19. Arosa yang Kehilangan Semangat

232 24 0
                                    

Aku merasa semakin hari kemampuan bercerita lewat tulisan semakin bagus. Jumlah viewer story media sosial yang aku kelola semakin meningkat dan berimbas pada bertambahnya jumlah penjualan sebanyak 10%. Kata para follower mereka suka mengikuti story PAAZ karena konten yang dibuat selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, di mana mereka merasa berada di situasi itu juga. Namun, realita ketika bisa menghibur orang, aku tidak benar-benar merasa bahagia. Bingung sendiri sebenarnya mauku apa. Perasaan hampa dan sepi ini masih menggelayut.

Mungkin karena aku masih merasa sedih dengan kepergian Pak Ruslan dua minggu yang lalu. Kesedihan ini juga dirasakan semua yang mengenal Pak Ruslan karena kebaikan, ketegasan, kontribusinya di bidang pendidikan dan masyarakat. Hal yang membuatku tambah sedih sekaligus miris adalah pemberitaan mengenai kepergian dosenku ini terlalu berlebihan sampai melanggar privasinya. Alamat rumah, foto diri, dan keluarganya diekspos besar-besaran. Untungnya kata Azada pihak kampus langsung bergerak cepat dan meminta media untuk menurunkan berita yang menyangkut privasi Pak Ruslan dan keluarga.

Aku sempat menghubungi pihak kampus, menanyakan nasibku selanjutnya dan mereka bilang akan menghubungi jika sudah mendapat pengganti Pak Ruslan. Akibatnya, semangatku untuk mengolah data penelitian juga semakin kendor karena kuatir siapa yang akan menjadi dosen pembimbing pengganti. Apa lagi melihat progres yang jalan di tempat dan tenggat waktu yang semakin dekat yaitu sisa dua bulan, membuatku kehilangan motivasi lagi.

Judul yang kurasa awalnya kelihatan gampang, tapi waktu masuk bab empat ternyata sulit juga. Sempat muncul rasa menyesal kenapa harus memilih judul ini. Seandainya aku memilih judul kayak punya Azada yang jenis penelitiannya kualitatif, pasti lebih mudah.

"Tukang ngeluh! Mau judulnya kayak apa, kalau kamu dari awal udah merasa terbebani dan bilang gak bisa, perjalanannya akan berat," omel Azada ketika aku sedang bersungut-sungut di depan laptop yang menampilkan halaman kosong Ms. Word.

Cowok yang rambutnya tambah gondrong mendadak muncul di depan kos dan memaksa masuk. Katanya dia ingin menyelesaikan skripsi dan butuh support system yaitu Helda, untuk memberinya semangat yang bisa membuahkan ide segar. Aku juga turut membuka laptop atas paksaannya.

"Kamu enak gak pake hitungan, hanya tinggal merangkai kata aja." Aku memicingkan mata tak suka.

"Kamu kira skripsi kuantitatif enak apa ya. Salah ngasih landasan teori bisa habis. Udah deh. Kerjakan sekarang, ngeluh gak bikin kamu bisa selesaikan skripsi."

Jari-jemariku kaku di atas keyboard laptop. Tidak ada satu kata pun yang berhasil dirangkai. Hati merana, sepertinya hanya aku mahasiswa paling bodoh yang tidak becus mengerjakan skripsi. Perjalanan untuk menuntaskan apa yang sudah aku mulai terasa sangat sulit.

"Mending aku kembali ke kamar aja, deh. Kamu sama Helda aja di sini." Aku bersiap membereskan laptop, tetapi langsung dicegah Azada.

"Jangan dong. Ros. Keluar yuk. Aku pengen ngopi." ajak Azada kemudian mengerling ke arah Helda.

Aku menimbang sebentar, lalu mengangguk. Mungkin dengan keluar sebentar aku bisa mendadak mendapatkan motivasi untuk mengerjakan skripsi.

***

Azada

[Kamu sengaja ajak Pak Paris?]

Aku mengetikan pesan secepat kilat ketika dosen muda itu masuk ke dalam kafe selang lima menit kami tiba di sini.

[Iya] balas Azada.

Aku menggeram sembari memukul paha dengan kepalan tangan. Niat datang ke sini untuk mendapat inspirasi dan motivasi, terlebih kondisi kafe yang mendukung, sepi dan musik yang diputar sesuai seleraku. Namun, kehadiran orang ini membuat mood-ku anjlok sampai dasar bumi.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang