37. Arosa yang Berani

308 16 0
                                    

Berkali-kali aku menghirup oksigen dan menghembuskannya lagi, kaki dan tanganku belum berhenti gemetar. Aku tak bisa menangis sama sekali, tetapi dada dan tenggorokanku sakit luar biasa. Aku dan seluruh keluarga besar sedang menunggu Mama sedang ditangani. Saking banyaknya orang, sampai sebagian dari kami dipaksa keluar oleh satpam.

Sewaktu menemukan Mama pingsan di depan kamar, aku langsung membangunkan Melisa dan Kak Rani. Kami bertiga langsung menggotong Mama ke mobil Melisa yang untungnya dia bawa menginap di rumahku. Melisa secepat kilat memacu mobil. Sepanjang perjalanan aku memeluk dan memanggil Mama tiada henti. Aku meraba kulit wajah dan tangan masih hangat, tetapi ketika aku menyentuh kakinya sangat dingin. Seketika membuatku kembali memeluk erat Mama dan meraung memanggilnya.

Ketika sampai di rumah sakit, saat tengah ditangani dokter, tiba-tiba Mama kejang dan dinyatakan koma setelah beberapa jam kemudian tak sadarkan diri.

"Kamu tuh emangnya dari dulu buat susah Kak Rini aja. Kalau saja kamu ikut tes CPNS, Kakakku nggak akan jatuh dan koma. Kalau ada apa-apa sama Kakakku, kamu habis!" bentar Om Rudi di depan wajahku.

Aku menantangnya tak takut, di saat seperti ini bisa-bisanya dia menyalahkanku. "Om jangan asal marah-marah, kalau nggak tau apa-apa!" balasku membentaknya.

Tangan pria itu diayunkan ke udara, tetapi langsung dipegang oleh istrinya. "Papa, tolong kontrol emosinya. ini rumah sakit. Tempat orang ingin pulih dan mereka butuh ketenangan. Lagian kita belum dengar cerita yang sebenarnya dari Rosa. Sudah jangan marah-marah, ya," tegur istri Om Rudi dan langsung menarik suaminya pergi.

Aku mengusap air mata dan berjalan tak tentu arah untuk menenangkan diri. Tak pernah ku sangka sedikit pun akan mengalami hal seperti ini. Kepercayaan diri yang begitu tinggi kini luntur sudah. Penyesalan demi penyesalan tak bisa lagi aku hindari. Andai tadi aku tetap ikut walaupun tidak tuntas mengerjakannya lebih baik daripada aku tidak melakukannya sama sekali. Ros, kamu memang sebodoh itu, rutukku dalam hati. Perkataan Om Rudi masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku memang anak sial yang suka menyusahkan orang tua. Papa jatuh di kamar mandi dan pada akhirnya meninggal dunia, setelah beberapa menit selesai ngobrol denganku lewat telepon.

"Kak, Ros di mana?" tanya Melisa lewat sambungan telepon.

"Aku lagi di taman. Jangan susul aku ya, soalnya lagi pengen sendiri." Aku memutus panggilan sepihak.

Aku menyalakan layar dan jam menunjukan pukul tiga pagi. Aku membuka layar kembali dan memperhatikan tanggal hari ini. Seketika tangisku pecah. Hari ini bertepatan dengan hari kematian Papa. Tepat tiga, aku dihubungi lewat telepon oleh salah satu keluargaku dan mengabarkan kabar kalau Papa nggak ada. Aku nggak mau hari ini jadi sejarah kelam lagi untukku.

Aku langsung bergegas ke ruang rawat Mama di ICU, tetapi peraturan ruangan tidak boleh ada pasien yang masuk, maka aku hanya bisa menatap pintu masuknya saja. Aku meraung di depan pintu memanggil nama Mama. Mungkin karena suara tangisku terlalu kencang, aku sampai diusir oleh perawat dan satpam.

"Mohon Anda keluar dari tempat ini kalau ingin membuat keributan. Di sini tempat pasien yang sangat butuh istirahat," tegur suster yang datang dari dalam ruangan ICU.

"Saya mau lihat Mama saya, Sus," pintaku.

"Tidak bisa. Besok saja baru bisa lihat. Itu pun hanya dibatasi satu penjaga saja. Sebaiknya Anda keluar saja, suara Anda cukup mengganggu."

"Ayo, Mbak saya antar keluar," ucap pak Satpam hendak menyentuh lenganku.

Aku segera memohon maaf pada suster dan satpam dan berjanji untuk tidak ribut lagi asalkan aku tidak diusir keluar dari rumah sakit. Untungnya mereka masih memiliki hati untuk membiarkanku duduk di depan ruangan ICU.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang