Azada memang pintar banget mengelola bisnisnya. Dia punya ide cemerlang untuk segera membuat baju yang nyaman dipakai di rumah dan bisa digunakan untuk bersantai atau sedang menjalani rapat waktu WFH. Target pasarnya dari mahasiswa sampai berusia 30an. Awalnya PAAZ hanya fokus membuat kemeja untuk mahasiswa dan orang kantoran, tetapi sekarang mulai merambah kaos, masker kain, hand sanitizer, sandal rumah. Konten juga difokuskan untuk membahas hal-hal apa saja yang menyenangkan dilaksanakan di rumah dan mau tidak mau sesekali aku ikut memasukan kegiatanku di rumah saat aku masak atau menyiram bunga ke dalam story walaupun ku usahakan untuk wajahku tidak terlihat di kamera.
Ternyata follower suka dan jumlah impresi yang dilihat lewat insight media sosial PAAZ semakin bertambah.
"Ros, kamu siapkan materi pertanyaan ya, minggu depan kita mau live dengan Abi, konsultan keuangan milenial yang akan bahas tentang cara mengelola keuangan di masa pandemi," ucap Azada saat menghubungiku lewat telepon.
Aku hampir saja menjatuhkan ponsel dari genggaman. "Hah! Nggak ah, gila aja aku harus tunjukin muka di kamera. Aku ngomong di kelas aja ha...ho...ha...ho. Ini disuruh ngomong live di depan banyak orang."
"Hitung-hitung latihan kalau suatu saat kamu jadi wakil rakyat di DPR RI sana." Azada mengikik geli.
"Ngawur. Kasih orang lain aja. Tolong Azada, aku nggak bisa."
"Bukan nggak bisa, tapi nggak mau. Pasti bisa kok, ini waktunya masih satu minggu lagi, kamu masih ngumpulin data sambil coba lihat-lihat live-nya Abi kalau ngobrol sama orang lain. Aku percaya kamu bisa bawain acara ini dengan baik. Nanti akan ada bonus buat kamu."
Aku menggigit kuku mempertimbangkan tawarannya. Lumayan juga kalau dikasih bonus, hitung-hitung buat tambah tabungan atau bisa bantu Mama untuk beli beras. Coba saja, mungkin dengan ini aku bisa sekalian belajar bicara di depan publik.
"Ya, udah, aku coba buat pertanyaannya, pokoknya harus lihat dan koreksi dulu."
"Nah, gitu dong. Aku seneng deh kamu bisa keluar dari zona nyaman gini," puji Azada dengan suara riang.
"Maaf kalau nanti banyak salah."
"Nggak apa-apa. Kamu nanti ketika aja apa yang mau kamu bicarakan, nanti pas live kamu baca aja nggak apa-apa, tapi tulisannya kamu taruh di samping HP atau di atas layar ya. Biar kelihatan kalau lagi nyonteng catatan. Nanti bahan obrolannya tentang cara anak muda mengelola uang agar cukup membiayi kebutuhan bulanan dan apa saja yang perlu anak muda persiapkan untuk menjalani keseharian di tengah pandemi dalam hal pengelolaan keuangan. Setelah itu kamu ajak penonton untuk ajukan pertanyaan ... oh ini kamu ngomongnya di awal aja, biar sambil ngobrol pertanyaan udah banyak dan kamu tinggal baca aja pertanyaannya."
Aku mencatat semua yang Azada bilang di secarik kertas. Tidak bosan-bosannya aku memuji dia yang cerdas. Pantas saja jadi anak rektor, eh terbalik. Jadi anak Rektor makanya pintar. Eh, benar tidak ngomongnya gini atau salah lagi.
"Wah, oke ... makasih untuk pencerahannya, aku akhirnya mengerti apa yang harus aku buat. Nanti H-1 aku buka Question box aja untuk follower yang mau bertanya, jadi waktu live aku hanya sedikit improvisasi di awal aja. Gimana?"
"Iya, itu juga bagus. Nah, kan. Kamu itu pintar loh, cepat tangkap materi yang baru aja aku bilang. jangan minder lagi ya," puji Azada lagi. Dia memang paling tahu bagaimana mindernya aku.
"Aku mau kasih tau minggu depan aku udah ujian skripsi," ucap Azada sebelum menutup percakapan kami.
Aku memberi selamat pada Azada. Namun, di lain sisi miris dengan diriku sendiri yang masih stuck pada revisi. Waktu Pak Paris menyuruhku segera mengerjakan revisi lewat aplikasi meeting itu, aku memang melakukannya. Namun, hanya berjalan satu jam karena mendadak koneksi putus dan setelah ku cek ternyata kuota habis dan aku tidak lanjut mengerjakannya sampai sekarang. Dosen pembimbingku juga nampaknya sudah mulai bosan dan tidak menanyakan kabar skripsiku lagi.
Aneh, di saat dosenku mulai cuek, aku yang mulai resah. Takut kalau dia benar-benar marah dan akan menyusahkanku lagi.
"Ros, buka pintunya dulu, Nak. Mama mau ngomong," panggil Mama dari luar kamar.
Begitu aku membuka pintu, Mama masuk ke kamar dan langsung duduk di tempat tidur. "Sini dulu, Nak." Mama menepuk sisi sebelahnya yang kosong.
"Ada apa, Ma," tanyaku sedikit gelisah berbanding terbalik dengan Mama yang begitu tenang di sampingku.
"Beberapa hari yang lalu Mama dengar kamu ngomong-ngomong sendiri, tapi kedengaran ada suara banyak orang juga. Kamu lagi telponan rame-rame ya?"
Aku menyamarkan senyumku di balik tangan yang sedang menggaruk hidungku. "Aku rapat dengan teman kerja lewat aplikasi yang bisa menghubungkan banyak orang yang bisa ngobrol. Waktu itu aku pernah cerita kalau aku ambil pekerjaan jarak jauh sebagai admin di media sosial temanku."
"Wah, teknologi semakin canggih ya, tapi kamu kerja gini nggak mengganggu skripsi 'kan?"
Aku menggeleng ragu. "Nggak kok, skripsiku aman. Sekarang konsultasi agak lama karena dosen pengganti juga lagi sibuk." Aku berbohong lagi. Berdosa sekali diri ini.
"Cuma Mama kok kayak dengar kamu dimarahi orang, terus nyuruh kamu kerja skripsi karena nggak kunjung selesai." Jantungku bertalu kencang dan merutuki kebodohan.
Memang kemarin waktu rapat sedang hujan di sini dan aku lupa meletakan headset di mana. Alhasil, aku menyambung laptop dengan speaker. Sampai hujan reda dan koneksi terputus, laptop masih terus tersambung dengan speaker. Pantas saja Mama tau aku dimarahi oleh Pak Paris.
"Kamu cerita sama Mama, yuk. Apa yang selama ini terjadi. Jangan kira Mama nggak tau apa-apa. Mama hanya pengen dengar versi kamu saja."
Aku meremas kedua tangan dengan gelisah di atas paha dan tak berani memandang Mama. Cukup lama kami terdiam dan hanya terdengar deru nafas kami masing-masing.
"Mama bukannya bodoh, Nak. Alasan demi alasan yang kamu utarakan selama ini berusaha Mama percayai karena kalau mengikuti kemauan Mama, mungkin kamu udah lama nggak berstatus mahasiswa. Kamu nggak ikut organisasi apa pun di sekolah, tapi kok skripinya lama sekali. Ada apa ini?" Mama terus berbicara mengenai asumsi atas keadaanku selama ini. Sementara aku masih bungkam karena bingung mau berbicara lewat mana.
"Mama tungguin sampai jam berapa. Kita begadang sampai pagi pun ayo aja." Mama sudah gregetan melihat aku yang diam seribu bahasa.
Aku hendak mengeluarkan suara, tetapi bibirku sudah bergetar terlebih dahulu. "Skripsiku tinggal sedikit lagi, Ma. Setelah ini aku akan segera kerjakan revisi. Kemungkinan minggu depan aku udah ujian." Hanya itu yang bisa aku ceritakan, belum berani bicara jujur. Mengingat kondisi Mama yang belum pulih.
Mama menghembuskan nafas kuat kemudian menggeleng, lalu bangkit berdiri dan keluar dari kamar tanpa sepata kata pun. Apa aku baru saja membuat kesalahan sampai Mama sudah tidak ingin berbicara padaku lagi? Aku bangun dari tempat tidur untuk mengunci kamar lalu melangkah ke meja belajar dan menyalakan laptop.
Sebaiknya aku lanjut mengerjakan skripsi. Kalau tadi aku menyusul Mama, bisa-bisa pembicaraan kami akan panjang dan aku akan membongkar semua rahasia yang berusaha aku tutup rapat. Ternyata kalau konsentrasi dan menyingkirkan ponsel dari jangkauan, pekerjaan akan lebih cepat selesai. Hanya butuh waktu tiga jam saja semua sudah beres.
Aku merenggangkan otot yang kaku dan segera mengirim email mengenai revisi dan mengabarinya lewat aplikasi chat.
Dua hari kemudian, Pak Paris mengirim kembali file skripsi dengan masih memberikan revisi yang banyak sekali. Bahkan ada revisian di semua bab dan di bab terakhir tulisan dikasih tanda merah karena salah semua. Seketika aku langsung down.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN MASIH PANJANG (Tamat)
General Fiction🌟Pemenang Kontes Flaming Woman by Wattpad Chicklit Indonesia🌟 Arosa Maharani, hampir berusia 25 tahun, dinilai oleh orang-orang sebagai sosok pemalas dan beban orang tua karena tak kunjung menyelesaikan skripsi. Padahal dia hanyalah seorang gadis...