Acha termenung, menatap meja makan dengan hampa. Gadis berjaket pink itu duduk di kursi tengah-tengah antara Aidan dan Bastian. Gerimis menjadi awal takdir hari ini. Acha menoleh pelan, menatap Bastian yang juga termenung. Cowok itu biasanya disibukkan dengan ponselnya, tapi kali ini kejadian kemarin malam membuatnya canggung sendiri. Acha kemudian menoleh ke arah Aidan, membuat matanya menatap datar cowok yang sedang rusuh sendiri dengan game di ponselnya. Aidan tak tahu apa yang terjadi kemarin malam, karena jam segitu dia sudah terlelap akibat hawa dingin yang mengantarnya pada alam mimpi.
Acha kemudian menoleh, kali ini kepalanya sedikit mendongak ke atas, menatap lama kamar Mamanya. Ms. Radha belum keluar dari kamarnya, yang biasanya pagi-pagi sekali sebelum Acha bangun, beliau sudah menyiapkan sarapan. Namun kali ini tidak. Acha memaklumi hal itu, Mamanya pasti tak bisa tidur karena kedatangan Papanya kemarin. Dan kali ini, Acha tak mau lagi hanya diam menyaksikan. Dia bangkit, kakinya hendak beranjak menuju kamar Mamanya. Namun, lagi dan lagi, Bastian menggenggam tangannya seraya menggeleng, mencegahnya pergi. Aidan yang melihat itu memasang wajah tak mengerti, kenapa dua orang disebelahnya ini hobi tarik-tarikan.
"Bas, Acha mohon. Acha pengin samperin Mama." Lirih gadis itu, mencoba melepaskan genggaman kakak sepupunya.
"Cha, gue yakin bentar lagi Mama lo bakal turun ke sini buat sarapan bareng kita. Gue yakin Tante nggak bakal bisa lihat lo sedih, Cha. Apalagi kalo dia tahu lo lihat dan dengar semuanya kemarin malam." Ujar cowok itu, serius.
"Cha, Mama lo butuh waktu buat itu." Sambungnya, masih mempertahankan raut keseriusannya.
"Lo berdua lagi ngomongin masalah apa sih? Kok, gue nggak diajak?" Bisik Aidan, cowok itu mendekatkan kursinya ke kursi Acha.
"Dan.. Mama kenapa? Lo berdua lagi ngomongin Mama kan?" Tanya cowok itu, menaruh ponselnya seraya menatap raut adiknya yang berubah datar.
Belum sempat Acha menjawab, seorang wanita berpenampilan rapi seperti biasanya menarik seluruh perhatiannya karena beliau melangkah menghampiri mereka dengan senyum merekah. Ms. Radha, wanita itu melangkah tanpa ada beban yang beliau perlihatkan di dalam hatinya.
"Good morning, sayang-sayangnya Mama." Ucapnya, mengecup satu-persatu dari Aidan, Acha, lalu Bastian.
"Maaf ya, Mama telat bangun. Kemarin ada kerjaan dikit, biasalah lihat laporan keuangan." Sambungnya, masih tetap mempertahankan rekahan senyumnya tanpa ada seraut luka.
Wanita itu lalu beranjak ke dapur, membuatkan sarapan untuk mereka. Acha dan Bastian saling menatap, sedangkan Aidan melanjutkan lagi bermain game nya.
"Bas, kok Mama kayak nggak ada masalah gitu? Apa kemarin Acha cuma mimpi ya?" Bisiknya.
"Cha, orang dewasa termasuk seorang Ibu bakal nutupin lukanya di depan anak-anaknya. Dia nggak mau kita merasa sedih karna lihat kesedihan Mama lo. Karna senyum seorang ibu bakal menularkan kebahagiaan di hati anak-anaknya." Balas Bastian dalam bisikan, cowok itu kali ini tak main-main.
Acha manggut-manggut mengerti, ia lalu memutar badannya ke belakang seraya melihat Mamanya yang tengah menyiapkan sarapan. Gadis itu beranjak menghampiri Ms. Radha, ingin menatap wajah wanita itu lekat-lekat. Acha yakin Mamanya itu pasti menyembunyikan mata sembapnya menggunakan bedak yang lumayan tebal untuk menutupi.
"Mama," panggilnya yang langsung membuat Ms. Radha menoleh dan tersenyum.
"Iya Sayang. Kenapa? Acha mau roti lapis stroberi lagi kayak kemarin?" Tanyanya, dengan perhatian yang langsung diarahkan pada roti lapis yang ia buat.
"Bu-bukan, Mama. Ach-Acha.. Acha mau bantu Mama." Jawabnya, tersenyum kecil.
"Boleh sayang. Ini, Acha boleh buat roti lapis pakai stroberi yang banyak." Ujarnya sembari menyodorkan satu kotak plastik berisi buah stroberi segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...