27- Tom and Jerry

23 1 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid berhambur keluar kelas dengan pengalaman jamkos yang menyenangkan, kecuali Rama. Cowok itu berdiri di samping pintu masuk gedung sekolahnya, menatap keluar. Kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya, serta Headphone yang mengalungi lehernya masih menjadi ciri khasnya. Bayi ikan koi yang ia dapatkan tadi dimasukkan kedalam ranselnya, mengamankannya dari kerusuhan siswa yang keluar gedung. Tapi, bukan itu yang sekarang menjadi bahan pikirannya. Rama, cowok itu menatap kosong kedepan, seperti tidak ada kerjaan lain selain menatapi para murid yang tunggang langgang. Bukan saatnya bercanda, cowok itu menganggap serius ucapan Laura di taman belakang tadi.

"Apa.. maksudnya?" Batinnya yang terus terngiang dengan kalimat itu.

Kalimat, yang diucapkan dengan bibir bergetar sebagai wakil dari suasana hati yang sebenarnya. Rama memandang jelas wajah Laura yang tak sedang bercanda saat di taman belakang tadi. Di wajahnya ada ketulusan, yang tak pernah ia dapat dari gadis manapun. Karena orang yang benar-benar ingin memberikan sepenuh hatinya akan memiliki aura berbeda dari ucapannya.

"Ram."

Sebuah panggilan tak mengejutkannya, pundak kanannya hangat tersentuh telapak tangan. Rama tahu, kali ini dia harus melupakan segala yang pernah Laura ucapkan padanya. Dia menatap Satya yang sudah berada disampingnya.

"Tunggu parkiran sepi. Gue nggak mau dikira gay karna boncengan sama lo." Ucapnya yang kemudian menatap kedepan lagi.

"Hm. Yaudah." Deham Satya, mengiyakan saja.

Dan satu objek membuat seluruh perhatiannya tersita. Sosok itu, bukan Acha, melainkan gadis yang mengajaknya berbicara tadi. Laura, gadis itu berjalan hingga berhenti dipinggir jalan raya. Dia sedang menunggu jemputan Mamanya. Rama terus memandanginya dari jauh, dengan pikiran yang terus berkelebat tentang Laura. Satya menangkap basah Rama yang sedang memandangi seorang gadis, membuatnya curiga dengan adiknya ini.

"Lo kenapa, Ram?" Tanya cowok itu.

"Enggak." Jawab Rama, masih memandangi Laura.

"Trus? Cokelat yang lo buang tadi? Sebenernya buat siapa? Atau, sejak kapan lo doyan makan cokelat?" Tanya Satya bertubi-tubi. Dia hanya ingin memastikan bahwa Rama masih waras.

"Bukan gue." Jawab Rama yang masih menyita perhatiannya pada Laura.

Satya mengernyit, "Hah? Lo jawab pertanyaan gue yang mana?" Tanya Satya lagi, kali ini dia benar-benar bingung.

Rama tak menjawab lagi, cowok itu malah beranjak dari sana menuju objek yang yang menjadi hantu di pikirannya. Satya yang tadinya ingin membuntuti Rama diurungkan sudah, dan memilih untuk memperhatikannya dari jauh. Dia melihat Rama yang semakin mendekati Laura, hingga gadis itu menoleh karena panggilannya.

Laura diam, dia enggan menyapa balik kepada Rama. Entah kenapa, dia tak ingin. Laura hanya membiarkan saja Rama berdiri disampingnya. Laura kembali menatap jalanan, berharap Mamanya cepat datang untuk menjemputnya.

"Lagi nunggu jemputan?" Tanya Rama, entah bagaimana cowok itu seperti ini.

"Iya." Jawab Laura, singkat. Gadis itu masih tak membalas tatapan Rama.

Rama, cowok itu canggung sendiri. Dia biasanya tak seperti ini, ada sebuah rasa yang tak ia kenal menerjang raganya. Entah apa itu, Rama tak tahu. Ia tak tahan dengan kecanggungan ini, membuatnya bodoh sendiri seperti badut yang menunggu odong-odong di pinggir jalan.

"Maksud lo ngomong kayak tadi tuh gimana?" Celetuknya, kalimat itu lolos dari bibirnya tanpa aba-aba.

Laura diam, hanya itu yang bisa ia lakukan kali ini. Tak seperti biasanya, setiap bertemu Rama dia selalu merasa jantungnya rusuh sendiri, ataupun salah tingkah akan kehadiran cowok itu. Entah bagaimana ucapannya tadi membuat Laura menjadi seorang yang bukan lagi dirinya yang pernah gila akan paras seorang Rama. Lain dari itu, Rama membungkam mulutnya, berharap dia bisa menarik perkataannya itu.

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang