19- Please.

57 6 2
                                    


Dan kini, ku belajar dari waktu.
Tak bisa di ulang, namun setiap detiknya tersimpan kenangan.


***

"Tangan lo kenapa diperban gini Cha?" Tanya Dev.
 
"Oh ini, cuma luka kecil kok." Jawab gadis itu.
 
"Acha baik-baik aja Dev, kan.." sergah Profesor sembari memberi kode etik menunjuk kearah Satya.
 
"Eee.. kenapa ya Prof?" Kekuk Satya, tak mengerti.
 
"Aaa," Profesor berusaha mencari alasan yang tepat.
 
"Ini, kalian berdua tersesat dalam waktu yang bersamaan?" Sambungnya, asal asalan dan sok nggak tau.
 
Satya menatap tajam kearah Acha. Sadar kalau ada mata datar yang menuju kearahnya, Acha balik menatap Satya.
 
"Sama sekali enggak Prof, dan yang mulai duluan adalah Acha." Sahutnya, dingin.
 
"Lah lah, kok jadi Acha sih?!"
 
"Emang bener lo yang mulai dramaisasi ini." Ketus Satya.
 
"Lah kan kakak juga yang-"
 
"Tapi kemarin Dev bilang, Acha yang duluan pisah dari kelompok," sergah Olivia, salah satu panitia.
 
Kini Acha kehabisan dialog. Ia lalu menatap tajam kearah Dev. Tapi Dev? Ia hanya memasang wajah memelas dengan cakupan tangan yang menempel pada bibirnya yang dikatupkan rapat.
 
"Diem kan lo." Gerutu Satya.
 
"Kakak yang diem!!"
 
"Apa?!" Satya maju selangkah mendekati Acha.
 
"Mestinya tadi kakak nggak kocar kacir-"
 
"Lo yang kocar kacir! Pisah dari kelompok nggak pamit pamit!"
 
"Lah, apa kabar sama pamit pamitan?!"
 
"Biar enggak ada tersesat dramatis kayak kemarin!"
 
"Kalo Kakak emang gak mau main drama-dramaan, yaudah fine!"
 
"Ngapain juga Kakak nyari Acha kalo gitu?! Kenapa Kakak nggak biarin aja Acha terjebak di hutan itu?!"
 
Satya terdiam sesaat untuk mengumpulkan nyali.
 
"Karna-"
 
"Mantap, mantap, berantem teross kalian! Tuh liat! Katak mau loncat malah nyebur ke got! Pegel leher saya dari tadi! Padahal enggak jadi wasit bulu tangkis!" Sergah Profesor berusaha menengahi, padahal dia yang memulai semua ini.
 
"Karna apa?!" Sambung Acha, tak menghiraukan Profesor.
 
"Karna gue-"
 
"Katakan saja kalau kamu suka sama Acha." Bisik Profesor.
 
Satya mengernyitkan keningnya dan menggeleng pelan. Ya, benar saja. Ia memang menggeleng, tapi tidak dengan hatinya. Ada secuil rasa yang mulai tumbuh di hati bekunya yang perlahan melelehkan dinding pertahanan hati untuk dimasuki gadis. Yaitu, Acha.
 
"ACHA!!"
 
2 pemuda akhirnya membelah suasana jengkel itu dengan teriakan mautnya. Siapa lagi kalo bukan Aidan sama Bastian yang berlari mendekati kerumunan orang yang ada disana. Acha mendongakkan kepalanya kesamping karna Satya menghalangi pandangannya. Satya juga menoleh kebelakang.
 
"Acha, mana Acha?! Adek gue mana?!" Pekik Aidan.
 
Kedua matanya menyapu bersih orang orang yang ada disana. Satu yang membuat perhatiannya disita. Gadis dengan hoddie pink yang sangat ia sayangi melebihi dirinya sendiri. Tanpa berkalimat lagi, Aidan bergegas mendekap adik semata wayangnya itu. Bastian sudah tak dapat berkata kata lagi, karna ia takut Aidan nggak bakal tik tokan bersamanya.
 
"Dan," Acha menepak nepak punggung abangnya itu.
 
Krik.
 
Mata Profesor, Satya, Dev, dan dua panitia yang masih ada disana yaitu Olivia dan Agatha megarah pada kakak beradik itu. Acha memutar pandangannya, menatap semua orang.
 
"Aidan," Acha berusaha melepas dekapan abangnya itu.
 
"Bas," bisik Acha dengan wajah memelas menatap Bastian.
 
Tapi Bastian hanya mendekatkan telunjuknya pada bibirnya.
 
Memang, tak ada 1 detik, Aidan langsung memerhatikan wajah adiknya lekat lekat.
 
"Pipi lo kenapa merah gini?" Cercahnya sembari mengelus lembut pipi Acha menggunakan kedua ibu jarinya.
 
"Udaranya dingin, Dan. Kan, wajar." j
Jawabnya.
 
Seolah olah, Profesor, Satya, Dev, Olivia dan Agatha kehabisan dialog saat menonton adegan kakak beradik itu.
 
"Itu siapanya Acha?" Bisik Dev.
 
"Dia Aidan, abangnya Acha." Jawab Satya.
 
"Satunya lagi?" Bisik Dev lagi.
 
"Itu Bastian, kakak sepupu Acha." Bisik Profesor tiba tiba.
 
"Ngerumpi nggak ngajak-ngajak." Sambung Profesor lagi, yang langsung mendapat haha hehe canggung dari Dev, dan Satya.
 
"Tangan lo kenapa diperban gini?!" Ketus Aidan dengan suara yang agak meninggi.
 
"Eeee.. ini cuma-"
 
"Cuma cuma?" Sergah Bastian.
 
"Kemarin dia jatoh di sumur tua." sergah Satya.
 
Aidan menengok ke sumber suara yang tak asing lagi ditelinganya.
 
"Gue tolong dia keluar dari sumur pake tali tambang, tengannya malah tergelincir."
 
"Dia Satya ketua OSIS itu kan? Si Fisikawan brilliant yang disayang Master Adnan?!" Bisik Bastian kepada Acha.
 
Tapi Acha hanya manggut manggut, walau sebenarnya dia nggak tau julukan yang Bastian bilang barusan.
 
"Lalu?" Tanya Aidan, sok dingin.
 
"Gue-"
 
"Dia turun ke sumur dan gendong Acha keluar dari sumur tua nyebelin itu." Sergah Acha.
 
"Gimana lo bisa jatoh ke dalem sumur Cha? Mungutin airnya?" Tanya Bastian.
 
"Nah iya ya?" Ucap Olivia, heran.
 
"Apa mungkin Acha ngelihat ada balon teka tekinya disumur itu, dan berusaha ngambil?" Ujar Agatha, ngasal.
 
"Dan apa alasan Acha bisa pisah dari kelompok?" Sergah Profesor.
 
"Mungkin lo kesel pas nggak dapet jawab teka teki kemarin?" Jawab Dev.
 
Acha yang mendengar satu persatu manusia-manusia yang ada disekitarnya itu berspekulasi, membuat lehernya pegal.
 
"Astaga, kalian bisa nggak sih kalo nanya satu satu? Beli tiket dulu kek, trus antre." Jawab Acha.
 
"Cepet ceritain, Cha." Ujar Aidan, dengan Bastian yang manggut-manggut semangat.
 
"Jadi gini, kemarin Acha emang kesel, tapi-"
 
"Nahloh kan!" Ketus Dev, menyergahi.
 
"Tapii, ada tapinya nih."
 
"Kemarin entah dari mana ada.." Acha menjeda kalimatnya sembari mengeluarkan Wela dari dalam ranselnya.
 
Detik itu juga, Satya segera melangkah mundur dari sumber yang akan membuatnya bersin lagi.
 
"Buset, itu ransel apa kebun binatang?" Racau Profesor.
 
"Mana tuh kucing anteng amat di dalem tas lo. Awas ntar dia ngompol disana, bisa digantung lo sama Tante." Sergah Bastian, yang langsung digebug oleh Acha.
 
"Enggak gitu Prof, Acha kemarin ngejar kucing ini."
 
"Masa iya ada anak kucing dihutan?" Ucap Aidan.
 
"Buuhh, jangan-jangan ini jelmaan penunggu situ lagi. Iiii ngeri deh gue." Sembur Bastian, agak alay.
 
"Nah, bisa jadi juga kan ya, Tha." Cercah Olivia.
 
"Ho'oh, kayak di film film horor gitu, mana warna bulunya putih lagi." Gidik Agatha.
 
"Astaga bukan itu Kak! Ini tuh bagian dari rencana fans nya kak Satya! Mereka yang nyuruh Wela buat ngarahin Acha ke sumur tua itu."
 
"Bentar bentar. Fans nya Satya?" Tanya Aidan.
 
"Iya Dan, mereka tuh kayak Psikopat! Acha padahal enggak pernah jail sama mereka." Gerutunya.
 
"Lo inget siapa orangnya Cha?" Tanya Dev.
 
"Iya, siapa tau kakak bisa bantu," sergah Olivia dengan Agatha yang manggut manggut.
 
"Memangnya mereka peserta Go Green juga?" Tanya Profesor.
 
Acha manggut manggut, "Iya Prof, mereka satu tenda sama Acha."
 
"Meoww" sahut si Wela yang cuma bisa mengeong.
 
Profesor lalu mengeluarkan formulir peserta yang dilengkapi dengan foto pesertanya.
 
"Coba Acha liat ini." Ujarnya.
 
Acha lalu menyuruh Bastian memegangi kucingnya itu, dan meraih formulir yang disodorkan Profesor.
 
Satu persatu ia lihat wajah wajah yang ada. Hingga perhatiannya terpusat pada satu formulir dengan wajah yang sangat ia kenal.
 
"Nah ini dia Prof!" Jeritnya.
 
Mereka lalu mendekati Acha, kecuali Satya. Ia masih sibuk dengan sikap dinginnya untuk menghindari Wela dari jangkauan hidung mancungnya.
 
"Lah, dia kan yang sering disebut Hatters Penyihir sama anak anak." Ujar Olivia.
 
"Penyihir?! AHAHAHAHAH!!! Kok bisa?" Sergah Agatha, rautnya berganti cepat setelah tertawa.
 
"Dimana nih cewek tinggal?! Gue kesana sekarang!" Ketus Aidan.
 
"Mau ngapain Dan? Mau lo lamar?" Celetuk Bastian tanpa dosa.
 
Bastian yang tadinya hampir tertawa kini dia hanya bisa bungkam saat Aidan menatapnya tajam, setajam samurai.
 
"Jangan esmosi Aidan, saya akan menghubungi pihak sekolahnya." Ucap Profesor.
 
"Satya, Satya mana Satya?" Panggil Profesor.
 
Acha, Aidan, Bastian, Dev, Olivia dan juga Agatha mengalihkan pandangan mereka, berusaha mencari sosok dingin yang dimaksud Profesor.
 
"Eeee, saya Prof." Celetuk Satya.
 
"Kamu ngapain dibelakang situ? Nomer anteranmu besar ya?" Gurau Profesor.
 
"Engg saya-"
 
"Kak Satya alergi kucing Prof." Potong Acha sembari mengelus elus kepala Wela.
 
"Meoww"
 
Para manusia yang ada disitu terkekeh pelan, menatap hidung mancung Satya berwarna merah karena keberadaan Wela. Dan beberapa saat kemudian, Agatha mendorong pelan punggung Acha untuk ia posisikan disebelah Satya. Bukannya dia mau buat Satya tambah bersin, tapi panitia yang sama Comblangnya dengan Profesor Einstein itu hanya ingjn mengabadikan momen kebersamaan mereka untuk dikenang. Siapa tahu, Acha dan Satya saling suka, itu yang ada dibenaknya.
 
"Momen yang bagus, semuanya! Say cheese!!" Teriak Agatha, manusia itu langsung mengabadikan momen itu menggunakan kamera ponselnya.
 
"Awas, awas! Biarkan mereka foto berdua." Ucapnya, mengusir manusia yang berada disekitar mereka, yang usirannya itu lebih mirip seperti tukang parkir.
 
Mata Satya menatap kesamping, mendapati Acha yang tengah mengelus bulu kucing itu.
 
"Lucu kan, Kak?" Tanya gadis itu sembari menunjukkan gigi gingsulnya kepada Satya.
 
"Lucu darimananya, Cha? Yang ada tuh bulu kucing buat gue alergi! Jauh sana!" Ucapnya, menutup rapat hidungnya.
 
"Ya kan Acha nanya, Kak! Bohong banget kelihatan! Acha tau Kakak bohong!"
 
"ACHA! Jangan cerewet, pliss!! Hidung gue mampet gegara tuh kucing, mata gue ngantuk gegara kemarin gak bisa ridur nyenyak, ditambah sekarang kuping gue lo buat tuli gegara maksa gue buat bilang kalo tuh kucing lucu?!"
 
"Ya kan bilang lucu aja susah amat. Lagian siapa suruh tidur sambil duduk?"
 
"Ya terus lo mau gue tidur sambil jongkok kayak kodok?!"
 
"Berenang aja sekalian Kakak di sumur tua itu! Lagian mana ada kodok tidurnya jongkok, Kak!"
 
"Ada. Dia tidur sambil BAB, makanya jongkok." Jawabnya, enteng.
 
"Ish! Kakak kalo nggak tau, mending nggak usah ngomong deh. Acha pusing dengernya!"
 
"Eh! Yang bener gue yang pusing, Cha!"
 
"Kakak bisa nggak, nggak usah bentak gitu?! Acha kalo punya suara gede kek Kakak itu, Acha bisa kok bentak juga!"
 
Acha, gadis itu merajuk. Entah apa, dan entah gimana si Satya itu, dia malah rela banting harga diri demi ngehilangin cemberut Acha.
 
"Cha, gue minta maaf. Gue-"
 
"Halah, palingan ujung-ujungnya Kakak bakalan terus kek tadi." Potongnya.
 
Gerahamnya bergeretak, dengan paksa ia menunjukkan senyumnya.
 
"Gue enggak gitu lagi, Cha." Ucapnya, mempertahankan senyum paksanya.
 
Tapi mata Acha tak mendapatkan ketulusan dimata itu.
 
"Tapi kok senyum Kakak serem gitu? Kayak vampir di drakor yang pernah Acha tonton. Senyumnya gak ikhlas. Acha bisa liat kok dari mata kakak." Ucapnya, polos.
 
"Jangan liat mata gue, Cha. Liat kamera di hape manusia ngeselin itu. Liatin juga sekalian gigi berantakan lo." Ucapnya, memutar pundak Acha, mengarahkannya untuk menatap Agatha.
 
Cekrek, cekrek.
 
Mengingat dengen ucapan Satya barusan, Acha membelalakkan matanya, menatap tajam kearah pemuda itu.
 
"Apa? Berantakan gimana maksudnya Kak?! Gigi Acha rapi gini dibilang berantakan!"
 
"Ya emang bener kok. Eh, liat. Gigi gue baru rapi. Gak ada tuh yang namanya gingsul." Ujarnya mempertontonkan deretan gigi putihnya yang benar-benar tertata rapi.
 
"Tapi kalo gigi Acha gak gingsul, gak manis tau! Kakak tau apa?!"
 
"Iya, gue tau."
 
"Tau apa?!"
 
"Lo.. itu."
 
"Apa?! Acha apa Kak?!"
 
"Manis." Jawabnya, tanpa beban.
 
Mulutnya Satya itu lho, yang bilang tetang-terangan didepan Acha. Tapi Acha? Cewek itu malah berekspresi biasa saja.
 
"Halah, palingan Kakak bilang gitu karna terpaksa kan?" Jawab Acha kemudian.
 
"Apa?! Eh denger ya! Gue pusing banget tau nggak?! Gue bilang enggak, tar lo ngambek. Gue bilang iya pun, lo malah.. Ah! Pusing gueee!! Jadi gue harus bilang apa, Achaaa?!!"
 
"Nggak usah ngomong. Acha budek tar terus denger bentakan Kakak."
 
Pasrah. Satya cuma bisa pasrah, Tuhan. Ia kemudian memilih untuk melangkah meninggalkan Acha disana.
 
"Kak! Mau kemana?!"
 
"Pulang! Bisa jadi orang gila gue kalo terus terusan deket lo!"
 
Cekrek, cekrek, dan cekrek. Agatha berhasil mendapatkan foto mereka berdua, mulai dari Satya yang menutup hidung dengan ekspresi kesal bersama Acha yang tersenyum lebar, senyum paksa Satya bersama Acha yang juga menampilkan gigi gingsul yang disertai jemari lentik yang diposisikan membentuk huruf "V", dan lain-lain. Termasuk foto ketika mereka bertengkar mengenai kodok yang tidur sambil jongkok.
 
"Sudah saya kirim. Nanti kamu cetak ya. Jadikan kenangan." Bisik Agatha, menepuk pundak Satya, kemudian berlalu.
 
Pemuda itu berdecak, menatap kepergian Agatha. Tangannya kemudian menggeser geser layar ponselnya, melihat tiap foto sambil terkekeh pelan.
 
Oke oke. Jadi mulai hari ini Satya yang dikenal manusia kutub itu terhipnotis sama wajah Acha? Atau cuma sekedar kagum doang?
 
***
 
"Lo mau pulang bareng kita naik bus atau-"
 
"Acha bareng gue." Potong Aidan menatap Dev dengan sok dinginnya itu.
 
"Enggg tapi Acha-"
 
"Cha, udahlah. Lo mau nanti ga dikasih dorayaki seabad sama abang lo?" Celoteh Bastian, ngasal.
 
"Iya udah iya! Tapi.." Acha memandang imut kearah Wela.
 
"Wela ikut, ya." Rengeknya.
 
"Nggak! Ntar ngompol sana sini, siapa yang repot?" Ujar Aidan.
 
"Ya kan ada Bastian, dia yang bakal bersihin!"
 
"Lah, apa hubungannya sama gue, Cha?!" Ketus Bastian.
 
"Kali aja kan, si PanPan aja kamu cuci seminggu sekali, bukan PanPan aja lagi. Ice Bear punya Acha, sama Grizzly punya Aidan nggak ketinggalan kamu cuci." Papar Acha.
 
Tahu kan ketiga beruang itu? Boneka We Bare Bears berukuran agak besar itu terpaksa Aidan beli karna permintaan konyol Acha. Bastian? Jangan ditanya, dialah pelopor bersama Acha untuk bisa ngebujuk Aidan couple-an boneka itu. Bastian sudah lama ngidam pengen dibelikan boneka PanPan sebagai teman tidurnya. Bastian memang begitu, dia sama sekali tak bisa tidur saat boneka kesayangannya itu belum kering setelah dicuci. Sungguh menyedihkan.
 
"Ya iya sih, tapi boneka gak ngompol Acha! Ini mah binatang, makhluk hidup, bernapas lagi!" Tukas Bastian.
 
"Emmm.. ayolah Aidan! Plisss!!! Yah, yah?! Kasian Wela, ntar dimana dia bobok? Trus siapa yang bakal ngelus-elus bulu putihnya lagi kalo bukan Acha?" Rengek Acha.
 
Aidan hanya diam. Tapi di otaknya banyak perhitungan yang harus ia jawab. Ia lalu membuang napas beratnya, saat melihat wajah masam adiknya itu.
 
"Yaudah! Tuh kucing boleh lo pelihara, tapi ada syaratnya!"
 
Acha membuang wajah masamnya dan tersenyum sumringah, "Apa syaratnya?!"

***

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang