Kadang muncul rasa kecewa kepada diriku mengapa untuk bisa semangat menjalani hidup harus mendapat suntikan semangat atau kata-kata motivasi dari orang lain dulu, baru bisa bergerak. Bagaimana kalau suatu saat mereka meninggalkanku, bisa jadi aku tidak akan melakukan apa-apa karena hidup bergantung pada motivasi orang lain.
Dulu ketika Papa meninggal semangatku untuk hidup berkurang 50%, ketika Angkasa pergi entah ke mana semangatku langsung berkurang menjadi 20% saja. Bisakah aku tetap menjalani hidup meskipun hanya sendiri saja? Entahlah aku pun ragu.
Kali ini aku mau mengerjakan revisi skripsi yang kuharapkan ini terakhir kalinya saja harus ditemani Melisa di kamar. Kemarin dalam perjalanan pulang, aku cerita kepada Melisa tentang kegelisahan dan ketakutan yang aku alami dan dia mengatakan akan mendukungku sepenuhnya. Makanya dia minta ijin orang tuanya untuk nginap di rumahku, supaya dia bisa mengawasiku mengerjakan revisi.
"Nggak apa-apa, Kak. Perubahan itu harus bertahap. Pelan-pelan aja. Aku kasih saran buat Kakak, coba buat jurnal harian tentang apa pun yang Kakak buat. Sesederhana bisa bangun pagi misalnya. Kakak catat aja. Itu sangat membantu Kakak untuk bersyukur dan berproses lho," usul Melisa setelah aku menyelesaikan curhatan yang lebih mirip keluhan.
"Emang ngaruh ya?" responku.
"Banget. Justru dari jurnal itu aku sadar kalau punya bakat nulis dan merasa hidupku nggak payah banget."
Keesokan harinya aku langsung dibelikan sebuah buku tebal yang berisi Self-reflection pages, Vision Board, Prayer List, 12 Undated monthly planner, dan masih banyak lagi. Baiklah, mungkin ini bisa jadi langkah awal aku mengubah kebiasaan buruk dan bisa lebih menikmati rezeki dari Tuhan apapun itu bentuknya.
***
"Kemarin itu kamu revisinya tidak sesuai dengan catatan saya, tapi kali ini progres kamu bagus sekali. Sudah tidak banyak perbaikan. Hanya harus koreksi beberapa struktur kalimat yang belum tepat dan ada beberapa typo. Sekarang saya punya banyak waktu, jadi kamu silahkan kerja revisian di sini dan saya tidak mau ada alasan kehabisan kuota atau gangguan jaringan internet. Waktu itu hanya akal-akalan kamu saja 'kan?" tebak Pak Paris lewat layar laptop yang menampilkan wajahnya.
Aku sedang konsultansi lewat video call. Memangnya semua konsultasi harus lewat video gini ya. "Iya, Pak. Akan saya perbaiki sekarang. Kalau video call-nya di nonaktif aja bisa nggak, Pak. Saya nggak nyaman diliatin gitu, Pak." Aku menggigit bibir memandang layar takut, kalau dia tersinggung.
"Saya tidak bisa percaya kamu. Waktu itu bilangnya mau revisi ternyata kamu ngilang. Batas akhir ujian skripsi tinggal tiga minggu lagi. Jangan main-main lagi."
Terpaksa aku menuruti kemauannya, tetapi minta ijin menutup layar karena risih harus bertatapan layar dengan orang yang tidak aku kenal dekat. Walaupun kami beberapa kali ngobrol santai karena dia atasanku di tempat kerja, tapi aku berusaha menjaga jarak.
"Sesekali aku meliriknya yang fokus matanya melihat ke sebelah kiri layar dan tangannya bergerak mungkin sedang mengerjakan sesuatu di laptop."
Tiga puluh menit berlangsung dalam diam dengan alunan musik instrumen lembut yang diputar oleh pria itu. Tinggal sedikit lagi revisinya.
"Dulu ada mahasiswa yang seperti kamu juga. Malah lebih parah, sampai orang tuanya hubungi saya menangis minta tolong biar anaknya bisa lulus. Atas dasar kemanusiaan akhirnya saya panggil anak itu dan tinggal di rumah saya sampai dia jilid skripsinya dan masih banyak lagi saya menangani mahasiswa bermasalah. Jadi, bukan hal baru saya sampai memperlakukan mahasiswa seperti ini." Pak Paris tiba-tiba bersuara membuatku sedikit melonjak kaget.
"Berarti kalau saya cowok mungkin tiap hari disuruh telponan terus ya, Pak?" jawabku mencoba bercanda, tetapi gagal karena wajahnya tetap datar.
"Saya tau arah pembicaraan kamu. Bukan seperti itu yang ada dalam pikiranmu---"
dih emang aku mikir apaan. Nuduh orang aja, kataku dalam hati. "Saya tidak ingin sekadar menjadi dosen pembimbing yang hanya menunggu mahasiswa datang bawa skripsinya, setelah itu menghilang dan datang kembali setahun kemudian. Saya ingin benar-benar hadir sebagai orang tua bagi kalian untuk mengayomi dan membimbing untuk meraih masa depan yang lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...