8. Arosa yang Dekat Dengan Angkasa Lewat Cara Tidak Biasa

348 24 0
                                    

"Awal mula aku dekat dengan Angkasa, waktu dia menitipkan tas dan kunci mobilnya saat aku baru membuka pagar kos."

"Titip. Tolong disimpan!" katanya dengan nada perintah lalu berlari kencang sesaat setelah dia menyerahkan tas kecil berwarna hitam padaku.

Apa-apaan ini? Seketika suasana sekitar kos menjadi riuh, tetapi hanya berlangsung sekelebat saja setelah kawanan pria dewasa melewatiku dengan langkah super cepat. Aku mengedarkan padangan ke sekeliling untuk memastikan jangan-jangan orang-orang yang berlari tadi---termasuk Angkasa---adalah bagian dari aktor film laga yang sedang melaksanakan syuting.

Ah, soal Angkasa---cowok yang tasnya sedang aku pegang---adalah teman sekelas, tetapi selama ini kami berdua hanya sekadar menyapa, tidak pernah terlibat perbincangan. Mungkin karena kami termasuk anak yang tidak suka banyak bicara dan suka menyendiri.

Kira-kira apa isi tasnya? Hatiku tergelitik untuk membuka tas itu, siapa tau ada narkoba di dalam? Ya ampun, aku harus segera memeriksa tasnya. Kalau benar ada narkoba tega sekali dia, mau menjebakku. Namun, sisi lain dalam hatiku melarangnya. Kata Papa tidak sopan membuka barang orang lain tanpa ijin.

Keesokan harinya aku ke kampus dengan membawa serta tas milik Angkasa, tetapi tidak bertemu dengannya. Sudah dua hari dia absen dari kelas, nomornya pun tidak ada yang tau. Dia terlalu misterius. Sampai satu minggu ke depan aku terus membawa tas itu ke kampus, sementara orangnya tidak pernah muncul. Beberapa hari kemudian dia muncul setelah aku sudah putus asa dan berniat menjual tasnya ke tukang loak, lumayan 'kan dapat seribu-dua ribu untuk tambahan uang jajan.

"Terima kasih, sudah menjaga tasku." Dia menarik resleting tas dan mengeluarkan barang-barang dari dalam sana.

"Aku gak buka-buka tasmu ya." Aku sedikit tersinggung saat dia melakukan hal itu, dikira aku selancang itu membuka tas orang lain tanpa ijin.

Dia mengangkat kepalanya lalu melambaikan tangan kanannya beberapa kali. "Eh, jangan tersinggung. Aku lagi nyari sesuatu." Cowok itu kembali melanjutkan pencariannya." Nah, ketemu." Sebuah benda kecil berwarna hitam di dalam kotak bening kini diapitnya menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Nih, aku titip ini lagi." Dia mengambil beberapa lembar kertas berwarna merah bergambar Soekarno-Hatta.

"Apa lagi sih?" Aku mengernyit, menatapnya tak suka.

"Ini KTM sebagai jaminan." Ia mengambil tanganku dan meletakkan uang dan KTM ke atas telapak tanganku.

Beberapa kali aku menolak, tetapi dia bersikeras untuk menitipkan benda-benda itu ke tanganku. Katanya aku adalah orang yang dia percaya saat ini, makanya dia menitipkan sisa uang yang dia punya kepadaku. Terus KTM ini tujuannya apa? Bukannya justru aku yang harusnya diminta kartu identitas sebagai jaminan kalau aku tidak akan membawa kabur uangnya? Aneh sekali cowok ini.

"Nanti kalau butuh uang, aku akan hubungi kamu." Dia berlalu begitu saja setelah menepuk pelan kepalaku dua kali.

Mulai saat itu aku dipercaya untuk jadi tempat penitipan barang-barangnya di kosku dan kami mulai dekat. Namun, kedekatan kami tidak membuat dia membuka dirinya tentang keluarganya. Aku hanya tau dia sudah kehilangan Mama sejak usia lina tahun, tetapi dari tingkah lakunya aku bisa menebak kalau dia menyimpan banyak hal menyakitkan dalam hidupnya.

***

"Kalian gak saling jatuh cinta?" tanya Helda seraya mengambil makanan ringan di rak khusus makanan ringan dan memindahkannya ke dalam keranjang. Kami sedang berbelanja kebutuhan bulanan di mini market dekat kosku. Sepanjang perjalanan dari kos ke mini market, Helda meminta aku menceritakan awal mula persahabatanku dengan Angkasa.

Aku berpikir sejenak, "Jujur awalnya aku baper, secara dia itu tipe-tipe cowok idamana para wanita. Cakep, bajunya selalu rapi, wangi, tapi aku sadar kalau tujuan aku kuliah untuk cari ilmu bukan cari cowok dan Papaku gak memperbolehkan aku pacaran kalau masih sekolah. Jadi, berusaha fokus ke kejelekan dia aja biar cepat move on."

"Berhasil?" Helda meneliti tulisan di botol shampoo yang setauku bintang iklannya Anggun C. Sasmi.

"Berhasil. Setelah udah lama temenan kelihatan banget kalau dia bukan tipe idamanku. Anaknya bobrok banget, kami berdua sama-sama pemalas. Jadi lama-kelamaan perasaan ke dia hilang." Aku meninggalkan Helda, lalu berjalan menuju rak mie instan. Kali ini aku mau coba mie pedas dari Korea. Biasanya aku campur dengan sayur sawi, keju dan telur biar pedasnya sedikit berkurang dan lebih kenyang.

Selesai berbelanja, kami berjalan kaki pulang ke kos. Di tengah perjalanan ponselku berbunyi. Aku memutar bola mata malas, seraya menjawab panggilannya.

"Hmmm," sapaku dengan nada malas.

"Mana semangatnya anak muda?" balas Azada dengan nada antusias.

"Ada perlu apa, cepat bilang." Aku berhenti sebentar lalu mengambil headset di dalam tas dan menyambungnya ke ponsel.

"Kasih tau Helda, besok aku mau nyamperin dia di kelas."

"Geli banget sih. Tau malu dong, kalau orang udah gak minat sama kamu mending mundur aja. Nih langsung ngomong sama anaknya aja." Aku memasang penyuara telinga sebelah kanan di telinga kiri Helda.

"Iya. Ini aku ..." ujar Helda membalas ucapan

"Kalau temenan aja bisa, Kak. Maaf ... aku udah punya tunangan di kampung, selesai kuliah langsung dinikahi." Helda menutup mulutnya keras-keras. Bahunya sedikit bergetar.

"Nanti kita nonton di biskop bareng Kak Ros." Helda menyerahkan penyuara telinga yang tadi tersemat di telinga kirinya.

"Ternyata kamu bisa boong juga?" Sontak kami tertawa terbahak-bahak.

"Gak banget cara PDKT-nya, Kak. Kirain kalau ganteng bisa kalem, ternyata norak. Dia terlalu agresif, jadi bikin tambah ilfeel." Helda tertawa seraya memegangi perutnya dengan tangan sebelah kiri. Sepanjang perjalanan menuju kosan, tidak hentinya kami menertawakan cara Azada yang membosankan ketika mendekati Helda.

***

"Nak, minta tolong transfer uang sejuta ke rekening Bank BCN Mama. Nanti minggu depan uangmu akan Mama kembalikan," pinta Mama diseberang sana terdengar

Permintaannya terlalu asing buatku, karena selama kuliah Mama tidak pernah meminta untuk mentransfer uang ke rekeningnya, justru selalu dikasih uang lebih oleh Mama dan aku lebihnya aku tabung lagi. Sejak tiga tahun yang lalu aku selalu menghamburkan uang yang dikirim dan berakhir menyantap mie instan di akhir bulan. Ya, namanya anak muda.

"Iya, Nanti aku transfer setelah selesai makan. Mama gimana keadaannya?" Aku menyeka kuas mie yang menempel di bawah bibir.

"Nanti kabari kalau sudah transfer. Mama udah sehat, tapi memang kadang ada sedikit ngilu di tulang ekor. Bulan depan Mama mulai terapi pakai BPJS. Mama mau ngomong sesuatu tapi kamu jangan marah ya." Mama menjeda sebentar, sementara aku mulai mengantisipasi kira-kira apa yang dibicarakannya, pasti ini masih berkaitan sama kuliahku.

"Mama harap kamu bisa pulang di bulan maret," tandas Mama dengan suara lebih pelan dari sebelumnya. Namun, ada yang berbeda dari nada suara Mama sejak awal aku menjawab teleponnya. Kedengaran seperti orang yang sedang lelah karena beberapa kali Mama menghela napas panjang. Ada nada putus asa yang penuh kesedihan.

"Doakan ya, Ma. Semoga aku cepat selesai." Aku tidak yakin dengan janjiku, karena ini sudah awal bulan Februari, sementara aku baru sampai bab tiga. Belum ujian, revisi, lanjut penelitian. Pikiranku mulai kacau mulai memikirkan alasan apa lagi yang harus aku katakan pada Mama. Apa kali ini aku harus berbohong lagi?

Arosa ... Arosa, hidupmu memang penuh kebohongan dan masalah, kenapa masih hidup, sih?

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang