka. Gadis dengan baju tidur pink bermotif anak kucing lucu dengan sendal selop berbulu itu tak berani membuka dan memergoki mereka. Dia hanya bisa diam disana sebagai anak Mama yang baik, dan jika terjadi sesuatu pada Mamanya Acha berjanji akan membuka pintu kamar Mamanya dan memukuli orang itu.
Dia adalah Pak Keza, mantan suami Ms. Radha yang tega meninggalkan keluarganya sendiri demi wanita selingkuhannya, Windy.
"Aku tidak akan mengulanginya lagi, Ra. Dia sudah pergi, dan-"
"Dan kamu kembali mengacaukan keluargaku yang damai ini setelah semua yang pernah kamu lakukan?"
"Ini keluargaku juga, Radha. Acha, Aidan, mereka anak-anakku. Bastian, dia keponakanku yang sudah aku anggap seperti anakku juga. Aku berhak mengunjungi mereka, tolong."
"Apa setelah Windy ninggalin kamu baru kamu sadar kalo kamu masih punya anak disini?"
"Radha, aku mohon."
"Sudah berapa kali aku bilang, tidak bisa!" Ucap wanita itu yang terdengar ketus.
Acha yang mendengar itu tak bisa menyangka bahwa pria yang sudah menghancurkan hati Mamanya datang kembali setelah wanita selingkuhannya akhirnya meninggalkannya tanpa Acha ketahui alasannya, dan tiba-tiba menyebut dirinya yang masih berhak mengunjungi keluarganya yang pernah ia abaikan karena berselingkuh dengan wanita lain. Tubuhnya cepat-cepat ia sembunyikan ketika langkah seseorang mendekati pintu, dan akhirnya membukanya. Acha mengintip dari tembok pembatas antara kamarnya dan kamar Mamanya. Ia melihat Mamanya menunggu agar pria itu keluar, namun akhirnya turun tangan saat pria itu menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...