Selama ada di rumah aku jarang masuk ke dapur. Biasanya ke tempat itu hanya kepentingan konten saja, Biasalah pencitraan. Soalnya sudah ada kak Rani yang bertugas untuk masak sekaligus mengurus rumah. Wanita yang belum berumah tangga itu sangat rajin. Tiap subuh sudah bangun mengerjakan tugas dan tak ada capeknya. Dari dalam rumah sampai di halaman ditata dengan rapi dan selalu bersih.
Tadi aku sempat mengorek sedikit tentang latar belakang Kak Rani. Siapa sangka pendidikan terakhir Kak Rani adalah sarjana pendidikan. Pantas saja dari tutur kata dan pembawaannya sedikit berbeda.
"Kak, kenapa nggak kerja kantoran aja. Maksudku dengan gelar yang kamu punya bisa buka peluang untuk dapat pengalaman yang jauh lebih banyak dan mungkin bisa punya jenjang karir yang lebih luas lagi," responku setelah Kak Rani selesai bercerita tentang kisah hidupnya sebagai seorang sarjana yang memilih menerima tawaran menjadi asisten rumah tangga di rumahku.
"Aku nggak percaya diri, Kak Ros. Dulu aku hanya pengen merasakan kuliah seperti teman yang lain, makanya asal ambil jurusan. Pas udah mulai kuliah, ternyata berat banget, tapi tetap maksa harus selesai karena orang tua udah keluarin uang banyak. Imbasnya aku jadi malas-malasan karena nggak ngerti satu materi apapun. Di kelas juga pasif mau tanya-tanya ke teman yang lebih pintar karena takut di-bully. Sekarang menyesal banget karena lulus dengan IPK kecil. Sudah coba melamar ke sana kemari, tapi selalu ditolak karena kalah sama orang-orang yang punya pengalaman dan lebih pintar dari aku."
Aku sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Kak Rani karena aku pun mengalaminya. Dulu aku tidak berani melakukan apa pun bahkan meragukan diri sendiri karena tidak percaya diri. Makanya mendengar cerita wanita itu aku seperti berkaca dan tidak akan menghakiminya.
"Aku salut sama Kakak, berani ambil pekerjaan ini dan tutup kuping sama omongan orang lain karena ekspektasi terhadap orang yang punya pendidikan tinggi suka berlebihan." Aku mengambil wortel mentah yang baru saja dibersihkan kulitnya oleh Kak Rani
"Habis mau gimana lagi. Orang tua udah nggak mau tanggung biaya hidupku dan mereka udah kecewa banget aku lulus dengan nilai pas-pasan. Kalau aku pilih-pilih pekerjaan, bisa mati kelaparan. Bersyukur aku kerja di sini di gaji dengan nominal yang layak dan pelan-pelan bisa bantu orang tua renovasi rumah di kampung. Orang mau bilang percuma sarjana tapi jadi pembantu, aku nggak peduli. Bukan mereka yang kasih makan aku kok."
"Betul juga sih, Kak. Aku aja yang jaga toko karena sedang menunggu wisuda aja udah jadi bahan pembicaraan orang-orang. Awalnya aku emang sedih, tapi setelah itu bodo amat." Sementara berbicara, wanita itu mengambil kulit wortel yang sebelumnya sudah dia cacah dan membuangnya ke sebuah ember berwarna hitam yang ada tutupannya di bawah tempat cuci piring.
"Kak, itu tempat sampah?" tanyaku sambil menunjuk ember itu dengan daguku.
"Ini tempat kompos. Lumayan bisa memanfaatkan makanan sisa untuk pupuk tanaman dari bahan alami. Udah dua kali aku panen kompos," jawab Kak Rani bersemangat sambil mengaduk sesuatu di dalamnya.
Aku melangkah mendekatinya. "Penasaran pengen lihat. Ini biasa panen berapa kali sehari."
Kak Rani tertawa geli. "Nggak bisa panen berkali-kali tiap hari. Soalnya harus menunggu sampah organik ini terurai dan tercampur rata. Prosesnya sekitar satu sampai satu setengah bulan."
Aku meminta Kak Rani menjelaskan proses membuat kompos dan diam-diam aku merekamnya. Sejak aku memperhatikan tumpukan sampah organik yang sudah mulai menghitam ini, tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalaku.
Kak Rani menjelaskan, katanya kita siapkan wadah seperti ember yang ada penutupnya, terus harus ada sampah cokelat yang jadi lapisan paling bawah dan sampah hijau yang jadi lapisan kedua. Kalau sampah cokelat itu ada daun kering, tanah, jerami, kertas, sekam padi dan bahan kering alami lainnya. Kalau sampah hijau terdiri dari makanan sisa, kulit buah-buahan, dan batang sayur yang sudah dicacah, biar cepat mengurai. Nanti masukan sampah cokelat terlebih dahulu sebagai lapisan pertama. Setelah itu masukan sampah hijau sebagai lapisan kedua. Kemudian semprotkan sedikit air, tetapi jangan terlalu basah untuk mencegah kompos mengelurkan bau. Setelah itu, ulangi kembali urutan lapisan sampai ember penuh.
"Komposnya harus rajin diaduk minimal seminggu sekali biar mempercepat proses penguraian dan mencegah kompos bau. Misalnya kalau komposnya terlalu kering bisa dikasih air. Kalau kompos terlalu basah, bisa tambahkan sampah cokelat. Kak Ros bisa lihat ada kran di bagian bawah ember. Itu bisa kita tampung air dari cairan kompos dan itu disebut kompos cair."
"Keren banget sih, Kak. Aku mau dong diajak buat kompos mulai dari proses pertama kali. Nah, kalau kompos ini dijual gimana? Biar jadi uang tambahan buat Kakak." Aku mengguncang pelan lengan wanita itu. "Pandemi gini orang-orang lagi heboh beli dan rawat tanaman hias. Nah, kita tawarkan kompos ini buat jadi pupuk tanaman. Gimana?"
Kak Rani menggaruk pelipisnya. "Aku nggak ngerti cara jualan."
"Tenang aja, itu jadi urusanku. Nanti harganya per kemasan silahkan Kak Rani yang atur, nanti aku naikan 10% untuk komisiku. Mau nggak?"
"Kak Ros yang atur aja deh. Aku nggak paham beginian," jawabnya.
Mataku memindai barang-barang yang ada di dapur. Aku tak menemukan banyak perbedaan dari sebelum dan setelah aku merantau. Posisi lemari, kulkas, dan perkakas dapur yang digantung masih tetap sama. Namun, penglihatanku menangkap botol mineral ukuran 1,5 L yang sudah diisi benda seperti plastik.
"Kak, itu plastik yang di dalam botol?" Aku mengambil benda itu dan menunjukan pada Kak Rani.
"Iya, Kak. Ecobrick namanya. Soalnya Ibu tiap hari konsumsi air mineral dan banyak sampahnya. AKhirnya aku coba cari di internet cara memanfaatkan botol bekas. Terus muncul banyak ide kreatif, tapi aku lebih tertarik buat ecobrick ini. Kebetulan juga kita punya banyak plastik yang nggak dipakai lagi."
"Ini bisa dibuat apa aja?" Aku semakin penasaran dengan benda ini.
"Ada yang buat dinding, meja, kursi. Kak Ros nggak sadar ya, kalau kursi teras itu terbuat dari ecobrick?"
Aku menggeleng bingung. Luar biasanya banget ide kreatif orang-orang untuk memanfaatkan sampah. Ini penemuan yang luar biasa dan aku menemukan ide kreatif lainnya. "Kak, kita jualan kursi dari ecobrick, yuk."
Mendadak muncul ide baru lagi ketika aku memperhatikan Kak Rani yang sedang memotong bawang. Nanti aku akan mengajak Kak Rani untuk buat konten, siapa tau bisa jadi peluang yang bagus untuknya.
Sejujurnya dia sangat tidak cocok menjadi asisten rumah tangga. Pendidikan sarjana, dia cantik dan selera pakaiannya bagus. Walaupun kerja di rumah, tapi dia memperhatikan penampilannya.
Kak Rani, suatu saat aku akan bantu Kakak untuk naik level. Aku nggak rela seumur hidup kamu hanya memiliki pengalaman kerja sebagai asisten rumah tangga. Sebentar, kayaknya Kak Rani bisa aku berdayakan sebagai admin untuk online shop toko.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...