21. Arosa yang Mendapat Banyak Cinta

211 23 0
                                    

Untuk anak kos di seluruh Indonesia, kalau tidak berniat menetap di tempat perantauan, sebaiknya jangan membeli barang yang hanya memenuhi kamar kos atau kontrakan karena ketika berniat pulang, akan kewalahan sepertiku.

Aku sampai mengubah jadwal kepulangan mundur satu minggu karena kewalahan mengemasi barang-barang yang luar biasa banyaknya. "Perasaan kamu senang beli baju tiap bulan, tapi kalau keluar suka pakai baju itu-itu aja," tutur Pak Nurdin setelah memperhatikan tiga dus berukuran besar yang semuanya berisi pakaian. "Dikira kemarin kamu jual pakaian udah mengurangi isi lemari. Ternyata sama aja," sambung Bapak kos.

"Iya, Pak kemarin hanya jual beberapa potong aja, soalnya masih nggak rela lepasin semua barang-barangku." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Pusing juga memikirkan biaya untuk mengirim barang-barang ini.

Siapa sangka hanya baju saja sudah 50 kg lebih. Aku menimbangnya menggunakan timbangan barang milik Pak Nurdin. Kebetulan dulu pernah punya usaha agen ekspedisi, tetapi tutup karena kondisi pasangan suami istri itu yang tidak memungkinkan untuk meneruskan usaha itu.

Aku menghubungi Azada untuk sekali lagi membantuku menjual barang-barang ini. Pertimbangannya, sekarang gaya hidupku perlahan mulai berubah, melihat pakaian yang memenuhi lemari perlahan sudah tidak membuatku sebahagia dulu. Mungkin karena masa kesusahan yang kemarin dialami, membuatku berpikir kembali untuk hidup hedon.

"Kamu masih punya banyak barang?" Pertanyaan yang sama dilontarkan Azada ketika menghubunginya.

"Banyak banget, kayaknya kalau hitung hampir 150 kg deh. Dari pada aku harus bayar ongkir mahal, mending aku jual. Aku juga bukan tipe suka jalan-jalan, hanya kebetulan suka belanja aja untuk melepas stres ... nyesel deh, hidup hedon tanpa perhitungan gini."

"Oh, syukurlah kalau kamu sadar. Anak rumahan tapi sok beli baju untuk pelampiasan," sindir Azada. Aku hanya menahan diri untuk tidak membalasnya. Aku harus sabar karena butuh bantuannya. "Maaf ya, nggak bisa bantu kamu untuk jualan offline karena aku lagi sibuk sekarang. Usulku kamu buat toko di e-commerce aja, nanti aku akan bantu share link toko kamu dan aku ijinkan pakai dua story di akun PAAZ untuk promosi barang jualan kamu. Nanti aku minta teman-teman yang lain bantu repost."

Sekali lagi aku berkali-kali bersyukur Azada menjadi temanku, dia selalu punya solusi yang tak pernah aku pikirkan.

"Makasih banyak Azada yang pintar banget. Eh, kamu nggak galau Helda kemungkinan lama balik dari kampungnya?"

"Nggak sih, biasa aja," jawabnya dengan nada tak acuh.

Aku terbahak, tahu dia sedang menghindariku meledeknya. "Padahal cewek kamu sering ngeluh karena kamu tiap detik hubungi dia minta video call, kirim foto. Tolonglah Azada, jadi orang jangan terlalu bucin. Nanti cewek cepat bosan loh. Kamu harus agak cuek gitu, supaya Helda penasaran terus."

"Udah ah, jomlo seumur hidup sok-sokan jadi pakar cinta buat aku yang udah 10 kali pacaran." Azada langsung memutus panggilan yang sontak membuatku kembali menyemburkan tawa.

Solusi sudah ketemu, saatnya aku mengumpulkan tenaga untuk mengeluarkan baju-baju yang sudah tersimpan di kardus untuk aku pilih lagi mana yang akan kujual, dan mana yang akan kubawa pulang. Aku juga minta tolong kepada teman-teman kos termasuk Anggi, untuk nanti bantu promosi toko online-ku di e-commerce.

"Kak, nanti aku pilih baju yang pas, biar aku pakai untuk promosikan di story ya. Kemarin ada olshop yang sold out 100 pcs lebih waktu aku promosikan."

"Makasih banyak ya, aku bayar berapa nih untuk jasa endorse-nya?"

"Ingat nggak dulu waktu aku baru masuk di sini, momennya pas long weekend dan anak kos pada pulang semua kecuali Kak Ros dan Kak Helda. Pas hari kedua, aku hampir mati di kamar karena mendadak panas tinggi sama muntah-muntah. Untung ada kalian berdua yang bantu antar aku ke rumah sakit, terus temani tidur sampai pagi di kamarku. Makanya aku buat janji kalau nggak akan menolak apapun permintaan tolong dari Kak Ros dan Kak Helda," jelasnya dengan senyuman tulus yang tercetak.

Padahal aku sudah melupakan kejadian itu karena sudah lama sekali, tetapi dia masih mengingatnya. Di lain sisi, sesuatu menghantam kesadaranku, salah satu hal yang membuat hidup ini jalan di tempat adalah aku yang jarang bahkan gengsi meminta bantuan orang lain ketika sedang kesulitan. Padahal seperti saat ini, ketika aku terbuka dan meminta pertolongan, mereka membantu menemukan solusi.

Tidak ingin menunda waktu, aku kerja keras sampai subuh untuk foto produk menggunakan kamera yang dipinjamkan Anggi. Untungnya bab empat skripsi sudah aku setor ke e-mail pak Paris, jadi aku bisa fokus mengerjakan hal ini.

Semoga skripsiku tidak dikoreksi, tetapi aku langsung teringat kata Azada kalau mendapat banyak revisi lebih baik, daripada tidak ada koreksi sama sekali waktu konsultasi, dan dibantai habis-habisan saat ujian. Ck, dia kalau ngomong memang suka benar.

Butuh dua hari untuk aku membereskan semua urusan sampai semua bajuku diunggah di e-commerce. Untung saja Anggi kuliah online jadi dia membantuku untuk foto sebagian produk menggunakan kamera ponselnya yang kualitas hampir setara dengan kamera DSLR.

Benar saja, seperti kata gadis itu, dengan kekuatan followers-nya yang berjumlah sekitar 500 ribu, hanya butuh waktu dua hari produk yang dipajang di etalase toko online-ku habis terjual. Padahal harga jualnya 70% dari harga beli yang menurutku masih termasuk mahal untuk ukuran baju preloved, tetapi kata Anggi, followers-nya royal karena percaya dengan reputasi Anggi yang tidak sembarang mengambil barang untuk endorse.

Aku langsung mengabari Azada begitu jualanku sudah laku. Bersyukur karena tidak perlu membajak media sosial PAAZ dengan konten jualan produk pribadiku seperti kata cowok itu.

"Sadar atau nggak, sebenarnya kamu itu orang yang beruntung. Bertahun-tahun nggak konsultasi, tapi sekali ketemu dosen tetap diterima. Ada masalah keuangan, tapi nggak berlangsung lama karena langsung dapat solusi. Sekarang pakaian dan barang-barang lainnya yang kamu jual juga cepat laku," ujar Azada.

"Lebih tepatnya beruntung kenal orang-orang hebat di sekitarku. Ada bu Sherli yang pasti bantu ngomong ke Pak Ruslan, ada kamu, Helda, dan teman-teman kosku yang lain. Berkat kalian aku selalu beruntung."

"Berarti kamu harus baik-baik sama aku. Tetap jadi admin konten PAAZ walaupun kamu udah pulang kampung dan harus selalu pegang HP, biar kalau dihubungi urusan kerjaan, responnya cepat."

"Siap, bos. Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan kamu. Maaf aku selalu merepotkan, suka buat kamu marah." Mataku mulai berkaca-kaca. Untung kami hanya berbicara lewat telepon, kalau bertatapan muka mungkin aku sudah diledek habis-habisan sama Azada.

"Kamu ngomongnya kayak lagi pesan terakhir sebelum meninggal."

"Huus, sembarangan. Emang paling nggak bisa ya, sekali aja ngomong serius sama kamu."

Azada terkikik geli. "Aku yang seharusnya terima kasih karena udah buat konten bagus dan menarik sampai berpengaruh ke penjualan. Cara kamu bercerita bagus banget. Menurutku, mungkin ini awal perjalanan menuju masa depanmu yang lebih baik. Coba kamu seriusin buat konten di akun pribadi, siapa tau bisa jadi influencer dari kotamu. Aku usul, buat konten cara menikmati hidup ala orang pemalas. Nanti kamu dapat uang banyak dan orang tua udah nggak menuntut kamu jadi PNS lagi."

"Mana ada orang bangga jadi orang pemalas terus dibuat konten. Emang kasih saran tuh nggak pernah ada benarnya, ya," sergahku tak terima pada usulan yang tidak masuk akal dari teman sekaligus atasanku itu.

Benar juga kata Azada, aku sampai melupakan hal ini ketika memutuskan pulang ke rumah. Semakin dekat dengan Mama, aku akan semakin didesak menjadi PNS. Tolong, Aku nggak mau.

"Perjuangan yang seharusnya baru akan segera dimulai. Semangat, kamu pasti bisa, Arosa," kata Azada mengakhiri percakapan kami.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang