Aku mengernyit heran ketika kakiku menyentuh pintu masuk rumah karena melihat Papa sedang berbincang dengan seseorang yang sangat kukenal di ruang tamu.
"Angkasa, dari mana kamu tau rumahku?" tanyaku sebelum mencium tangan Papa dan duduk di sampingnya.
"Dulu kamu pernah kasih alamat rumahmu. Lupa ya?" jawabnya dengan raut jenaka.
Aku menatap ke langit-langit rumah lalu mengangkat bahu. "Lupa."
"Gimana hari ini?" tanya Papa menepuk tanganku.
"Capek banget, Pa. Aku tuh udah pernah bilang kalau nggak cocok kerja kantoran, tapi tetap maksa. Sekarang aku stres banget. Atasan nggak pernah menghargai kerja bawahan. Sesama karyawan saling sikut dan saling menjatuhkan. Aku pengen resign aja, Pa."
"Ingat, kamu masuk ke kantor itu harus bersaing dengan ratusan pelamar. Mungkin kamu belum ketemu hal yang menyenangkan di sana aja, wong baru kerja satu bulan."
"Serius, Om? Arosa diterima kerja setelah mengalahkan ratusan pelamar? Hebat banget kamu, Ros. Bangga banget aku. Sudah ku bilang, kamu itu bisa banget, tapi hanya terlalu malas untuk berusaha dan berpikir."
Aku mengerucutkan bibir dan melirik Angkasa tajam. "Kebiasaan naikin orang terus jatohin lagi. Ngapain kamu ke sini?"
"Aku mau ketemu papamu. Ya nggak, Om?"
Aku menatap mereka berdua bingung. Sejak kapan mereka bisa akrab. Perasaan Papa dan Angkasa belum pernah bertemu. Terus tumben banget mereka berdua pakai baju warnanya sama, putih.
Papa dan Angkasa bangun berdiri. "Kita mau pergi dulu. Kamu tunggu di sini sama Mama. Jangan kemana-mana. Hidup ini memang berat, tapi kalau kamu mau terus berusaha dan berserah sama Tuhan, pasti ada jalan keluarnya. Anak Papa harus terus semangat." Papa meraihku ke dalam pelukan. Lama sekali Papa mendekapku, kemudian Papa mengecup keningku lama. "Yuk," ajak Papa pada Angkasa.
Mereka berdua berjalan ke arah pintu dan menoleh sebentar, kemudian menghilang seiring aku mengedipkan mata. Ingin mengejar mereka, tapi rasanya berat untuk melangkah. Perlahan kucoba mengangkat kakiku, tapi tak bisa. Aku berteriak memanggil Papa dan sahabatku itu. Namun, tak ada tanggapan. Air mataku berderai karena kehilangan kedua orang tersayangku. Mereka kemana, kenapa tidak mengajakku. Jahat sekali.
Aku masih menebak-nebak kemana mereka akan pergi. Namun, mendadak badanku melayang tinggi sampai menyentuh plafon, lalu dibanting ke lantai. Aku meraup oksigen sebanyak mungkin, nafas tersengal dengan tubuh terlentang, mataku sontak terbuka, tetapi tak bisa menangkap cahaya apapun di sini. Aku menarik napas panjang dan menyentuh kening yang basah. Aku mengingat kembali kejadian yang baru saja aku mimpikan. Pasti mereka sedang merindukanku sama seperti aku yang sedang merindukan mereka, makanya mereka tiba-tiba menghampiriku.
Mungkin ini juga pertanda kalau Papa dan Angkasa merestui rencanaku untuk mengelola toko peninggalan Papa dan ingin menyampaikan pesan untuk aku tidak boleh menyerah walaupun mendengar selentingan negatif dari sekitar.
Dua hari yang lalu, seorang tetangga yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari rumah, menghampiriku yang sedang membersihkan toko. Kebetulan pintu toko sedang terbuka walaupun sedang tidak melayani pembelian.
"Kirain udah mulai jualan, padahal aku mau beli lho," ucapnya dengan nada sendu. "Rosa, kapan pulang?" lanjut wanita usia sekitar akhir 30an itu.
"Maaf, Tante, mungkin satu atau dua minggu lagi toko dibuka. Aku masih bersihin tempatnya dulu, maklum udah lama nggak dibuka. Bisa minta nomornya, biar aku kasih tau kalau toko udah dibuka ... aku udah hampir sebulan di rumah, Tante," jawabku masih terus membersihkan rak besi tempat biasa meletakan barang jualan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...