"Let's kill this love! Jreng jeng jeng jreng jeng jeng, yeah yeah yeah iyeahh! Jreng jeng jeng jreng jeng jeng, rom pom pom pom pom uahhh!"
Melihat tingkah konyol sahabatnya itu, ditengah kelas yang masih sepi, Acha hanya bisa mematung, berharap air liurnya tidak membanjiri pipinya.
Dengan tingkah konyolnya itu, Laura berdiri di depan kelas dengan membawa botol minuman jeruk segar sebagai mikrofonnya.
Acha mendekati bangkunya, berniat untuk menaruh ranselnya.
"Acha!" Teriaknya.
Seketika itu, Laura melompat dan menghampiri Acha, dan mengepungnya, diantara celah dua deretan bangku yang memanjang ke belakang.
Ia lalu menempelkan siku kanannya pada salah satu meja, dan menumpu kepalanya pada telapak tangan kanannya itu. Kedua alisnya dinaik turunkan beserta senyum sumringahnya itu.
Melihat sikap Laura, Acha berusaha menafsirkan apa yang ingin dilakukan sahabatnya itu.
"Weo?" Acha mengerutkan keningnya, tidak mengerti.
"Yahhh, lo nggak inget ternyata,"
"Inget apa?"
"Kalo gitu gue ingetin lagi, sesuai peraturan perundang-undangan persahabatan antara Acha dan Laura, nomor 21A bait 1, tahun 1990.."
"Tahun segitu Acha belum ada, Ra,"
"Emmm.. maksud gue.. tahun 2005,"
"Tahun segitu juga Acha masih bayi, nggak tau apa, dan kita juga belum kenal kan?" Acha mengatupkan bibirnya, berusaha agar tidak tertawa.
"Eee, kalo gitu tahun 2009,"
"Nah kalo itu kan kita baru kenal, masih TK malah,"
"Cha, udah, lo diem,"
"Yang benar saja," Acha terkekeh.
"Hhfft, gue ulang dari awal. Sesuai peraturan perundang-undangan persahabatan antara Acha dan Laura, nomor 22 A bait 1, tahun 2009.."
"Lah, tadi bukannya nomor 21 A bait 1 ya?"
"Apa masalahnya, gue cuma ngurangin satu?!"
"Iya, salah dong, Ra." Acha semakin terkekeh.
"Aduh, Cha, gue capek dari tadi diem dengan posisi kayak gini terus dah, ah!" Laura akhirnya berdiri.
"Siapa suruh?" Acha tertawa, dan duduk di bangkunya.
"Udah deh, Ra, to the point aja. Nggak usah pake pendahuluan, isi dan penutup, udah kayak berpidato aja," sambungnya.
"Eemm, gini sih, Cha. Tugas virus itu.."
"Acha ngerti, Ra." Acha mengeluarkan buku tugasnya.
"Heheh, gomawo, Acha." Ujarnya seraya menyalin tugas milik sahabatnya itu.
Acha menatap Laura yang tengah sibuk menulis. Ia menyenderkan kepalanya pada telapak tangannya dan bertumpu pada sikunya yang menempel di meja.
"Ra, kamu kenal Rama? Atau pernah denger namanya?" Tanyanya kemudian.
"Rama?" Laura akhirnya berhenti menulis.
"Iya, Rama. Kenal gak?"
"Setau gue ya, di sekolah ini yang namanya Rama itu, ada tiga orang sih, emang lo ada apa nanya gitu?"
"Bukan apa-apa sih, kemarin itu Acha dapet kiriman kue tart stroberi, dan nama pengirimnya Rama."
"Kiriman kue?"
"Iya, kue. Padahal kemarin itu nggak ada hari spesial loh."
"Apa kabarnya tuh kue? Gue ada bagian nggak?" Cengir gadis itu, tak berdosa.
"Kuenya belum Acha makan sih, yaudah nanti pas pulang sekolah, sekalian buat tugas Kimia, heheh."
"Oke, deal! Masalah Rama itu, biar gue bantu."
"Tapi tiga orang itu, siapa aja?" Tanya Acha, penasaran.
"Wait," Laura meneguk minuman jeruknya.
"Yang pertama tuh, ada Rama Aditya, trus ada Kak Rama Ardetha, trus yang terakhir ada idola gue, Rama Siva Murti." sambungnya.
"Tapi gimana kalo pengirimnya bukan Rama di sekolah ini? Bisa jadi kan pengirimnya dari Amerika, India, Jepang, Kutub Antartika."
Mereka diam sejenak. Dilihatnya segelintir siswa yang setiap waktu terus bertambah.
"Emm, gimana kalo kita tanya aja satu persatu dari mereka bertiga itu, siapa tau aja kan, salah satu dari mereka adalah Rama yang ngirim kue itu." Ujar Laura kemudian.
"Bener juga sih ya,"
***
Dentuman tiap langkah kakinya membelah angin yang bertiup ke arah koridor. Dengan kostum silatnya itu, Rama berlari menuju kelas ekstrakurikuler pencak silat.
Beberapa kali ia melirik arlojinya. Ia masih punya waktu sekitar 20 menit lagi untuk tiba di kelas pencak silat.
"Kalo nggak karna lo, Sat, gue nggak mungkin bakal lari-lari kayak gini!" Batinnya.
Tepat saat itu juga, Acha dan Laura yang juga melintas di koridor yang sama, akhirnya berpapasan dengan Rama. Acha melangkah malas dengan keringat yang meluncur dari dahi, hingga luruh ke lehernya.
Memang sejak tadi ia naik turun tangga hanya untuk mencari siapa pengirim kue semalam. Sedangkan Laura mengedarkan pandangannya untuk mencari orang yang bernama Rama.
"Acha?" Rama menatap Acha yang terengah-engah.
Mata Laura memelotot, lalu menggoyang-goyangkan pundak lesu Acha.
"Cha, ini yang namanya Rama." Bisik Laura.
"Masa sih? Bu-bukannya dia si ketua-" bisik Acha yang langsung terpotong.
"Emm, Cha, kuenya udah lo terima kan?" Tanya Rama.
Acha hanya diam mematung. Ia tak menyangka ini bakal terjadi. Dan sungguh seorang Acha belum tahu soal kembar itu. Sama sekali.
"Kenapa manusia es ini jadi kayak gini? Kemarin pas di ruangan Profesor, sikapnya dingin banget, lah sekarang kenapa berubah?" Batinnya.
"Acha, lo ditanyain tuh! Malah diem." Bisik Laura.
"Udah sih, tapi.."
"Syukurlah, kalo gitu gue pergi dulu, gue harus buru-buru. Dan kuenya, jangan lupa dimakan." Ujarnya, sedikit tersenyum, dan berlari menjauh.
"Astaga Cha! Lo beruntung banget tau nggak!" Pekik Laura.
"Beruntung apanya? Acha malahan nggak ngerti." Jawabnya seraya berjalan menuju kelas karena jawaban yang ia nantikan akhirnya terungkap.
Laura turut mengejarnya.
"Semua siswa perempuan di sekolah ini bahkan pengen banget diperlakukan manis sama dia kayak tadi itu, Cha!"
"Wait," Acha memutar badannya 90° untuk menatap Laura.
"Emangnya dia se-istimewa itu di sekolah ini? Sikapnya aja nggak jelas, sering banget berubah-ubah, tadinya beku, cuek, sok ngartis, lah tadi, dia baik banget sampe ngasih kue segala. Atau jangan-jangan dia punya niat buruk sama Acha?" Sambungnya, memicingkan mata.
"Nggak mungkin lah, Cha. Udah deh, singkirin semua pendapat buruk lo tentang dia, dia tuh emang idaman banget tau nggak. Dia bisa bela diri, tinggi, keren, pinter, jago main gitar, semua deh pokoknya." Ujar Laura.
"Tapi tetep aja dia nggak punya sikap yang jelas, sikapnya bisa dibilang nomaden!" tukas Acha, dan melanjutkan langkahnya.
"Tapi kerennya asli, gantengnya hakiki."
"Seandainya Acha bisa tukeran peran sama Laura, buat ikutin kegiatan Go Green sama manusia es itu.." ujarnya.
"Tunggu, gimana?" Laura menghalangi jalan Acha.
"Profesor, itu karena dia, coba aja Kak Zayyan nggak minta berhenti jadi wakil ketua OSIS ke Profesor, pasti besok lusa, dia yang bakal ke Kintamani sama manusia es itu, Ra!" paparnya.
Sejenak, Laura tak merespon. Ia hanya menganga heran.
"Jinjjah?! Acha! Oh astaga biawak, katak, kodok, ular naga panjangnya bukan kepalang!" Pekiknya, agak alay.
"Cha, dengerin gue bener bener! Dengan kesempatan ini, lo bisa deketin dia! Semua cewek di sekolah ini beberapa kali di tolak cintanya sama dia, Cha!" Sambungnya.
Acha mematung 5 detik, mencoba memahami perkataan Laura yang kurang menyehatkan itu.
"Apa sih? Acha sama sekali nggak niat buat berpikiran kesana, Ra. Udah deh, jangan buat Acha tambah stres ya." Acha melangkah menjauh.
"Tapi dia cocok sama lo, Cha!" Laura mengejar sahabatnya itu.
"Enggak!" Acha mendekam kedua telinganya menggunakan telapak tangannya.
***
Matanya menatap jarum jam dinding yang terus bergerak di ruang ganti. Di sampingnya tergeletak sebuah berkas biru milik Acha sudah ia sadari bahwa berkasnya tertukar.
"Repot amat, kenapa harus ketuker?"
Pukul 07:15.
Ia mengeratkan sabuk taekwondo-nya. Refleks, saat ia tengah duduk, hendak mengikat tali sepatunya, kedua matanya tertuju pada pintu yang dibuka.
"Sat," panggil Zayyan.
Satya menoleh, "Hm?"
Satya melihat wajah sumringah sahabatnya itu. Pandangannya tertuju pada apa yang dipakai Zayyan. Terlihat aneh, namun Satya tetap bersikap biasa, sembari mengeratkan tali sepatunya.
"Lo.. ikut kelas taekwondo Master Adnan juga?" Tanyanya.
"Gimana pendapat lo? Gue keliatan keren kan? Ck, gue udah keliatan kayak Joe Taslim aja." Ujarnya sambil menata rambutnya di depan cermin.
"Za, gue cuma nanya satu hal ke lo. Lo yakin, bakal ikut kelas ini? Setau gue, sejak dulu malah, lo paling takut bela diri."
"Ya iyalah, Sat, ngapain juga gue bohong," Zayyan melangkah mendekati Satya, dan duduk di sebelahnya.
"Lagian, gue juga pengen bisa bela diri kayak lo." Zayyan merangkul bahu sahabatnya itu.
"Jadi, gue mau ikut jejak lo." Sambungnya lagi, seraya menatap kepalan tangannya sendiri.
"Bagus bagus," tukas Satya, menepuk bahu Zayyan, mengambil berkas biru itu, lalu melangkah keluar.
Zayyan pun mengejar Satya.
"Eh, Sat, gue juga pengen jadi kayak lo." Ujarnya.
"Tinggi..." Zayyan pun memulai khayalan gilanya.
"Basket solusinya." Jawab Satya.
"Pinter..." Zayyan menatap ke atas, membayangkan bahwa dirinya memenangkan liga olimpiade Internasional, dan mengalungi medali emas seberat 5 ton di lehernya.
"Belajar solusinya," ujarnya sembari berbelok kearah ruang BK, tempat bagi berkas biru itu.
"Jago bela diri.." Zayyan kian menatap ke atas lagi, membayangkan dirinya yang menerima pujian dari Master Adnan.
"Taekwondo solusinya," tukasnya sembari meletakkan berkas biru itu di meja.
"Primadona semua cewek..." Zayyan hampir menatap langit yang ditutupi atap sekolah, dan membayangkan dirinya yang menjadi rebutan siswa perempuan.
Satya mulai menyadari betapa bacotnya manusia disebelahnya itu. Tanpa menjawab lagi, ia melangkah keluar dari ruangan itu.
"Keren..." Zayyan hampir menatap galaksi Bima Sakti, dan membayangkan dirinya menjadi aktor yang kerennya sebelas dua belas dengan Angga Yunanda dan Ari Irham.
Satya menatap Zayyan yang khayalannya semakin menjadi-jadi.
"Coba... aja, gue bisa jadi semua itu, pasti artis Korea yang glow-glow itu bisa jadi pacar gue."
"Udah selesai menghayalnya, Za?" Sergah Satya.
"Kalian kenapa masih santai-santai? Zayyan, hentikan khayalanmu itu, cepat masuk, saya akan segera memulai kelas bela diri." Celetuk Master Adnan, coach bela diri dan juga guru Fisika.
"Iya, Coach." Jawab Satya.
"Eee...si-siap, Coach." Jawab Zayyan mengikuti cara bicara Satya.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas bela diri.
"Engg...Sat, coach itu, apaan ya?" Bisik Zayyan.
Satya menatap mata Zayyan dengan kesal. Jika saja dia sudah terpengaruh tidak waras seperi Zayyan, pasti sudah sedari tadi ia mengeplak jidat Zayyan.
"Lo pernah belajar bahasa Inggris nggak sih?"
"Pernah dong, tapi sedikit sih. Karna gue nggak terlalu suka sama pelajarannya, mweheheh." Zayyan terkekeh.
Satya baru ingat. Persis! Zayyan always molor saat kelas bahasa Inggris. Dan itu selalu menjadi ritual keramat seorang Zayyan saat ia merasa bosan dengan mapel itu.
"Coach itu pelatih, dodol!" jawab Satya seraya menghela napasnya.
"Pelatih dodol? Sejak kapan Master Adnan jago bikin dodol, Sat?"
Satya menatap Zayyan dengan tatapan datarnya. Tanpa berkata kata, ia melanjutkan perjalanannya sebelum tangannya benar-benar mengeplak jidat manusia itu.
"Yahh, Sat, kok gue dikacangin sih?! Satya! Tunggu!!" Zayyan menggerutu.
***
Acha memutar-mutar pulpen unicorn nya. Sesekali ia meraba lorong mejanya, dan berusaha meraih potongan-potongan kecil kue dorayakinya itu. Perlu dicatat di dokumen negara bahwa sesungguhnya, Acha nggak suka nulis tanpa makan dorayaki.
Kedua matanya yang bersiaga agar tidak ketahuan Miss Natalie yang tengah menjelaskan materi di depan kelas.
"Nah, selanjutnya ada fase replikasi, yaitu DNA bakteriofag T4 mengarahkan bakteri Eschericia coli untuk mengkode enzim hidrolitik.."
Mulutnya yang sejak tadi nggak selesai selesai mengunyah potongan-potongan kue dorayaki, juga dibarengi oleh tangannya yang sibuk mencatat materi yang dituliskan Miss Natalie di papan tulis.
"Nah sekarang Miss akan memulai sesi tanya jawab, dimana siswa yang menjawab juga akan memaparkan materi," ujarnya.
"Maju, Cha." Laura menyingguk lengan Acha. "Jangan buat gue terlibat dalam pemaparan materi ini, sumpah gue nggak bisa," bisiknya lagi.
"Apaan sih? Udah biarin yang lainnya aja, mereka kan juga.."
"Miss akan mengacak nomor absen kalian, siap-siap ya," ujarnya. "Absen 3 atas nama.."
"Acha Miss!" Teriak para siswa.
"Hayo maju Acha. Sepertinya sejak tadi Miss lihat kamu sibuk sendiri." Miss Natalie terkekeh.
Acha terkekeh haha hehe, lalu menunjukkan deretan gihi gingsulnya yang manis itu tanpa malu. Persentase keragu raguan Acha sekitar 25%. Ia lalu menaruh pulpen kesayangannya itu di lorong mejanya dan melangkah menuju papan tulis.
"Ini soalnya, Acha tulis jawabannya di papan, dan langsung dijelaskan ya." Miss Natalie menyodorkan sehelai kertas berisi soal.
"Soalnya Miss udah mulai rada sakit tenggorokan karena hampir 2 jam saya memaparkan materi." Sambungnya.
"Hehe, iya Miss. Engg.. tapi ini bukan soal para profesor dan ilmuwan kan Miss?" Acha berusaha memastikan.
"Ya bukan lah, Acha." Miss Natalie tertawa.
Mendengar itu, Acha mengangguk dan mulai menulis jawaban. Saat kata terakhir, ia sempat menulis tanda titik dan berhenti.
"Ish!" Batinnya sembari menyelumbit kue dorayaki yang sedikit menempel di gerahamnya menggunakan ujung lidahnya.
"Nah, sesi keduanya dijelaskan dengan cara menggambar daur litiknya." Cercah Miss Natalie.
Acha tersenyum sumringah.
"Oke, jadi.." Acha memulai penjelasannya dengan tangannya yang mulai menggambar daur virus di papan.
"Sebuah fag menempel pada sel inang dan menyuntikkan DNA nya." Ujarnya memulai, dengan tangannya yang sibuk menggambar.
"Hm'm?" Deham Miss Natalie, memerhatikan.
"Lalu DNA fag baru dan protein.." Acha tanpa sengaja menatap ke luar lewat pintu kelas yang tidak ditutup.
Bersama dengan Zayyan, ia melihat manusia es itu. Ya, dia adalah Satya. Sejenak Acha heran.
"Lah, bukannya tadi dia pake baju silat warna hitam ya? Tapi kok sekarang malah jadi putih?" Gumamnya, sangat geram.
Melihat Acha, Laura sudah menebak kalau sebentar lagi sahabatnya itu bakal berbuat gila.
"Tuhan, perasaan hamba tidak enak." batin Laura.
"Bagaimana Acha? Ayo dilanjutkan," ujar Miss Natalie.
"Yang selanjutnya adalah dari warnanya hitam, mungkin pudar jadi warna putih." Acha tanpa sadar mengucapkan hal konyol itu.
Miss Natalie memandang Acha dengan heran.
"Yaampun, Cha," Laura menepak jidatnya.
Kedua mata Acha masih menatap keluar kelas. Satya yang ia lihat tengah berjongkok, berupaya memperbaiki tali sepatunya yang lepas. Acha berharap manusia es itu segera pergi darisana.
"Acha, lo bener-bener.." batin Laura sembari ikut menatap keluar kelas.
"Lalu saat tali sepatu si bakteriofag itu lepas, maka mungkin dia bakal nggak jadi menginfeksi sel inang." Sergah Acha kemudian.
Laura tak berkutik. Ia cuma bisa diam menonton kerusuhan Acha di depan kelas dan ditonton para siswa sambil menahan tawa.
Tangan Acha yang masih menorehkan tinta spidol di papan tulis, kini pula ia menggambar suatu gambar mirip sarang burung walet, yang tentu nggak jelas apa artinya karena saking geramnya.
"Kenapa manusia itu aksinya banyak banget?! Dia cuma perlu jalan santai lewatin kelas ini doang ribet! Banyak tingkah! Ngeselin banget!" Batinnya, mengoceh.
"Emm, Acha, kamu lagi ilfeel ya? Sampe papannya yang enggak berdosa kamu coret-coret?" Tanya wanita berseragam guru itu.
Kini, Acha sadar kalau dia dalam masalah besar. Ia diam sesaat. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Para teman temannya berusaha menahan tawanya.
"Emm.. maaf, Miss. Ach-Acha kurang fokus." Ucapnya, dengan cengiran lucunya.
Wanita itu hanya bisa geleng-geleng, dan terkekeh pelan.
"Kalau gitu, Acha cuci muka dulu. Baru diulangi lagi menjelaskannya ya?" Jawab Miss Natalie. Beliau memang terkenal sabar dan jarang marah. Acha lalu menganggukan kepalanya, menarik tangan Laura untuk mengantarnya ke toilet.***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...