Helda
[Kak, buka link yang aku kirim]
Aku sontak membelalakan mata ketika membuka tautan yang dikirim Helda. Muncul video dengan judul "2 WNI Positif Terkena Corona". Jantung mendadak berdegup tak beraturan, telapak tangan yang sedikit gemetar mulai dingin, dan mood yang belum membaik semakin berantakan. Takut kejadian semalam kembali lagi, cepat-cepat merapalkan mantra ini berkali-kali. "Jangan takut. Semua akan baik-baik saja."
Setelah seminar proposal dan belum ada semangat untuk mengerjakan revisi, aku rutin membaca berita yang membahas tentang virus baru ini. Dilihat dari berita di luar negeri, virus ini sampai merenggut nyawa banyak orang dan ada negara yang sudah di-lockdown. Makanya, berita tentang virus yang sudah masuk ke Indonesia, membuatku sangat kuatir dan takut.
Aku mulai merangkai skenario di dalam pikiran. Berandai-andai kalau suatu hari aku positif corona. Kemudian dikucilkan oleh orang-orang karena dianggap membawa virus mematikan dan dikurung dalam ruangan yang sepi, tanpa ada satu pun yang peduli padaku. Hanya beberapa hari kemudian, kondisi semakin hari kian parah karena belum ada obat untuk menangani virus ini, akhirnya aku meninggal dunia.
Jenazahku tidak bisa dibawa ke kampung halaman, sehingga terpaksa dimakamkan di sini. Sementara Mama mendadak diserang penyakit jantung karena terkejut mendengar kabar kematian anak tunggalnya. Cukup lama aku berkhayal dengan penghayatan luar biasa dengan berlinang air mata, kemudian perlahan mengembalikan kesadaran ke dunia nyata dan memukul kepala untuk menyingkirkan pikiran buruk yang sering otomatis datang saat sedang kuatir atau takut.
"Kak, Rosa!" seru Helda langsung membuka pintu kamar, tanpa mengetuk terlebih dahulu. "Kak, ganti baju dan ikut aku ke supermarket sekarang," sambungnya dengan napas putus-putus.
"Hah? Ngapain?" tanyaku dengan raut bingung melihat wajahnya yang sedikit pucat.
"Kita beli stok bahan makanan, hand sanitizer, masker sebelumnya diborong orang-orang ... ayo!" desak gadis berambut sebahu ini seraya mengguncang bahuku.
"Nggak ah. Aku takut. Kamu pergi sendiri aja." Aku menarik selimut dan membungkus tubuhku.
Helda pantang menyerah. Dia masih terus membujukku. "Aku lihat di berita kalau orang di luar negeri sampai berebut beli kebutuhan pokok. Kayaknya kita bakal kayak gitu deh. Jadi sebelum terjadi, sekarang kita harus ke supermarket untuk belanja. Ayo, Kak."
Aku masih tetap teguh pada pendirian mengatakan tidak pada ajakannya. Sementara Helda menelusuri kotak penyimpanan khusus makanan ringan yang aku simpan di bawah tempat tidur. "Tempatnya udah minta diisi ini ... kita ke sana naik motor bukan angkot. Jadi aman nggak kontak langsung dengan banyak orang. Ayo, Kakak," pintanya dengan nada memelas.
Tak tega melihat raut wajahnya berubah muram dan sedih, membuatku mengubah keputusan. Lima belas menit kemudian kami sampai di supermarket. Helda sengaja memilih tempat ini untuk belanja karena dia ingin membeli barang yang tidak dijual di minimarket dekat kos. Suasana parkiran masih sepi mungkin karena masih siang, tapi begitu masuk ke dalam aku cukup terkejut melihat situasi di meja kasir yang posisinya di depan pintu masuk. Sekitar empat orang mengantri dengan barang-barang yang tertimbun dalam troli.
"Kak, lihat di sana mereka pada borong ... ayo cepat sebelum kita kehabisan barang dan banyak orang yang datang!" Helda mengambil langkah panjang mengambil troli dengan tergesa.
Aku sampai lupa mengambil jajanan yang sudah aku niatkan untuk dibeli waktu masih di kos. Saking heran melihat Helda yang kalap mengambil makanan apapun yang dilihatnya. Baru kali ini aku menyaksikan ada orang sepanik teman kosku ini.
"Makanan sebanyak itu bisa kamu habiskan? Jangan lupa cek kadaluarsanya biar nggak mubazir," kataku sambil meneliti tanggal kadaluarsa makan ringan yang baru saja ditaruh Helda ke dalam troli.
Kekhilafannya masih berlangsung. Mataku membola ketika melihat Helda mengambil banyak sekali masker dan hand sanitizer. "Kamu ambil secukupnya, jangan diborong semua. Kasihan orang lain bisa nggak kebagian," tegurku yang kesekian kalinya.
"Nggak usah mikirin itu, Kak. Supermarket pasti punya banyak stok dan aku nggak mungkin bolak-balik ke tempat ini. Makanya, borong semua buat aku simpan di kos," ujar Helda membela diri dan tidak memedulikan lirikan tajam dari beberapa pengunjung yang berada di dekat kami.
Helda baru cerita kalau dia punya autoimun yang membuatnya berkali-kali lipat takut karena sekali dia tertular virus ini, resiko untuk kehilangan nyawa sangat besar. Makanya dia sengaja membeli banyak agar tidak perlu keluar kos dan berinteraksi dengan banyak orang.
"Kamu kurangi nonton berita. Takutnya bikin kamu tambah stres dan takut," ucapku menenangkannya ketika mengantri di kasir.
Anehnya selama berada di sini walaupun sedikit kesal dengan Helda, mood-ku perlahan membaik. Berarti sekarang kalau sedang tidak mood sebaiknya aku harus memaksa diri untuk jalan-jalan ke supermarket atau setidaknya bergerak entah melakukan apa pun.
***
"Kamu di mana? kok susah dihubungi?" cecar Azada saat aku menjawab teleponnya dengan nada kesal."Maaf banget. Aku tadi ke supermarket beli kebutuhan bulanan dan nggak sengaja ninggalin HP di kamar. Ada perlu apa?" balasku yang tengah berbaring melepas lelah karena baru selesai menata makanan yang baru aku beli di ke dalam box.
"Aku dengar info kalau kampus mau di-lockdown karena corona."
"Hah! Virusnya belum masuk ke kota ini, kenapa udah di-lockdown? Aku kok nggak percaya ... bentar aku nyari info dulu." Aku memutus panggilan dan langsung mencari nomor salah satu pegawai sekretariat jurusan yang sudah aku kenal untuk dihubungi.
Ternyata berita itu hoax. Kampus masih tetap ada kegiatan belajar-mengajar. Bahaya banget orang bisa percaya begitu saja, apalagi sampai menyebarkannya. Bisa buat panik banyak orang. Termasuk aku yang hampir jantungan karena takut nanti tidak bisa konsultasi. Soalnya Pak Ruslan tidak pernah mengijinkan siapa pun ke rumahnya. Bagaimana caranya aku konsultasi kalau beneran terjadi.
Aku menghubungi Azada dan memarahinya karena percaya hoax, sementara dia hanya cengengesan.
"Tapi aku punya prediksi kalau sekolah dan kantor akan ditutup kalau virus ini menyebar di seluruh Indonesia. Aku udah mikirin langkah selanjutnya untuk bisnis kita."
Sejak aku bergabung menjadi timnya Azada selalu menyebut "bisnis kita" karena menurut dia, siapa pun yang bergabung sudah menjadi bagian dari bisnis ini dan menjadi keluarga yang akan memikirkan kelancaran usaha. Dalam kata lain dia ingin agar pegawai punya rasa memiliki bisnis ini.
"Bisnis aja terus yang dipikirin. Kamu ngomong yang baik-baiklah. Jangan nyumpahin gitu,"
"Kamu lihat aja di negara lain udah pada lockdown sementara di sini masih santai aja. Intinya jangan takut, rileks, dan kamu harus mulai memikirkan konten lain supaya lebih menghibur follower yang nanti hanya di rumah aja. Sejak kamu jadi admin, aku akui kalau konten kita lebih hidup. Sudah ku bilang kalau kamu itu berbakat dalam hal storytelling.""Sudah kubilang itu hanya kebetulan," tepisku tak suka menerima pujian itu dan dibalas decakan keras dari cowok itu.
Sebelum menutup panggilan, Azada mengatakan dia ingin main ke kos, tetapi aku tidak mengizinkan. Aku ingin mengurangi intensitas bertemu dengan orang dari luar kos.
Selepas berbicara dengan Azada, Mama menghubungiku untuk hati-hati dan jangan ke mana-mana. Sebagai anak baik,aku merealisasikannya dengan hanya berada di kos selama mungkin. Untungnya pekerjaanku sebagai admin online shop tidak diwajibkan untuk ke kantor. Pilihan ini ternyata berimbas buruk pada progres skripsi yang semakin memprihatinkan. Aku jadi yang tidak memiliki semangat untuk mengolah data penelitian.
Perlu teror dan sumpah serapah dari Azada yang sedikit menggerakan niatku untuk mulai menyentuh tumpukan annual report perusahaan yang masuk dalam populasi penelitian. Namun, ada satu hal yang akan disesali akibat menunda mengerjakan penelitian. Aku tidak akan bertemu dengan Pak Ruslan yang baru saja pulang dari Jakarta untuk selama-lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...