36. Arosa yang Mengecewakan Mama

247 15 0
                                    

"Ros, kapan ujiannya?" tanya Mama ketika aku baru keluar dari kamar.

"Tiga hari lagi, Ma. Aku udah deg-degan. Takut kalau nilaiku nggak sesuai passing grade. Nggak apa-apa 'kan, Ma. Kalau aku nggak lulus?"
"huust ... nggak boleh ngomong gitu. Yakin pasti lulus. Mama tiap hari doakan kamu, jadi jangan takut. Jalani aja dulu, sisanya serahkan sama Tuhan." Mama tersenyum seraya mengelus rambutku.

"Iya, Ma. Aku hanya kasih tau aja, biar lebih realistis aja, soalnya aku rasa kurang persiapan. Takutnya nanti Mama terlalu berharap terus aku nggak lulus. Takut buat Mama kecewa."

Sejak tiga minggu yang lalu aku mengurangi intensitas untuk belajar. Entahlah tiba-tiba semangatku kendor lagi. Perasaan jadi tak tenang, overthinking mulai kembali, dan aku mulai mempertanyakan keputusanku ini, apakah tepat atau tidak aku memilih jalan ini. Sejak pulang dari mengantar pesanan di TPA pikiranku selalu tak tenang. Bagaimana bisa sisa konsumsi yang menjadi sampah sebanyak itu, apalagi sepanjang masuk mendekati kawasan tempat pembuangan akhir, kendaraan yang lewat didominasi oleh mobil truk berwarna kuning dengan sampah yang memenuhi kendaraan itu.

Aku berjalan ke dapur mencari Kak Rani. Ternyata dia sedang mencuci plastik. Aku punya ide untuk mengajaknya jalan-jalan. Kebetulan sekarang hari minggu, biasa toko tutup.

"Kita kemana, Kak?" tanya Kak Rani Penasaran.

"Kita jalan-jalan di lingkungan ini aja. Selama aku di sini nggak pernah muter komplek ini. Yuk."

Aku menunggu Kak Rani membilas plastik dan menjemurnya. Kata Kak Rani biar plastik itu bisa dipakai lagi atau nanti dimasukan ke dalam ecobrick. Mungkin berlebihan, tapi aku terkesima dengan kreatifitas Kak Rani dan mungkin sedikit iri. Dia menjadi manusia yang bebas menentukan pilihan tanpa harus mempertimbangkan ekspektasi orang lain.

***

"Halo, Kak Ros."

"Kak, Ros. Baru kelihatan deh."

"Kak, Ros selamat ya udah wisuda."

Begitulah sapaan orang-orang yang kami lewati sepanjang jalan. Aku bersyukur tinggal di lingkungan ini, walaupun ada beberapa orang yang suka mencari tahu kehidupan orang lain sampai ke akar, tetapi lebih banyak orang-orang baik yang lebih suka menolong tanpa banyak bertanya.

"Kak, sayang banget tumpukan sampah gitu dibakar. Asapnya 'kan nggak bagus untuk lingkungan. Sebaiknya kalau punya sampah kita pilah. Nanti sampah organik bisa buat kompos, tapi sampah yang bukan organik kita setor ke bank sampah." Kak Rani mengomentari seorang tetangga kami yang sedang membakar sampah.

"Terus, gimana caranya kita sadarkan mereka? Nggak mungkin kita langsung tegur bilang gini, 'hey, kamu nggak boleh bakar sampah karena nggak baik untuk lingkungan' bisa-bisa kita dihajar."

Kami tertawa berbarengan. "Kita edukasi, pelan-pelan kasih pengertian. Bisa lewat sosialisasi."

Sepanjang jalan banyak sampah kantong dan botol plastik yang berserakan di jalan. Membuat Kak Rani inisiatif untuk memungutnya dan akan dibawa pulang.

Melihat tindakan kecil Kak Rani membuat aku menetapkan hati untuk mengambil keputusan besar tiga hari lagi menjelang ujian tes CPNS. Apa pun itu keputusannya, semoga orang-orang disekelilingku dapat menerima dan tidak menghakimi pilihanku.

***

Aku pamit kepada Mama yang hari ini bolak-balik memeriksa kelengkapan pakaian yang akan aku pakai.

"Kok ganti pakai celana, padahal Mama udah nyiapin rok buat kamu," protes Mama ketika aku melewatinya.

"Aku dibonceng pakai motor. Nanti susah duduknya," balasku beralasan.

Mama berdecak. "Ya, sudah. Hati-hati ya, Nak. Mama doakan kamu dari sini. Kamu juga, berdoa dulu begitu duduk di tempat dudukmu dan sebelum kerja soal. Oke, Nak." Mama memelukku erat dan aku membalasnya tak kalah erat.

Ada bagian dari hatiku yang nyeri setengah mati. Aku berharap setelah kembali ke rumah, hubungan kami tak berubah.

Aku minta tolong Randy yang mengantarku ke tempat ujian, tetapi saat keluar dari rumah aku menepuk bahu cowok itu. Dia segera memiringkan kepalanya ke sebelah kiri. "Randy, kita singgah warung bakso yuk," ucapku dengan suara sedikit lantang melawan suara angin yang berhembus kencang.

"Kakak nggak ujian? Tinggal dua jam lagi," balasnya.

"Ikut aja kataku. Di Cak Min, ya."

Sesampainya di sana, aku langsung memesan dua porsi bakso dan menikmatinya dengan penuh sukacita begitu makanan disajikan.

"Kak, waktunya semakin dekat. Nggak takut telat?" Selama menyantap bakso, Randy duduk dengan gelisah dan berkali-kali menanyakan hal yang sama sejak motor berhenti ditempat parkir.

"Aku nggak ikut ujian."

Randy menyemburkan makanannya, tetapi untung refleksnya cepat jadi segera dia palingkan ke sisi tembok dan kuahnya dari mulutnya tidak muncrat ke baju atau wajahku. "Kak, Ros. Aku kok merinding ya. Nanti kita dimarahi ibu gimana?"
"Kok kita? Aku yang pasti dimarahi. Kamu tenang aja, nggak akan dipecat juga kok. Posisi kamu aman. jangan kuatir."

Setelah selesai makan bakso, aku menyuruh Randy untuk mengantarku pulang. Semakin dekat dengan rumah, perasaanku semakin damai. Aku tidak merasa gugup atau takut sama sekali. Mentalku sudah sangat siap menerima semua konsekuensi di depannya.

Ketika motor berhenti di depan rumah, aku sempat menertawakan Randy dan menyuruhnya untuk segera pulang karena aku tak sanggup melihat wajahnya yang sudah pucat pasi. Mama yang sedang duduk di teras rumah, menatapku dengan kerutan dalam pada dahinya.

"Katanya ujian dimulai jam 1 siang. Ini baru jam 12 kamu udah di rumah. Ada yang ketinggalan?"

Aku tidak menjawab pesan Mama dan duduk di kursi yang kosong di sampingnya. Aku mengambil tangannya dan berbicara lembut. "Ma, maafkan aku. Sekali lagi aku mengecewakan Mama. Aku nggak ikut ujian CPNS."

Mama menghempas tanganku kasar dan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara. Aku mengikutinya dari belakang. Begitu Mama akan menutup pintu kamar, aku menahannya. "Mama ngomong sesuatu. Jangan diam, Ma. Aku minta maaf udah buat salah, tapi aku mohon Mama dengar penjelasanku dulu."

Mama tetap bungkam dan berusaha mendorong pintu agar menutup. Sekuat tenaga aku menahannya dengan tangan dan kakiku. Saat aku menatap Mama melalui celah pintu, aku segera melepas pegangannya dan membiarkan pintu itu tertutup.

Namun, anehnya aku tak merasakan apa-apa. Hatiku seolah mati rasa ketika melihat derai air mata dari pelupuk mata Mama yang keluar tanpa isakan apa pun. Apa karena aku sudah sangat yakin dengan pilihanku, padahal aku sudah sangat menyakitinya.

"Mama, buka pintunya dulu." Aku mengetuk pintu yang kutunggu agar dibuka dari dalam sejak sejam yang lalu. Aku mengetuknya lagi, tetapi tak ada yang menyahut.

Sampai malam aku menunggu Mama membuka pintu tetapi tidak juga. Aku berdiri gelisah di depan pintu. "Ma, tolong menyahut dari dalam. Aku hanya ingin tau keadaan Mama," teriakku dengan dulang yang berisi piring yang penuh makanan dan air minum.

Aku akhirnya menyerah menunggu Mama karena tak kunjung menyahut. Barusan, aku minta tolong Melisa untuk menghubungi ponsel Mama dan yang melegakan aku adalah Mama menjawab panggilan itu. Mungkin Mama butuh waktu untuk menenangkan amarahnya.

"Kak, kamu emang gila. Coba dari awal jujur kalau nggak mau ikut tes CPNS, biar Tante jangan terlalu berharap. Wajah banget kalau Tante marah, tapi Kakak harus ngecek Tante ya, soalnya orang kalau marahnya diam aja, nyeremin loh." Melisa menyemburkan cacian kepadaku ketika dia datang menginap di rumah. "Malam aku temani Kakak, aku akan jadi penonton kalau nanti dipukul Tante," lanjutnya.

Aku tak bisa tidur sampai malam karena pintu kamar Mama tak kunjung terbuka. Aku tetap memasang telinga--jarang kamarku dengan kamar Mama sangat dekat--sampai bunyi pintu sedang dibuka terdengar. Aku melompat dari tempat tidur dan segera melesat menempelkan telinga di balik pintu kamarku. Namun, begitu suara pintu ditutup kembali, suara debam benda jatuh ke lantai terdengar nyaring.

"Mamaaa...," teriakku melihat Mama jatuh tersungkur.  

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang