"Kenapa cewek cewek itu ngeliatin Acha terus sih?" Batinnya yang terus berjalan menyusuri hutan pinus, tepat dibelakang Satya.
Mata Acha yang sejak tadi menoleh ke belakang karena bersiaga agar tidak terjadi perang dunia ke 13. Tatapan psikopat para fans Satya itu selalu membuat Acha menjadi was was. Acha meremas kuat kuat tali ransel pink nya itu, berusaha melampiaskan rasa was-was nya.
Brakk..
Tanpa sadar ia menabrak ransel Satya. Acha kemudian mengusap-usap keningnya, seperti baru saja menabrak kereta api.
"Ck, gimana sih lo?" Satya menatap wajah cemas Acha.
"Cha, lo, kenapa? Kok panik gitu?" Sergah Dev.
"Engg.. Acha.. itu, nggak apa." Jawabnya, kaku.
"Bener, lo baik baik aja?" Tanya Dev.
"Its okay," Acha mengangguk pelan.
Satya tanpa merespon lalu melanjutkan perjalanannya. Dia memang ingin bertanya seperi yang Dev tanyakan, tapi dia malas jika nantinya Acha malah ge-er.
"Mungkin mereka cuma mau kenalan kali ya? Tapi karna nyali mereka kecil, makanya gitu." Batinnya, posthing.
Plakk..
Ledakan balon itu sontak membuat Acha terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara teriakan singkat yang begitu nyaring, sambil membekap kedua telinganya menggunakan kedua telapak tangannya. Beberapa pasang mata yang menjadi anggota kelompoknya mengarah padanya, menatapnya heran. Acha sadar akan hal itu, dan membuat ekspresi sebal diwajahnya.
"Kak, bisa ga sih?! Kalo ledakin balonnya tuh di umumin dulu?! Acha kaget tau!" Pekiknya kearah Satya.
"Makanya jangan lain lain." Ucap Satya yang kemudian mengambil gulungan kertas teka teki yang terjatuh di tanah, dan membukanya.
Lagi lagi, mata mata yang udah kayak orang psikopat itu, menukik tajam kearah Acha.
"Buah apa yang jatuh berselimut?" Seru mereka.
Sejenak, satu kelompok yang terdiri Satya, Acha, Dev, dan dua cewek fans Satya itu tengah berpikir apa jawabannya.
"Apa ya? Buah yang jatuh tapi berselimut? Emang di hutan ada selimut ya?" Celetuk Acha.
"Itu kalimat umpama, jangan lo bawa bawa ke sana." Jawab Satya, dingin.
"Ya mana Acha tau, Kak!" Acha berdecak sebal.
"Tapi Acha kayaknya pernah denger teka teki itu, tapi dimana? Apa?" Batinnya.
"Ada ya, buah jatuh berselimut?" Sergah Dev.
"Maybe ada, Dev." Jawab Acha.
"Kalo ada, pasti Satya tau jawabannya," sergah satu dari dua fans Satya itu.
"Iya, Satya kan pinter." Sergah yang lain.
Satya menatap datar anggota kelompoknya itu, seraya mengajak otaknya berdiskusi dalam diamnya. Bukan pakai rumus fisika, dia hanya perlu memainkan logikanya. Sesuatu hal bukan berarti harus diribetkan menggunakan tumus segala macam, tapi jangan lupakan logika juga punya peran disana. Apalagi pertanyaan teka-teki seperti ini. Dan, benar saja beberapa saat kemudian ada satu buah yang langsung gentayangan dibenaknya.
"Hmm gue tau sekarang," batin Satya.
Mode VS diaktifkan.
Satya- "Durian,"
Acha- "Nangka!"
Jawab mereka, kompak tanpa jeda iklan 0,1 sekon. Mata mereka berdua akhirnya saling bertatapan keheranan sambil keningnya dikernyitkan.
"Durian apa nangka?" Tanya Dev, bingung. Dia menatap Acha dan Satya silih berganti.
"Durian jawabannya, soalnya durian satu satunya buah berduri, dan.."
"Dan kalo jatuh ke tanah pasti daun daun kering yang ada disekitaran jatuhnya itu pada nempel di durinya, makanya keliatan kayak pake selimut." Sergah Acha, menatap Satya dengan kemenangannya.
"Dan buah itu adalah nangka!" Lanjutnya.
"Durian, Cha." Satya menatap dingin kearah Acha.
"Nggak! Acha tetep bakal nangka!" Acha bersikeras.
"Durian Cha,"
"Nangka Kak!"
"Durian,"
"Nangka!!!" Pekik Acha.
Mereka berseteru tajam. Satunya galak-galak seperti orang yang sedang berdemo, satunya lagi tetap tenang seperti air. Anggota kelompok Satya menatap dua orang yang berseteru itu silih berganti, membuat leher mereka menjadi pegal.
"Eh udah-udah! Gini aja. Siapa yang vote paling banyak, fix itu yang bakal dijawab." Sergah Dev, frustasi mendengar teriakan Acha.
"Kita setuju sama Satya!" Tukas kedua cewek fans Satya dengan semangat.
"Gue setuju sama lo, Cha." Jawab Dev.
Acha berdecak sebal. Lagi lagi, ia harus menerima kekalahan dari Satya. Dan memang, jawaban yang benar adalah durian, bukan nangka. Meski dua buah itu sama-sama punya duri, tapi kata orang tua-tua dulu yang membuat dan mencetuskan teka-teki macam ini untuk anak-anaknya sebagai permainan tradisional, jawabannya adalah durian, bukan nangka. Jadi, supaya kita tidak kualat dan durhaka karena menentang durian sebagai jawaban orang tua-tua dulu dari teka-teki itu, maka kita harus menurut saja agar tidak bernasib seperti Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu.
"Oke." Ujar Satya, menatap Acha sekilas, dan mengambil perekam suara yang menancap di ranting pohon.
"Teka teki pinus 007 jawabannya durian." Ujarnya merekam suaranya.
"Kali ini Acha biarin, Acha kalah, tapi ntar, dia yang bakal kalah! Acha janjii!!" Batinnya.
***
"Oke jadi kita bakal kesana, nanti gue-"
Acha dengan langkah malasnya berada paling belakang anggota kelompoknya. Ia tak menghiraukan apa yang Satya jelaskan di depan sambil berjalan.
"Kalo Acha yang jadi Kakak Senior, Acha bakal buat makhluk es itu diam tak berkutik!" Batinnya.
Dibelakang, kelompok lain yang anggotanya semua cewek cewek fans Satya, tengah memantau Acha. Mereka akan melaksanakan rencana licik mereka. Entah bagaimana, mereka merasa tersaingi oleh Acha semenjak ketidaksengajaan Satya mendaratkan bibirnya di kening Acha di bus pagi tadi. Dan otomatis, mereka membenci Acha. Mereka mau Acha jauh dari idola mereka. Mereka mau Acha celaka atas teroran mereka. Dan mereka mau Acha menakuti mereka agar takut bila berada dekat dengan Satya.
"Kalian tau kan, apa yang harus kalian lakuin?" Bisik salah satu fans Satya, yang diduga sebagai ketua geng para cewek cewek fans Satya.
Sebut aja dia si Hatters Penyihir.
"Tau dong!" Jawab fans Satya, kompak.
"Oke, kita mulai!" Ujar si Hatters Penyihir.
Dua cewek cewek itu dikerahkan untuk mengalihkan perhatian Acha, dengan cara menggunakan kucing anggora yang sudah menjadi hewan peliharaan impian Acha. Mereka tidak tahu Acha suka hewan berbulu putih itu, mereka hanya menebak saja. Mereka lalu melepaskan kucing anggora berbulu putih itu dari gendongannya.
Melihat ada benda putih berseliweran disekitarnya, Acha mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, lalu membalikkan badannya. Matanya bersinar dan membelalak.
"Itu kan.. Anggora?" Batin Acha, .emastikan pengelihatannya tidak mendadak buta.
Tapi, sebuah pertanyaan pertama muncul dibenaknya. Mengapa ada kucing anggora yang putih bersih seperti itu berkeliaran di hutan pinus? Acha menggelengkan kepalanya, tak mau memikirkan apa alasan kucing itu berada disini. Yang ia pikirkan adalah bagaimana ia akan menangkap dan membawa pulang kucing itu kerumahnya dan menjadi peliharaannya hingga hewan itu punya anak cucu. Dan tanpa enteh gemeng lagi, gadis itu diam-diam ingin mencoba menangkap kucing itu, tapi malah lari. Acha tak menyerah. Dia akhirnya berlari mengejar kucing itu sampai dapat, sehingga otomatis dia terpisah dari rombongan kelompoknya.
"Rencana satu berhasil guys!" Bisik si Hatters Penyihir.
Dengan mata yang licik, mereka nampak masih punya rencana yang kedua. Saat kucing anggora itu berkeliaran disekitar sumur tua di tengah hutan, Acha bersiaga untuk menangkapnya. Acha juga tidak sadar kalau dia sudah berjalan sangat jauh dari rombongan kelompoknya. Sampai kucing berbulu putih incarannya itu pergi dari pandangannya, Acha kebingungan mengelilingi sumur yang lumayan dalam itu.
"Yahh, Acha kehilangan jejak! Kemana kucing manis itu pergi?!" Pekiknya. Acha kemudian memeriksa apakah kucing itu nekat melompat di sumur tua itu, lalu membungkukkan badannya pada mulut sumur agar bisa melihat dasar sumur.
"Kucingnya nggak ada, dan lo harus bermalam di dasar sumur itu!" Celetuk si Hatters Penyihir seraya mendorong Acha hingga jatuh ke dalam sumur tua yang cukup dalam itu.
Brukk...
Acha baru sedetik mendarat di dasar sumur tua yang cukup dalam. Saking dalamnya, sampai sampai si Hatters Penyihir itu tak dapat melihat Acha.
"Arghh!!" Acha mengerang, memegang pinggangnya yang mendadak encok. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Dan secara ajaib, untungnya kepala Acha tidak terantuk dinding sumur selama ia jatuh kedalamnya.
"Siapa sih yang dorong Acha? Basah kan jadinya!!" Rengeknya seraya berusaha berdiri.
Tubuhnya yang basah kuyup karna air yang ada di sumur itu membuatnya merasa cukup dingin, ditambah suhu di hutan itu yang memang dingin sejak Acha datang.
"Ehh!!! Kalian yang diatas itu siapa sih?! Kenapa kalian dorong Acha sampe masuk sumur gini?! Salah Acha apa sih sama kalian?!" Teriak Acha, geram.
"Lo mau tau siapa kita?! Kita adalah para fans nya Satya! Dan kesalahan lo, maybe lo udah tau kan?!" Jawab Hatters Penyihir itu.
"Dan lo bakal diem disini, SEMALAMAN! Oh, atau SELAMANYA! Lagian ini di tengah hutan dan jauh dari lokasi perkemahan. Jadi, ucapin bye bye aja sama idola kami!" Ledek yang lainnya.
Mendengar suara yang datangnya dari atas itu, Acha tak habis pikir, dan secara otomatis membuat bibirnya mengeluarkan suara tawa sinis karena sikap kekanak-kanakan dan kesinetronan itu.
"What? Mereka ngelakuin ini cuma karna hal sepele gitu? Sumpah Acha nggak habis pikir!" Batinnya.
Suara tawa yang ramai, heboh dan rusuh dari cewek cewek fans Satya itu, jadi hilang berangsur-angsur. Mereka pergi meninggalkan Acha di sumur tua di tengah hutan itu sendirian tanpa aba-aba dan tanpa permisi. Mendapati tidak ada lagi suara-suara seperti piring pecah itu, Acha bingung sendiri didasar sumur tua itu.
"Mereka kemana?! Wahh kacau nih. Acha bakal diem disini gitu?! Acha kapan keluar kalo kayak gini dalem sumurnyaa!!" Pekiknya.
"Tolongg!!! Siapapun diluar sana tolongin Acha!!! Kera, monyet, kera sakti, gorila, orang utan, singa, harimau, serigala pun boleh nolongin Acha!! Acha pengen keluar dari sini!! TOLONGG!!" Teriaknya.
Tapi, setelah menghabiskan seperempat tenaganya untuk berteriak, Acha diam sebentar untuk mengajak otaknya untuk berpikir tentang beberapa kalimat yang sempat gadis-gadis kurang waras itu lontarkan kepadanya.
"Mereka bilang ini ditengah hutan dan jauh dari lokasi perkemahan, berarti..."
"NGGAK ADA ORANG DONG!" Rengeknya.
"HAAAA!!!!! ACHA GAK MAU JADI MANUSIA LUMUT DISINI!!!"
Setelah berteriak kepanikan seperti itu, Acha baru ingat satu hal. Daripada berteriak, terbesit dibenaknya kalau dia masih bisa menelepon. Acha langsung menggasak ponsel dari ranselnya yang basah. Dan untungnya, ponsel dan benda-benda lainnya seperti 15 bungkus kue dorayaki, dan perlengkapan lainnya tidak ikutan basah karena ranselnya itu anti air.
"Hp, iya. Mana hp Acha," Acha lalu mengeluarkan ponselnya.
"Aduh, Acha mau nelpon siapa?!!! Enggg... Aidan aja kali ya?"
Tapi setelah berpikir lagi, Acha ragu. Mengetahui bahwa Aidan yang orangnya kurang waras, khawatiran, dan merusak segala benda bila dia merasa marah, akhirnya diurungkan.
"Ah! Kalo Acha telfon Aidan, nanti dia malah.. Ah enggak enggak!" Pekiknya yang tau apa resiko kalau ia menelepon abangnya itu.
Resikonya adalah, Aidan bakal murka pada para pembina yang tak becus menjaga adiknya. Padahal itu sama sekali bukan salah para pembina, seperti kemah Acha waktu SD dulu. Gadis itu bukannya bernasib sama seperti sekarang, tapi terantuk sendiri keningnya di sebuah tiang penyangga tenda sampai benjol. Itu karena Acha salah mengira temannya yang sedang pakai handuk putih di kepalanya karena baru habis keramas itu memang terlihat seperti kuntilanak dimalam hari.
"Astaga! Nggak ada sinyal?! Sumpah Acha bener bener harus terjebak disini?! Pliss dehh Acha nggak mau jadi tarzan!!" Pekiknya walau masih bingung mau menelepon siapa.
"TOLONGG!!! ADA ORANG DISANA?!! TOLONGIN ACHA PLIS!" Teriaknya.
"SIAPA PUN DEH BOLEH TOLONGIN ACHA!"
"Ah! Percuma banget Acha teriak teriak kalo penghuni hutan ini cuma pohon pinus semua!" Rengeknya.
***
"Oke, jadi.." Satya menjeda kalimatnya, ketika ia membalikkan badannya ke belakang.
Ia mendongak ke belakang. Ia baru sadar kalau ada yang kurang dari kelompoknya. Gadis manis dan tercerewet yang pernah dia kenal seumur hidupnya. Gadis pertama yang ia genggam tangannya. Dan gadis pertama juga yang pernah ia kecup keningnya walau secara tidak sengaja.
"Emm, Acha mana ya?" Tanya Satya, dengan dahi mengkerut.
"Acha? Tadi dia dibelakang kok, tapi sekarang dia dimana?" Jawab Dev, ikutan bingung.
"Kalian tau?" Tanya Satya pada dua cewek cewek anak buah si Hatters Penyihir.
"Engg gatau kita," ujar mereka, bohong.
Dan akhirnya kata "tidak tahu" yang dia dengar di telinganya. Satya lalu mengambil ponselnya. Ia berusaha menelepon Acha.
PERTANYAANNYA.
Darimana Satya dapet nomer HP nya Acha? Padahal dia sama sekali tidak pernah bertanya berapa nomor HP gadis itu.
Flashback aktif.
Saat Acha pulang setelah menyerahkan formulir peserta Go Green pada Satya di ruangan Profesor Einstein, cowok jangkung itu kebingungan entah kenapa, dan entah kerasukan apa.
"Kok gue pengen nyimpen nih nomer ya?" Batin Satya yang sejak tadi tak dapat melepaskan pandangannya dari nomor HP Acha yang tertulis di formulir.
Satya lalu menengok ke kiri, memulai khayalan dadakannya. Disebelah kirinya itu ada Si Devil Bertanduk Merah yang sudah standby melarangnya. Dengan tubuh mungilnya, Devil itu melayang di samping telinga kiri Satya.
Devil Bertanduk Merah : "Gak usah disimpen, toh lo nggak suka kan sama tuh cewek?"
"Bener juga sih ya, gue nggak ada perasaan apapun sama Acha," batin Satya.
Baru saja ia akan bangkit dan melangkah keluar, datanglah Si Fairy Berjubah Putih yang sudah stanby di samping kanannya. Sama seperi si Devil, si Fairy juga melayang dengan tubuh mungil.
Fairy Berjubah Putih : "Nggak mungkin kamu nggak punya perasaan sama gadis semanis Acha. Bayangkan wajah manisnya. Dia begitu manis, bahkan lebih manis daripada gula tebu. Masak kamu gak mau nyimpen nomor HP nya?"
"Iya juga sih ya," batinnya mengiyakan.
Devil Bertanduk Merah : "Jangan lengah! Lo harus pertahankan sikap lo! Lo nggak boleh ngerusak reputasi lo yang udah dikenal cowok cool di sekolah ini!"
Fairy Berjubah Putih : "Jangan dengarkan dia! Kamu lihat nomor itu dan save di HP mu! Banyak cowok cowok yang kepengen dapet nomor HP istimewa itu! Jangan kamu sia siakan karena mendengar perkataan si Devil!"
Fairy Berjubah Putih itu lalu mendekat ke telinga kanan Satya dan berbisik.
"Kalau kamu tak ingin masuk neraka dan merasakan panasnya api Kawah Tambra Goh Muka, maka save nomor HP Acha!" Bisiknya.
Satya bergidik dan tersadar. Ia menoleh kanan kiri, namun tak ada apa apa. Tanpa berpikir panjang, dan tak mau masuk neraka, ia harus menyimpan nomor HP Acha.
Flashback nonaktif.
"Gimana? Nyambung?" Tanya Dev.
"Hp nya nggak aktif," jawab Satya, sedikit cemas.
Dan satu ide mencuat dibenaknya. Daripada dia diam disana seperti orang gila, Satya kemudian memutuskan untuk mencari Acha disekitaran sana.
"Dev, gue minta sama lo, lo lanjutin aja challenge teka tekinya. Gue bakal nyari Acha. Mungkin dia masih berkeliaran disekitaran sini." Ujarnya, menepuk bahu Dev.
"Semoga berhasil." Jawab Dev seraya mengangguk.
Tanpa enteh gemeng lagi, Satya akhirnya berlari mencari Acha. Tak luput, ia juga memanggil manggil Acha.
"Acha! Lo dimana?!" Teriaknya.
"Acha!!" Panggilnya lagi.
"Tuh anak ngilang kemana coba? Apa dia ngambek karna tadi?" Batin Satya.
"Acha!!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
ANINDHA (TAHAP REVISI)
Teen Fiction[SELURUH HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG!] "Menyayangimu adalah sebuah pilihan. Tetap bertekad, atau mengalah?" Sebuah kisah berlatar belakang delta (Δ) atau selisih. Berselisih paham antara saudara sendiri, dan sebuah kisah rumit. Bisa dibilang...