Wendy memutuskan untuk berkunjung ke rumah sakit sepulang dari rumah Yerim. Tak bisa dipungkiri kalau dia merindukan Joy.
Senyum segera mengembang saat dia melihat Joy sudah terlihat jauh lebih baik.
"Selamat malam?" sapanya pada Joy yang tengah membaca majalah.
Joy menatap Wendy dan tersenyum, "Kamu datang?"
"Tidak ingin kujenguk?" Wendy menunda langkahnya.
"Tidak" Joy menggeleng, "Masuklah. Aku kesepian."
Tanpa menunggu lama, Wendy sudah duduk di dekat Joy setelah meletakkan makan malam untuk mereka berdua di atas nakas.
"Aku senang melihat kondisimu yang sudah jauh lebih baik."
Joy membalas dengan senyum samar, "Hanya luka luarku yang membaik. Luka di dalam sini, masih tetap sama" dia menyentuh hatinya.
Senyum di wajah Wendy ikut memudar. Tapi dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengembalikan kebahagiaan yang hilang dari hati Joy. Karena itu, dia tak boleh terlihat sedih dan terluka.
Karena senyuman itu harus kembali dengan tulus.
Wendy menggenggam sebelah tangan Joy, "Semua luka mu akan sembuh. Percaya padaku."
Keduanya bertatapan. Terpancar keyakinan dari kalimat yang Wendy ucapkan, dan itu membuat hati Joy sedikit menghangat.
"Bagaimana dengan orangtuamu? Mereka pasti khawatir melihat kondisi anaknya yang seperti ini."
Joy mengangguk, "Mereka menangis melihatku. Aku tahu mereka sangat marah padaku, tapi mereka justru menangis saat melihatku seperti ini."
"Mereka pasti sedih melihat anaknya yang cantik ini penuh dengan luka."
"Sebenarnya mereka tak pernah setuju dengan hubunganku" Joy mulai bercerita, "Mereka menentang meski aku coba menjelaskan baik-baik. Aku tidak pernah tahu alasan mereka membenci orang itu, dan aku tidak pernah bisa menjelaskan pada mereka betapa besar cintaku padanya. Hingga akhirnya kita memutuskan untuk kabur. Oppa mengajakku pergi keluar negeri dan tinggal bersama. Hanya dia yang kumiliki, karena itu aku setuju untuk pergi bersamanya.
Kupikir saat kita tinggal bersama tanpa orang lain yang menentang, hubungan kita akan berjalan baik-baik saja dan penuh kebahagiaan. Tapi ternyata tidak. Kita kesulitan untuk hidup. Aku bekerja, tapi itu tak cukup untuk kebutuhan hidup berdua. Sementara oppa masih kesulitan mencari pekerjaan. Dia kerap kali berhenti karena tak cocok dengan pekerjaannya.
Disaat hidup berdua terasa semakin berat. Perlahan oppa mulai berubah. Aku tahu dia lelah, aku tahu dia mendapat banyak masalah, dan aku mencoba menyadari semuanya ketika dia melampiaskan perasaannya padaku. Bagiku, kesulitan yang oppa rasakan terjadi karena dia bersamaku. Saat dia bilang bahwa aku pembawa sial, aku mengakuinya. Karena semua kesulitan ini terjadi semenjak kita tinggal bersama.
Tapi lama-lama aku juga merasa lelah. Aku bukan punch bag yang bisa dia gunakan tiap kali tangannya gatal untuk memukul. Aku tahu oppa mendapat kesulitan karena diriku, karena itu, diam-diam aku kembali ke Korea. Aku tidak ingin hidup oppa semakin menderita karena diriku. Dan aku pun sudah tak sanggup bertahan disisinya dengan semua luka yang dia goreskan. Tapi oppa mencariku dan berjanji akan berubah. Dan bodohnya aku percaya dengan mudah. Aku mencintainya, aku tidak ingin kehilangannya. Meski dia hanya menyiksa dan menyakitiku saja.
Lalu aku bertemu dirimu. Kamu memberikan ide untuk mengadakan pesta anniversary untuk orang tuaku. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa oppa lah yang merencanakan semuanya. Aku ingin nama oppa terlihat bersih di mata mereka. Karena bagaimana pun, mereka tetap lah orang tuaku. Aku ingin mereka menyetujui hubunganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
YELLOW [MOONRENE]
Fiksi Penggemar⚠️ GXG MAMAVELVET xxxxxx YELLOW adalah perusahaan dibidang event organizer yang dibuat oleh Bae Irene sejak tiga tahun lalu. Perempuan itu menyewa salah satu lantai di gedung milik Moon Byulyi untuk menjadikannya sebagai kantor. Bersama dengan Wendy...