18. Arosa yang Kehilangan Dosen Pembimbing

240 23 0
                                    

"Mbak, sini deh. Ibu mau cerita," panggil Ibu kos ketika aku usai menjemur pakaian yang tempatnya berhadapan dengan dapur pemilik kos.

Aku meneliti penampilan dari Bu Nurdin. "Baju baru ya, Bu. Cantik banget warnanya, buat kulit ibu jadi tambah cerah," pujiku tulus melihat baju daster yang belum pernah aku lihat dikenakan oleh Ibu kos.

Malu-malu Ibu mengangguk. "Dibelikan Bapak sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ke 35 tahun. Kalau anak-anak belikan Ibu rantai emas." Senyumnya terbit dan pancaran kebahagiaan nampak pada wajah yang masih kencang, walau menginjak usia 50an. Kata Ibu rahasia kulit sehatnya hanya rajin minum air putih, tiap hari konsumsi buah, sayuran dan pakai sunscreen dari masih muda.

Aku tahu sebenarnya ketika Ibu bilang, "Ibu ingin cerita" hanya alibi untuk pamer terselubung. Memang seperti itulah Ibu kos. Kami yang sudah paham dengan watak Ibu santai menanggapi. Bahkan Helda suka sengaja memuji sampai langit ke tujuh di tanggal tua dan keadaan dompet kosong melompong. Biasanya setelah dipuji, kami akan dibagi makanan gratis.

"Duh, Ibu tuh nggak minta apa-apa, tapi mereka baik banget mau belikan saya hadiah ... eh, tunggu sini ya, ibu ambilkan lauk untuk kamu, kebetulan tadi masak lebih." Ibu masuk ke dalam, sementara aku tersenyum bahagia. Nah, kan baru aja diomongin. Kebetulan aku baru ingat belum makan dari pagi. Beginilah nasib hidup mandiri tanpa ada yang mengingatkan untuk makan. Saking mandirinya sampai malas mengurus perut sendiri.

"Kak, aku pakai baju ini bagus nggak?" tanya Helda masuk ke dalam kamar dengan kebiasaan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, bertepatan dengan aku yang sementara menyantap makanan dari Ibu kos.

"Bagus," jawabku singkat masih fokus pada makanan.

"Ih, boong banget. Gimana bilang bagus kalau Kakak nggak noleh sama sekali," sungutnya membanting kaki kiri dan kanan bergantian.

Aku tertawa geli melihatnya kesal dan mulai merengek begitu. Aku menoleh dan terperangah melihat dia mengenakan gaun sabrina berwarna orange yang menampilkan tulang selangkanya, kontras dengan kulitnya yang cerah. "Cantik banget. Kamu kayak Bu Nurdin lho yang baru punya daster baru warna orange." Aku terbahak melihat wajahnya merenggut kesal. "Kamu mau ke mana emangnya?" sambungku.

"Aku mau nge-date. Setelah hampir setahun aku dan doi hanya chattingan aja. Akhirnya hari ini bisa ketemu," jelas gadis itu dengan wajah bersemu merah.

"Kamu nggak takut corona emangnya? Dua minggu lalu aja panik luar biasa."

"Waktu itu 'kan belum teredukasi, Kak. Kali ini aku udah tau cara pencegahannya yaitu pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Aku pilih kafe yang sepi pengunjung. Jadi tenang, gak akan berinteraksi dengan banyak orang dan paling ketemu juga sebentar."

"Alasan aja. Bisa ganti tempat nggak? Jangan pilih kafe yang sepi soalnya kalian baru pertama kali ketemu. Kita nggak tau dia orang baik apa nggak. Belajar dari banyak kasus kencan pertama yang berakhir tragis. Jangan sampai kamu juga mengalaminya."

Helda terkekeh. "Tenang, Kak. Aku udah antisipasi semuanya resikonya. Nanti ada teman cowok yang bareng ke sana, tapi temanku ini duduk agak jauhan. Jadi, Kakakku jangan kuatir." Helda menggandeng lenganku dan menaruh kepalanya di bahu. Aku mendorong kepalanya menjauh dan bergidik geli.

Sebenarnya aku agak keberatan dia ketemu orang baru di kondisi saat ini, tapi kalau dengan ini buat dia bahagia, aku tidak bisa melarang. Namanya hidup di kosan, walaupun sudah sangat akrab, tetapi harus menghargai privasi teman. Kasih masukan boleh, tetapi tidak memaksa kehendak. Supaya hubungan tetap terjaga.

***

Aku sedang tertawa terbahak-bahak menyaksikan variety show Korea yang dominan berisi permainan fisik, tetapi penuh tawa karena mayoritas anggotanya para pelawak--Ini salah satu hiburan yang membuatku lupa waktu dan penolong dikala aku kesepian--Helda menerobos masuk ke dalam kamar dengan wajahnya yang merah padam. Kebiasaan anak ini yang sulit sekali mengetuk pintu.

"Kak, tau nggak---" Dia menghentikan ucapannya dan tertawa terbahak-bahak.

Jangan bilang kesambet jin ketawa.

Aku menekan tombol spasi dan melanjutkan tontonan yang sempat aku hentikan waktu Helda masuk. Malas meladeninya yang masih tertawa.

"Dunia ini sempit banget, Kak. Bisa-bisanya teman kencanku itu Kak Azada." Dia kembali tertawa sampai tiduran di lantai sambil memegangi perutnya.

Setelah tawanya reda, dia cerita bermula dari match di aplikasi dating. Ternyata nyambung ketika chatting-an, kemudian obrolan mereka berlanjut ke media sosial. Namun, keduanya memakai second account jadi tidak saling tahu identitas yang asli. Aku sendiri pusing mendengar ceritanya. Gimana ada orang yang baper dengan sosok yang hanya ketemu di dunia maya.

"Ternyata ngobrol dengan Kak Azada seru juga. Dia tadi ganteng banget dan wibawanya beda gitu dibanding waktu kita jalan bareng."

"Kamu naksir dia, ya?" Aku menuding dan menatapnya dengan kerlingan jahil.

"Kayaknya. Lihat aja nanti progresnya kayak gimana." Gadis itu memindahkan sejumput rambut di belakang telinganya dan tersenyum salah tingkah.

Kenapa percintaan orang begitu mulus, aku iri lho sebagai orang yang dari bayi belum pernah pacaran. Pengen gitu di sayang-sayang sama lawan jenis. Dikasih kejutan, tiap hari ada yang kuatir, ditanyain sudah makan, sudah mandi.

Sebenarnya bisa pacaran dari dulu, tapi aku yang nggak mau. Bukan sok jual mahal ingin diperjuangkan lawan jenis. Namun, aku selalu pegang teguh janji kepada orang tua untuk fokus dengan pendidikan dan akan pacaran kalau sudah mapan, tapi kapan mapannya. Hidup gini-gini aja, masih jadi beban orangtua.

Aku turut bahagia dengan hubungan kedua teman akrabku ini. Walaupun tidak rela Helda memberikan kesempatan untuk Azada. Bukan karena cemburu, tetapi Azada itu bukan tipe laki-laki yang serius dengan hubungan percintaan. Sementara Helda, tipe perempuan yang hanya baru kenal cowok saja dia sudah memikirkan akan menikah pakai adat apa.

"Duh, Kak. Kalau aku jadian dengan Azada dia mau nggak ya acara nikahannya di Kalimantan." Helda mengelus pipinya malu-malu.

Aku sudah menduga pembicaraan ini hanya tertawa terpingkal-pingkal menyimak dia yang masih lanjut berkhayal.

***

"Ros. Kali ini nggak hoax. Kampus ditutup dan semua pelayanan sampai kegiatan belajar lewat online karena ada beberapa dosen kita yang positif corona," ucap Azada di telepon.

"Bentar." Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan membuka media sosial kampus untuk memastikan informasi itu benar atau tidak. Cukup sekali termakan hoax dari Azada. Ternyata benar informasi yang dikatakan Azada. Seketika membuat lututku lemas. Fix, kali ini aku akan di drop out.

"Pak Ruslan nggak mau ada mahasiswa ke rumahnya. Gimana caranya buat ketemu?" rengekku.

"Bukannya kamu udah beberapa kali konsultasi lewat e-mail."

"Eh, bener juga. Aduh, bisa lupa gini." Aku tertawa malu.

Cowok itu mendengkus kasar. "Udah pemalas, panikan lagi. Ros ... Ros," cibirnya.

"Biarin yang penting cantik." Aku terkekeh geli dengan kenarsisanku.

"Tapi kamu jangan senang dulu karena berita selanjutnya akan buat kamu lebih syok lagi. Pokoknya kamu fokus nulis skripsi aja, aku akan dukung kamu terus." Nada suara Azada berubah serius.

"Emang kenapa? Kasih tau cepetan," desakku

Ada henik sejenak. "Ada empat dosen yang positif covid-19 dan mereka semua berasal dari jurusan kita. Salah satunya Pak Ruslan."

"Kamu nggak becanda 'kan, Zada?" tanyaku tak percaya.

"Beneran. Papaku 'kan Rektor jadi sempat ngobrol. Ceritanya dua minggu setelah pulang dari Jakarta, mendadak demam tinggi dan flu. Pas dites ternyata positif. Kemungkinan dosen yang lain kena dari Pak Ruslan. Kita doakan dosen pembimbing kamu yang sekarang lagi di ruangan ICU. Katanya kritis dari tadi malam."

Tulang-tulangku melemah tak berdaya. Kasihan Pak Ruslan, gimana kalau ada sesuatu yang buruk terjadi. Mataku berkaca-kaca mengingat dosenku itu.

"Ros, ini ada pesan masuk ... Pak Ruslan meninggal."

Aku meraung menangisi dosenku. Walaupun ucapan Beliau suka nyelekit di hati, tetapi apa yang dikatakan semua selalu benar dan untuk kebaikanku. Pak Ruslan selalu memudahkan konsultasi, suka memantau dan mendorongku untuk segera selesaikan skripsi biar segera lulus. Aku benar-benar kehilangan sosok luar biasa ini.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang