28

185 17 0
                                    

"Disimpan dulu kertasnya. Awas, makananmu habis dimakan lalat." Mama menarik jilidan skripsi yang sedang aku baca dari genggamanku.

"Bentar, Ma. Ada materi yang belum aku hafal." Aku menunduk menghadap piring yang masih penuh dengan makanan setelah mendapat pelototan dari Mama.

Pagi ini Mama dan Kak Rani sudah sangat sibuk di dapur memasak berbagai aneka makanan. Sementara aku mendekam di dalam kamar sejak semalam karena belajar untuk persiapan ujian skripsi siang ini.

Waktunya masih tersisa lima jam lagi, tapi aku sudah gelisah.

"Kamu udah tau siapa aja pengujinya?" tanya Mama.

"Belum tau, Ma. Dari seminar proposal sampai ujian skripsi nggak pernah di kasih tau siapa pengujinya. Jadi kayak kejutan gitu. Semoga aku dapat penguji yang nggak terlalu banyak tanya."

Setelah makan, aku berhenti untuk pelajari isi skripsi. Soalnya semakin aku baca materinya, akan semakin buatku gugup dan bisa fatal kalau lupa.

Pukul 11, aku mulai bersiap-siap memakai kemeja putih, rok hitam, dan blazer hitam. Walaupun ujian dilakukan daring, tetapi aku ingin tampil semaksimal mungkin.

Pukul 13, aku yang terlebih dahulu masuk ke dalam room meeting virtual. Lima menit kemudian Pak Paris masuk. Seperti biasa dia tampil rapi dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat sampai di siku.

"Sudah belajar?" tanya Pak Paris dengan senyuman yang seketika membuatku sedikit menahan napas.

"Sudah, Pak. Belajar sampai tadi sebelum sarapan."

"Oke. Semangat, ya."

Tak lama penguji 1 dan penguji 2 masuk yaitu, Pak Budi dan Bu Marla. Kalau bisa videonya dimatikan, mungkin aku sudah melompat kegirangan karena semua pengujiku adalah dosen yang terkenal tak pernah menyusahkan mahasiswa dengan pertanyaan mereka.

Semuanya berjalan lancar, saat Pak Paris membuka ujian ini. Namun, mendadak timbul masalah waktu aku dipersilahkan untuk memulai presentasi.

"Arosa, suara kamu putus-putus. Slide presentasi kamu juga belum muncul." Pak Paris menginterupsi, tetapi suaranya berubah seperti robot.

Telapak tanganku mulai bergetar dan basah. "Pak, ijin disconnect sambungan internet dulu, Pak."

"Suara kamu tidak kedengaran," sambung Pak Budi.

Cairan hangat mulai mengaliri pipiku. Tuhan, kalau mau kasih cobaan tolong jangan sekarang. Pak Paris mengirim pesan untuk memberiku waktu memperbaiki masalah jaringan ini sampai sepuluh menit ke depan.

"Cepat amat. Kamu udah selesai ujian?" tanya Mama melihatku keluar kamar menemuinya. Namun, kelopak matanya melebar ketika melihat matanya yang memerah.

"Belum selesai, Ma. Jaringan tiba-tiba lemot. Padahal aku udah isi kuota banyak." Aku tak dapat menahan isakan.

"Hari ini Rosa ujian, Mbak?" tanya Tante Marni tetangga depan rumahku yang berasal dari Jawa Timur.

"Iya, Mbak, tapi dia ada masalah jaringan." Mama menjawab dengan panik.

"Ros, ke rumah Tante aja. Di rumah ada wifi."

Aku langsung mengiyakan ajakan Tante Marni untuk menumpang wifi di rumahnya. Rumah tante Marni juga jadi saksi aku melihat hasil SBMPTN bersama Papa dan Mama.

Aku segera masuk ke room meeting saat sudah terkoneksi dengan internet menggunakan wifi.

Ujian hari ini berjalan sangat lancar tak terasa dua jam berlalu begitu saja. Pertanyaan yang ditanyakan bisa aku jawab semuanya dengan lancar tanpa ada keraguan. Pak Paris tersenyum puas memandangku.

"Apa rencana kamu setelah lulus kuliah?" tanya Bu Marla.

"Menikah kayaknya," sambung Pak Budi kemudian terbahak sendiri.

Aku menggaruk hidung salah tingkah. "Cari kerja dulu, Pak. Keluargaku nggak terbiasa ada yang menikah berdekatan dengan waktu lulus kuliah."

Aku beruntung ada di dalam keluarga yang para tetuanya menganggap kalau laki-laki atau perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan tidak menganjurkan anak-anaknya untuk menikah muda.

"Bagus itu. Nikmati dulu masa mudamu. Kejar cita-cita setinggi mungkin. Kalau udah nikah ruang geraknya agak terbatas, apalagi kalau udah punya anak. Tiap mau melakukan sesuatu pasti akan banyak pertimbangan," ujar Bu Marla menanggapi jawabanku.

Ketika aku menekan menu leave meeting, sontak aku menutup wajah dengan telapak tangan. Bahuku bergetar, suaraku tangis hampir saja keluar, tetapi segera kuredam dengan menggigit bibir kuat-kuat.

Aku berhasil melakukannya. Bisa melewati ujian tanpa ada rasa gugup sedikit pun, mampu melawan ketakutan akan masa depan. Walaupun ke depan langkahku masih belum jelas, tapi aku mau belajar untuk percaya kalau akan ada sesuatu yang baik sedang menungguku. Aku bangga pada diriku sendiri.

"Mama di mana, Tante?" tanyaku saat melangkah ke ruang keluarga di rumah Tante Mirna.

"Mamamu lagi di toilet. Udah selesai, Sayang?" Tante Marni bangun dari kursi dan menyambutku ke dalam pelukan singkat.

"Sudah, Tante. Huft, akhirnya. Perjuangan panjang selesai juga." Aku dibimbing ke sofa untuk ngobrol sebentar.

"Mama, aku udah selesai. Coba tebak dapat nilai berapa?" Aku tak jadi duduk karena langsung berlari memeluk Mama waktu Mama muncul.

"Mama lega luar biasa, Nak. Akhirnya bisa melewati ini semua. Kamu dapat nilai berapa?" Mama terisak di bahuku. Kami menangis sambil berpelukan.

"Aku dapat nilai A, Ma. Nggak nyangka aku bisa dapat nilai sebaik ini." Aku menyadari ada tangan lain yang merangkul bahuku. Tante Marni berdiri di samping dan menangkan kami.

"Tante paling tau gimana kegalauan Mbak Rini, tiap kali kamu bilang belum wisuda. Mungkin ini memang jalan hidup kamu. Tante ikut bangga," tambah Tante Marni ketika kami melepaskan pelukan.

Tante Marni masih menahan kami untuk berbincang sebentar dan menikmati puding yang baru saja ia buat.

***

Tumben pintu samping ditutup. Mungkin kak Rani sedang keluar, tapi bentar. Kenapa ada banyak sendal di depan pintu, tapi kenapa tak terdengar suara apapun dari dalam rumah.

Suara teriakan heboh berasal dari dalam ketika aku membuka pintu yang menghubungkan ruang tengah dan teras samping.

"Selamat udah Sarjana, Roooos." Tiupan terompet seperti sedang tahun baru terdengar riuh, hamburan konfeti sejenak menutupi pandangan. Melisa terlebih dahulu maju memelukku dan diikut yang lainnya. Lalu ada yang memberiku buket bunga.

Mereka memaikanku selempang berbahan bludru berwarna hitam yang tertulis "Arosa Maharani, S.Ak" dengan bordir emas disekeliling tulisan itu.

Hari ini aku banyak menangis. Kehebohan tak hanya di situ, ternyata mereka menyiapkan dekorasi balon dengan bentuk bulatan dan huruf yang berbentuk inisial gelarku yang ditempel di tembok.

Rencanaku untuk tidur seharian harus batal karena mereka yang datang meramaikan kelulusanku, tapi aku bahagia.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang