23- Ungkapan Acha

27 1 0
                                    

Satya menurunkan Acha pada brankar UKS, ia segera mengambil kotak P3K.

"Diem, Cha." Ucapnya, pandangannya masih mencari obat merah dan plester luka pada benda berbentuk balok itu, namun ia bisa melihat gerak gerik Acha yang hendak turun dari brankar melalui ekor matanya.

"Tapi Acha cuma luka sedikit, Kak! Acha nggak manja seperti yang kakak pikirin!"

Satya tak merespon lagi, ia beranjak menutup rapat pintu UKS yang sebelumnya terbuka. Mencegah agar gadis cerewet ini tak nyelonong keluar tanpa sepengetahuannya.

Acha semakin kesal, emosinya membuncah. Ia mengomel dengan bahasa yang tak Satya mengerti, seperti biasanya. Satya kemudian mendekati gadis itu, menatapnya lekat.

"Apa?! Jangan lihat Acha!"

"Kenapa?"

"Karena Acha lagi kesel sama kakak!!" Teriaknya, semakin kesal.

Satya kemudian berdoa agar gendang telinganya tak pecah ketika didekat gadis ini. Ia kemudian mengambil obat merah dan mengoleskannya ke luka Acha. Sementara itu, Acha mengomel tak jelas, mengeluarkan semua unek-uneknya yang sangat kesal dengan Satya. Satya membiarkan saja kupingnya itu menerima omelan Acha selama gadis itu tak membakarnya.

Setelah itu, Satya menutup luka Acha menggunakan plester luka. Ia menatap Acha yang belum selesai mengoceh.

"Makanya kalo Acha minta toling ya tolongin! Bukan dikacangin!"

"Gue nggak jualan kacang, Cha." Jawabnya, seraya mengembalikan obat merah ke kotak P3K.

"Kan, kalo Acha udah terluka gini siapa yang salah?!"

"Gue." Jawabnya lagi, melangkah menaruh kotak itu ke tempat asalnya.

"Tuh nyadar! Kenapa nggak tadi aja Kakak bantuin Acha?! Kalo Kakak bantuin dari tadi mungkin Ach-"

Kalimatnya terpotong ketika Satya menatapnya dalam diam. Gadis itu tersadar, sudah mengeluarkan terlalu banyak kata. Satya kemudian mendekat, menatap gadis itu lekat.

"Iya, gue salah. Gue minta maaf." Ucapnya, tulus.

"Cuma segitu kan kalo kakak udah salah? Makanya kalo Acha ngomong tuh dengerin!"

DAN BLA BLA.

Gadis itu melanjutkan omelannya, membuat Satya harus ekstra sabar karena memang ia yang bersalah dalam hal ini. Ia mengerti dengan Acha, sepertinya gadis itu tengah PMS. Maklum, pemuda itu harus dengar saja kekesalan Acha.

"Jangan diulang! Acha nggak suka!" Tuturnya, mengakhiri pidato panjangnya. Satya hanya mengangguk, mengiyakan saja permintaan gadis ini.

"Udah? Gue boleh pergi?" Tanyanya, rautnya berubah suntuk.

"Pergi aja sana. Ngapain harus nanya Acha?" Gerutu Acha.

Satya mengangguk singkat, pemuda itu kemudian beranjak hendak keluar dari UKS. Disaat yang bersamaan, Acha berusaha untuk turun dari brankarnya, juga hendak pergi karena sebentar lagi bel akan berbunyi. Satya menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya dan melihat kehebohan gadis itu. Ia menghela berat napasnya, menghampiri Acha.

"Apa lagi sih Kak?!"

"Gue bantu." Ucapnya, menatap raut wajah Acha yang sedikit pucat.

"Nggak usah, Acha bisa sendiri." Jawab gadis itu, nada suaranya tak setinggi tadi. Ia lelah marah-marah karena sangat menguras energinya.

Satya berdecak, susah sekali membujuk gadis cerewet yang satu ini. Padahal, banyak gadis yang sangat ingin mendapat perhatiannya.

"Jangan bandel," ucapnya, yang langsung menggendong tubuh gadis itu.

ANINDHA (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang