26. Arosa yang Menceritakan Semuanya

189 21 0
                                    

"Sejak dua tahun yang lalu, kesehatan Mama mulai menurun dan toko sering tutup. Paling seminggu tiga sampai empat kali dibuka. Lama-kelamaan pelanggan beralih ke toko lain. Akibatnya pendapatan toko juga menurun." Mama mulai menjelaskan karena aku terus mendesaknya untuk cerita.

"Mama kenapa nggak percayakan pada Mbak Rani yang jaga toko aja?"

"Sebelum Mama sakit, toko kita pernah kehilangan uang karena dicuri sama Dody. Mulai saat itu Mama nggak bisa percaya orang lagi."

Aku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya, Mama menutup hal ini dariku. "Terus karena pendapatan berkurang, sementara aku minta uang terus akhirnya Mama pinjam uang." Aku menggigit bibir menahan isak.

"Iya. Salahnya Mama pinjam sama rentenir yang kasih bunga tinggi sampai buat Mama gali lubang, tutup lubang ... udah, kamu jangan sedih lagi. Masalahnya udah selesai kok. Dua bulan lalu Mama cerita kalau ada yang balikin uang yang dia pernah pinjam waktu Papa masih hidup. Nah, uang itu Mama pakai untuk bayar utang sama rentenir terus sebagian Mama kirim ke kamu. Cerita Mama bilang toko mau dijual sama buka usaha katering itu hanya akal-akalan Mama aja karena bingung pakai alasan apa untuk suruh kamu cepat pulang."

Aku menghembuskan napas lega, setidaknya Mama tidak pernah berniat menjual toko itu karena bangunan itu adalah salah satu harta berharga dan kenang-kenangan yang Papa tinggalkan untuk kami.

"Aku buka toko aja ya, mumpung wisuda masih lama," ucapku hati-hati.

"Nggak. Biar Mama aja yang jaga toko. Kamu tugasnya di rumah dan belajar."

"Mama malu kalau aku yang kuliah jauh, tapi begitu kembali hanya jaga toko?"

Mama mencibir lalu menoleh kepala ke arah lain. Aku hanya meresponnya dengan tawa kecil.

"Ma, aku nggak peduli sama sekali dengan anggapan orang lain. Selama aku melakukan hal benar dan nggak mengambil hak orang, jadi pelakor misalnya---"

"Huss sembarangan kalau ngomong." Mama menyalak memotong kalimatku.

Aku tertawa menanggapi. "Sekarang 'kan belum ada pembukaan CPNS. Jadi menunggu waktunya aku jualan ya. Biar kita dapat uang tambahan. Omongan orang akan selalu ada 'kok. Nggak usah didengerin. Aku pengen kali ini berbakti sama Mama dengan bantu Mama jualan. Mau ya, Ma." Aku memeluk Mama seraya membujuknya. Tak berapa lama akhirnya Mama setuju.

"Aku juga mau jujur soal kehidupanku yang sebenarnya selama beberapa tahun ini." Gugup tiba-tiba melandaku. Kali ini aku harus terbuka. "Aku selama ini bohong sama Mama soal urusan skripsi. Se--sebenarnya aku baru mulai konsultasi skripsi tahun lalu." Aku menceritakannya dengan suara lirih dan hanya berani menatap tangan Mama. "Aku minta maaf banyak salah sama Mama." Aku menangkat kepalaku pelan, mencoba berani menatap Mama. Nafasku tertahan sejenak karena bukan kemarahan yang terlihat, tetapi senyum tedung dengan tatapan tenang yang kudapat.

"Ma," panggilku.

"Mama sudah tau semuanya. Kamu kira Mama nggak tau apa-apa. Sejak kamu mulai sering hilang kabar, Mama coba hubungi kampus kamu, terus coba komunikasi dengan dosen dan berusaha cari tau ke bapak kosmu juga, tapi Mama diam aja. Takut kalau marah, kamu berbuat aneh di sana. Kenapa sampai kamu melakukan itu?"

Air mataku tak bisa ditahan lagi. Mau peluk Mama, tapi rasanya terlalu malu untuk menyentuhnya. "Sejak selesai materi kuliah, aku nggak tau kenapa tiba-tiba takut dan bingung sama masa depan. Selama ini merasa kalau aku nggak bisa apa-apa. Itu jadi alasan aku nggak mau melangkah ke depan dan terkesan menyembunyikan diri. Aku berani sumpah nggak melakukan hal aneh. Tiap hari hanya mengurung diri di kamar. Begadang sampai pagi. Ternyata apa yang aku lakukan salah banget, Ma."

Mama menyentuh tanganku dan menggenggamnya. "Mama percaya kalau itu dan kalau mau jujur Mama marah dan kecewa sama kamu, tapi Mama ingat lagi pesan Papa kalau kamu harus jadi sarjana. Sekolahmu harus selesai, makanya Mama menahan diri untuk nggak suruh kamu pulang. Setelah Mama pikir ternyata salah Mama juga membiarkanmu begitu saja. Coba aja waktu itu Mama nekat aja ke kos terus jaga kamu sampai selesai kuliah."

"Aku juga nyesel, Ma. Terlalu banyak waktu yang terbuang percuma."

"Mama juga heran, dulu kamu yang pengen masuk kampus di sana. Mama kira kamu udah punya cita-cita yang jelas mau jadi apa, tapi malah kebingungan. Kamu punya orang tua yang bisa diajak bertukar pikiran. Kenapa harus menyembunyikan semuanya. Lagian kenapa kamu takut, kayak punya Tuhan aja."

"Maafkan aku, Ma. Aku takut kalau cerita ke Mama akan buat kecewa ... aku berdoa kok, Ma, tapi nggak ketemu jawabannya. Itu yang buat aku bingung."

"Siapa yang nggak kecewa. Orang tua berharap kamu lulus tepat waktu, ini malah sengaja ditunda untuk alasan nggak jelas. Ingat, berdoa dan bekerja. Kamu nggak ada usaha apa-apa. Hanya tiduran aja, gimana Tuhan mau kasih petunjuk."

Tumbukan tak kasat mata menembus ulu hatiku. Benar juga, selama ini aku berdoa, tetapi tidak melakukan apa pun. Hanya mengeluh dan iri melihat orang lain lebih sukses dariku.

***

Aku mulai membersihkan toko dan memeriksa beberapa makanan yang mungkin sudah kadaluarsa. Bersyukur banget, kemarin Tuhan izinkan kejadian itu terjadi. Sehingga kami ada keterbukaan dan masalah satu per satu bisa kami benahi. Aku memikirkan ide untuk mendatangkan pelanggan dengan mulai membuat akun media sosial toko ini dan mulai membuat konten untuk kepentingan branding dan jualan. Mengingat sedang pandemi, aktivitas orang-orang untuk keluar rumah terbatas dan sekarang banyak yang lebih memilih berjualan online. Mau aku manfaatkan itu.

"Kalau dilihat dari riwayat penjualan, banyak pembeli berasal dari daerah kamu, tapi kasihan ongkir ke sana mahal banget. Gimana kalau kamu jadi dropshipper atau reseller, terserah kamu mau pilih yang mana. Nanti kamu taruh produk di toko kamu, sekalian biar narik orang-orang belanja di tokomu."

"Aku pilih dropship aja, kalau reseller aku belum banyak modal, tapi kamu nggak takut kalau aku mainin harga pasar?"

"Nggak. Aku percaya kamu."

"Azada, aku harus balas apa kebaikan kamu ini. Kita belum lama kenal, tapi kamu baik banget sama aku. Jujur aku malu banget terima bantuan kamu."

"Justru berkat ada kamu, buat aku punya alasan pengen cepat lulus kuliah, soalnya dengan lihat kamu aku jadi merasa hidupku nggak buruk-buruk amat kok. Masih ada orang lain yang lebih payah dari aku." Azada tertawa terbahak ketika aku mengeluarkan segala jenis kebun binatang padanya. Bodoh amat soal statusku sebagai pegawainya. "Bercanda, maaf, ya," ucap Azada dengan masih ada tawa.

"Sebaiknya kamu diskusikan dulu sama Pak Paris soal rencana ini. Hargai dia sebagai owner, takutnya dia nggak setuju sama rencana ini."

Benar saja, Pak Paris tidak setuju karena dianggap akan merusak branding dari PAAZ, karena selama ini PAAZ dikenal dengan produk yang sulit dicari sehingga tiap kali ada informasi penjualan, pembeli harus selalu 'war' dan mereka ingin produknya hanya bisa dibeli lewat toko resmi mereka di berbagai e-commerce dan website sendiri. Namanya bisnis, tiap perusahaan ada strateginya sendiri.

Aku menghormati keputusan mereka dan itu artinya, aku harus bekerja keras untuk membangkitkan kembali toko milik keluargaku. Semangat!

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang