Sejak pihak kampus mengonfirmasi kalau Pak Paris yang menggantikan Pak Ruslan, kondisiku mendadak drop. Asam lambung mendadak naik, kepala pusing, dan selalu memuntahkan apapun yang masuk.
"Dulu waktu masih muda, asam lambung Ibu suka naik tiap kali Bapak lama balas surat ibu. Suka cemas, mikir ini orang terima suratku apa nggak, atau dia udah nggak sayang lagi sama ibu jadinya diam-diam selingkuh," ungkap Ibu kos waktu menjengukku di kamar dengan Pak Nurdin.
Aku melirik Bapak kos yang mengelus rambut ibu sambil tersenyum menampilkan deretan giginya. Lalu Ibu mengambil tangan Bapak di atas kepalanya kemudian digenggam. Lama-lama aku kasih stempel di jidat 'dilarang mesra-mesraan di depan jomlo.'
"Apa kamu sedang ada beban pikiran?" tanya Pak Nurdin setelah membalas genggaman istrinya. Mereka memang terkenal pasangan yang romantis dan hangat tanpa pencitraan di media sosial.
Aku memainkan jemari di atas pangkuan. "Dosen pembimbingku meninggal karena covid, terus dosen penggantinya secara usia lebih muda, tapi kejam banget. Mungkin itu kali ya yang buat aku kepikiran sampai mengganggu pencernaan."
"Nah, itu udah tau akar masalahnya. Kalau gitu jangan terlalu dipikirkan atau kamu butuh piknik sebentar biar pikiranmu lebih fresh."
"Covid, Pak. Nggak boleh jalan-jalan," tegur sang istri.
Aku tidak butuh piknik. Aku hanya butuh ada yang mengerti kegalauanku. Kalau cerita ke Azada paling aku diomeli, kalau cerita ke Mama nggak mungkin. Cerita ke Helda kasihan dia sering kujadikan tempat sampah semua emosi negatif. Biar aku pendam saja keresahanku yang sebenarnya.
Selepas Bapak dan Ibu kos pamit, aku dikabari kalau Mama pingsan di dapur. Sebenarnya mau dibawa ke rumah sakit, tapi Mama menolak dan hanya mau diinfus di rumah saja. Hal ini membuat kondisi tubuhku kembali melemah. Kepala mendadak berputar dan aku kembali memuntahkan makanan yang dibawa Ibu kos yang sempat aku santap beberapa sendok. Sepuluh menit menjelang, Helda tiba-tiba menangis histeris. Dia mengatakan dari kamarnya dengan suara lantang kalau papanya masuk rumah sakit karena positif covid-19.
Malam ini sebagian penghuni kos membagi tugas untuk membantu merawatku dan menenangkan Helda. Tak hentinya dia menangis dan bersikeras untuk mencari penerbangan besok lusa agar dia bisa pulang ke kampungnya. Aku memahami bagaimana rasanya mendengar kabar kalau orang tua kita sakit, ketika kita sedang di tanah rantau.
***
Tiga hari berlalu, kondisiku mulai berangsur pulih dan sudah bisa melakukan kegiatan walaupun kadang rasa nyeri itu masih ada. Seperti saat ini, aku baru masuk ke dapur dengan membawa sayur dan ayam yang baru kubeli dari penjual sayur keliling dan melihat Pak Nurdin sedang membersihkan dapur. "Pak, biarin aja. Nanti kita yang bersihin," kataku sembari menaruh belanjaan di atas meja.
"Bersihin di mana. Kalian tuh ya, kosan cewek, tapi nggak bisa jaga kebersihan. Kalian emang nggak jijik masak di dapur yang kotor gini."
Aku meringis, "Maaf, Pak. Nanti aku habis masak langsung bersihin kok," sahutku sembari mencuci sayur di bawah air mengalir.
"Belum lagi rambut sama bungkus sampo nggak pernah dibuang di tempat sampah. Selalu dibiarin berserakan di lantai kamar mandi," sungut Bapak kos mengungkapkan kekesalannya.
Pria paruh baya itu masih terus mengomel sementara aku fokus membagi dua sayur yang akan aku masak dan sebagian disimpan di dalam kulkas. Sebenarnya Pak Nurdin bukan tipe Bapak kos yang jahat. Beliau baik banget, makanya kalau sudah marah-marah begini, berarti kelakuan anak kos sudah sangat meresahkan.
"Kamu nggak kesepian sejak Helda pulang ke Kalimantan?" tanya Pak Nurdin membuyarkan fokusku.
"Sedikit sih, Pak. Kayaknya aku bentar lagi nyusul dia pulang kampung."
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...