3. Arosa yang Harus Keluar Dari Zona Nyaman

542 49 0
                                    

Badanku mulai panas dingin saat memasuki gedung jurusan. Sudah hampir satu tahun tidak menginjakan kaki di tempat ini. Tiap kali bersitatap dengan orang-orang, aku merasa seperti dihakimi. Seolah-olah mereka ingin berkata padaku.

"Ini dia mahasiswa abadi, yang skripsinya gak selesai."

Atau

"Dasar perempuan bodoh, gak mampu selesaikan skripsi tepat waktu."

Mendadak ketakutan berada di tempat ini. Aku akhirnya mengambil keputusan, segera membalik badan dan berniat untuk pulang kembali ke kos. Biar saja nanti aku akan mengirim pesan pada Bu Sherli dengan alasan tiba-tiba sakit perut.

Namun, rencana Tuhan berbeda dengan rencanaku. Saat sudah berada di luar gedung, tepatnya di area parkiran mobil dosen dan melewati sebuah mobil SUV, tiba-tiba pintu mobil itu terbuka. Perutku tiba-tiba melilit saat mendengar sapaan dari pemilik mobil itu.

"Rosa. Mau ke mana kamu?"

***

Aku kesusahan menelan ludah. Saat ini aku sudah berada di ruangan Ketua Program Studi. Ruangan ini dingin karena dilengkapi dengan AC, tetapi tubuhku rasanya panas dan keringat dingin mulai membasahi pelipis.

"Kamu kepanasan? Apa perlu saya turunkan lagi suhu AC-nya?" Ibu Serli mengambil remot AC, hendak memencet tombol di benda itu.

"Ti--tidak, suhunya sudah pas, Bu," jawabku dengan kepala tertunduk sambil menyeka keringat dengan punggung tangan.

"Bagaimana kabar skripsimu?" tanya Bu Sherli dengan nada suara yang terasa asing di telingaku.

"Baik, Bu." Aku meringis setelah menyadari jawaban bodohku.

Bu Sherli tersenyum geli mendengar jawabanku.

"Jadi gini. Beberapa waktu lalu saya minta data mahasiswa semester tua yang saat ini belum lulus dan nama kamu ada di dalam daftar itu. Makanya saya hubungi kamu untuk menemui saya, apalagi saat ini kamu sudah semester 13. Kesempatan kamu untuk menyelesaikan skripsi tinggal 4 bulan. Jika tidak selesai, maka kamu akan kami keluarkan dari kampus. Saya sebagai Kepro meminta kamu untuk segera menyelesaikan skripsi secepatnya. Kamu bisa?"

Aku tanpa berpikir sama sekali hanya mengangguk. " Iya. Saya bisa, Bu, tapi---" Aku menggantung kalimatku.

"Tapi?" Bu Sherli menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Judul saya belum ada yang disetujui oleh Pak Ruslan. Terakhir ada judul yang disetujui, saya sudah mengerjakannya sampai proposal, tetapi waktu itu proposal saya disobek dan disuruh ganti judul lagi, Bu," jawabku gugup.

Bu Sherli tampak terkejut. "Lho, saya kira kamu tinggal menyelesaikan bab 4 dan seterusnya. Ya sudah, saya akan hubungi Pak Ruslan. Sekarang kamu janji sama saya kalau kamu akan menyelesaikan skripsimu."

Sebenarnya aku belum siap menyelesaikan skripsi. Namun, tidak mungkin aku mengatakan hal ini.

Tidak ada yang tau kalau skripsi adalah ketakutan terbesarku.

"Saya janji, Bu. Saya akan menyelesaikan skripsi sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Terima kasih banyak, Bu," ucapku dengan keyakinan nol persen.

Setelah itu aku diberikan banyak nasihat dari Ibu Sherli. Sekaligus beliau menyayangkan mengapa aku tidak memberitahukan kepadanya tentang kendala yang aku hadapi, supaya dia bisa membantu. Ketika keluar dari ruangan Ketua Program Studi, aku memutuskan langsung pulang. Jarak dari kampus ke kos sekitar 1KM. Namun, kali ini tidak memesan ojek online seperti biasanya. Aku memilih jalan kaki, hitung-hitung olahraga, sekaligus ingin melihat keadaan sekitar kampus.

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang