"Kak Ros! Kak Ros! Kakak kenapa?" Suara itu terdengar di sekelilingku, tapi tidak terlalu dekat.
Aku tersentak mendengar suara yang memanggil namaku dari kamar sebelah. Berusaha membuka mataku yang masih terlalu berat dan menyesuaikan dengan cahaya lampu---aku sudah terbiasa tidur dengan lampu menyala.
"Aku kenapa, Hel?" Aku balik bertanya dengan suara parau.
"Kakak teriak-teriak minta tolong. Mimpi buruk lagi ya?"
Aku sudah 3 tahun bertetangga kamar dengan Helda, dia paling tau kebiasaanku satu tahun terakhir ini, yaitu mengigau pada malam hari tiap kali aku mendapat mimpi buruk. Aku meringis sekaligus malu dengan kebiasaan ini. Untung Helda anaknya baik, tidak pernah komplain.
"Maaf ya, mengganggu kamu."Aku mengangkat tubuh lalu menyandarkan punggung di kepala tempat tidur.
"Gak apa-apa kali, Kak," katanya singkat.
Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan di antara kami berdua. Aku mengambil ponsel yang ada di dekat bantal untuk melihat jam. Waktu menunjukan pukul 23.00. Ternyata aku baru tidur selama satu jam.
Aku membuka aplikasi chatting dan mencari nama kontak Angkasa.
[Hai, kamu sedang apa?]
Seperti biasa, tanda di kotak pesan menunjukkan centang satu, tetapi aku terus mengetikan pesan.
[Hari ini aku mimpi buruk lagi, tapi kali ini mimpinya udah naik level. Biasanya aku mimpi pak Ruslan hanya marah-marah, tapi kali ini pak ruslan udah berani mukul aku di kafe. Walaupun hanya mimpi, tapi aku malu banget dipukul di depan umum.]
[Angka, kalau aku ketik gini, kamu marah gak ya?]
Aku menggigit kuku. Takut-takut aku mengirimkan pesan untuknya.
[Aku udah gak sanggup lagi lanjutkan skripsi. Rasanya 1000 kali lebih berat dari sebelumnya. Maaf, ya. Kalau nanti aku mengecewakan kamu.]
Pesan tetap centang satu dan seterusnya akan tetap centang satu. Aku mendengkus pelan, kemudian merebahkan tubuh kembali ke tempat tidur dan berusaha melanjutkan tidur sambil kembali mengingat kebersamaanku dengan Angkasa---sahabat satu-satunya yang aku punya.
***
"Nih, makan. Biar badan kamu gak tambah kecil," kata laki-laki yang dengan kurang ajarnya melempar nasi bungkus ke atas pangkuanku.
" Malas, ah. Gak nafsu makan." Aku mengambil nasi bungkus di pangkuan dan memindahkannya ke atas meja.
"Ya udah kalau gitu."
Dengan tidak tahu dirinya Angkasa membuka bungkusan itu dan mulai menyendok nasi beserta lauk ke dalam mulutnya.
"Ih, curang. Katanya buat aku, sekarang kamu yang makan."
"Katanya gak nafsu makan? Daripada mubasir, mending aku aja yang habiskan ... nih, aaaa." Dia menyodorkan sendok berisi makanan ke depan mulutku yang tertutup rapat.
"Ayoo, buka mulutnya, Nak. Bunda stres lho kalau kamu gak makan." Dia sudah mirip dengan ibu-ibu yang sedang membujuk anaknya untuk lekas makan.
Aku menonjok perutnya pelan sambil tertawa geli, lalu membuka mulut dan menerima suapan dari Angkasa. Dia berganti menyuap makanan ke dalam mulutnya, kemudian menyuapiku dengan sendok yang sama. Begitu seterusnya sampai makanan habis.
"Yuk!" ajak Angkasa tiba-tiba.
"Yuk, apa? Kamu aneh banget hari ini." Aku menatapnya heran.
"Kita jalan-jalan."
"Gak ah, malas. Mending tidur ... kamu pulang sana!" Aku menggerakan tangan mengusirnya.
Tanpa aba-aba, dia menarik tanganku. Memaksa bangkit berdiri dan menyeretku ke sebuah mobil yang terparkir di depan kos.
Aku menjerit minta tolong pada Pak Nurdin yang sedang mencabut rumput di depan kos. Bukannya menegur Angkasa, Pak Nurdin malah mengangkat kedua jempolnya.
"Bagus, Angkasa. Emang harus diseret anaknya biar dia bisa melihat indahnya dunia. Saya saja stres lihat dia tiap hari mengurung diri dalam kamar." Pria itu melakukan gerakan tos dari jarak jauh. Sementara aku memutar bola mata melihat kelakukan kedua pria beda usia.
Angkasa mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu dia juga yang memakaikan sabuk pengaman untukku.
"Duduk yang manis ya," ujarnya kemudian membanting pintu penumpang.
Aku melipat tangan dan menekuk wajahku. Hari ini adalah hari libur nasional yang akan aku manfaatkan untuk rebahan seharian, tetapi rencanaku kacau karena laki-laki pengacau ini. Sepanjang perjalanan Angkasa mengoceh banyak hal, tetapi tidak aku tanggapi sekali pun. Ketika jalanan sedikit macet, dia menyenggol lenganku dengan siku kirinya.
Angkasa menunjuk seorang ibu yang menggendong anaknya sambil menawarkan dagangan ke pengendara mobil dan motor yang sedang terjebak macet.
"Senang banget jadi anak kecil itu. Sekalipun dia harus ikut mencari uang, setidaknya dia bisa terus dekat dengan ibunya. Beda banget dibandingkan keadaan aku sekarang." Dia tidak melepaskan tatapannya kepada ibu dan anak yang baru saja menerima uang dari seorang pembeli dagangan mereka.
"Belajar bersyukur, Angga, karena kamu gak perlu kayak adek itu yang bantu orang tua untuk bisa penuhi kebutuhan hidup," pungkasku menatap figurnya dari samping.
Dia tertawa kecil sebelum menanggapi perkataanku. "Aku selalu bersyukur, Ros. Ini hanya perasaan iri yang muncul sesaat dari seorang yang udah gak punya Mama. Manusiawi 'kan? Lagipula, aku gak bisa bersyukur dengan cara membandingkan diri dengan orang yang lebih susah. Rasanya egois kalau kita hanya bisa bersyukur ketika melihat orang yang lebih susah. Kalau kamu selalu pakai cara ini untuk bersyukur dan suatu saat kamu berada di posisi paling bawah, gimana caranya kamu bisa bangkit?"
"Iya juga sih. Lalu gimana caranya kamu bisa bersyukur?" Aku tertarik mendengar penjelasan Angkasa karena baru kali ini mendengar pendapat seperti ini.
"Aku fokus dengan diriku, belajar menerima dan bersyukur atas apa yang aku punya dan tidak aku punya. Rasanya jauh lebih melegakan. Aku melihat orang-orang yang dibawahku sebagai saudara yang perlu aku bantu. Itu aja." Angkasa menurunkan kaca mobil dan meminta aku memanggil ibu yang tadi kami bicarakan.
Aku tidak bisa menahan air mata ketika semua ingatan tentang Angkasa masih begitu jelas diingatan. Angkasa. Satu-satunya laki-laki yang aku ijinkan untuk dekat denganku. Sejak awal sengaja membatasi diri untuk dekat dengan lawan jenis, mengingat sebagai anak rantau di tempat ini. Namun, kehadiran Angkasa dengan caranya yang tidak biasanya membuatku bisa cepat akrab dengannya.
Denting nada dari ponsel menyadarkan lamunan. Ada pesan masuk dari---
[Hi. Kamu apa kabar? Tetap semangat, ya. Jangan pernah menyerah]
Mataku rasanya mau lepas dari tempatnya. Saat membaca sebuah pesan dari orang yang paling aku tunggu balasannya, tapi gimana caranya dia balas pesanku?
I--ni beneran?
Gak mungkin ... gak akan mungkin.
***
Boleh banget yang mau kasih kritik dan saran, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...