35. Arosa yang Siap Mengejar Masa Depan

238 16 0
                                    

"Kamu yakin?" tanya Azada dengan wajah sendu ketika aku menghubunginya lewat video call setelah selesai mengirim surat resign ke email kantor dan para owner.

Aku sudah memikirkan keputusan ini matang-matang sejak seminggu yang lalu. Mengingat aku mulai kesulitan mengatur waktu untuk membuat konten tokoku sendiri, konten PAAZ, dan mengurus toko baik yang offline, maupun yang online.

"Yakin, aku sudah memikirkan ini dari jauh hari dan aku mau minta maaf nggak bisa menepati janji untuk terus sama-sama dengan PAAZ," jawabku menatap wajah Azada lewat layar ponsel.

"Kamu bisa kok nggak tiap hari buat konten, sekali dua minggu juga nggak apa-apa." Azada masih berusaha membujukku agar bertahan.

Aku menggeleng. "Aku yang bakal apa-apa karena rasanya nggak adil kerja hanya sedikit, tapi dapat gaji penuh. Aku juga ingin fokus belajar untuk persiapan tes CPNS nanti."

Azada masih terus protes dengan keputusan ini. Aku juga sudah menyampaikan pada Pak Paris kemarin sebelum kami berpisah. Dia tidak bertanya banyak hal karena menurutnya aku berhak untuk menentukan pilihan hidup sendiri. Namun, dia berpesan agar aku bertanggung jawab atas pilihan yang sudah dan akan aku ambil.

"Terima kasih ya, Azada." Aku mengerjap mata berkali-kali. "Aku nggak menyangka niat kamu yang awalnya ingin mendekatiku supaya bisa menyerahkan ponsel peninggalan Angkasa, ternyata membawaku ke berbagai macam pengalaman yang menyenangkan. Awalnya aku merasa dibohongi sama kamu dan Pak Paris, tapi jasa dan perhatian kalian lebih besar dari kebohongan itu. Aku sangat-sangat berterima kasih untuk semuanya. Aku selalu berdoa semoga PAAZ semakin sukses dan jangan sungkan untuk minta bantuanku apapun itu," tuturku lalu menutup wajah dengan telapak tangan agar menghalau Azada melihatku menangis.

Azada juga mengucapkan terima kasih padaku karena berkat aku konten PAAZ jadi lebih berwarna. Dia menyampaikan banyak doa baik agar aku bisa menggapai apapun yang aku cita-citakan. Malam harinya Azada secara mendadak mengadakan online meeting untuk perpisahanku dengan anak-anak yang lain. Minus Pak Paris karena mungkin dia masih di perjalanan karena pesawatnya tadi sempat delay dan baru terbang jam tujuh malam.

Meskipun kebersamaan kami sangat singat dan hanya bertemu virtual, tetapi kebaikan mereka, sangat menyentuh dan mereka punya tempat tersendiri di hatiku. Sampai jumpa lagi PAAZ, kalau berjodoh kita akan ketemu lagi.

***

"Penghasilan Kakak tuh udah gede loh, aku lihat sendiri jumlah pendapatan yang Kakak catat di buku kas, tapi heran aja masih mau ikut tes CPNS," ucap Melisa ketika melihatku sedang belajar soal-soal tes CPNS lewat video yang aku buka di Utube.

"Biar aku punya gaji dobel. Udah ah, kamu diam aja ke sini hanya pengen ribut aja." Aku mendorongnya menjauh dari layar laptop.

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah pergantian tahun. Usahaku jualan di toko offline dan online tetap berjalan. Kak Rani juga sudah dipercaya Mama sepenuhnya mengurus toko online karena melihat integritas dan kejujurannya. Aku senang sekali, Kak Rani mulai ambil peran membuat konten dan memberikan edukasi tentang cara membuat kompos lewat akunnya sendiri.

Informasi tentang tes CPNS juga semakin banyak dibicarakan dan aku berencana untuk mengikutinya kalau dibuka. Mungkin benar kata Melisa kalau sayang aku yang penghasilannya sudah banyak memilih untuk ikut tes CPNS. Namun, itu bukan usahaku sendiri, melainkan usaha dari orang tua yang aku bantu kelola dan gaji yang aku dapat tiap bulan pun tak terlalu banyak. Aku ingin mencicipi gaji dengan usaha dan modalku sendiri. Mungkin lewat menjadi pegawai ASN bisa mewujudkan keinginanku.

Selain itu juga mengikuti tes CPNS adalah salah satu cara aku menyenangkan hati orang tua.

"Lagi nonton apa?" tanyaku pada Kak Rani yang sedang asik melihat layar ponselnya.

"Aku lagi lihat video tentang bank sampah. Keren loh mereka melakukan pemberdayaan lingkungan lewat pengelolaan sampah. Jadi sistemnya tuh ada masyarakat yang setor sampah, terus mereka timbang dan kasih uang ke yang punya sampah tadi, terserah uangnya mau diambil sekarang atau nanti. Setelah itu pihak bank sampah mulai kelola sampah ini. Bahkan ada bank sampah yang buat program kredit motor, bayar pakai sampah."

Setiap kali aku ngobrol dengan Kak Rani di waktu senggang, aku selalu mendapatkan banyak informasi baru. Sampai aku meragukan ceritanya yang tidak percaya diri karena merasa dirinya bodoh. Justru dari dia aku mendapatkan banyak informasi yang tak pernah aku tahu.

"Orang-orang kok pada kreatif. Aku juga baru tau ada bank sampah. Kak Rani kalau soal cari informasi emang paling top."

"Habisnya kerjaan kalau udah cepat selesai nggak tau mau ngapain. Salah satunya cari-cari informasi di internet. Biar pun hanya pembantu tapi nggak boleh kalah sama yang lain."

"Kak Rani ikut tes CPNS nggak?"

"Nggak deh, Kak. Aku dari dulu nggak pengen ikut begituan. Soalnya paling nggak betah kerja yang ada ikatan dinasnya ... gimana kalau kita buat bank sampah aja, Kak Ros," tutur Kak Rani.

Aku jadi penasaran dengan informasi bank sampah ini. Tak hanya sampai di sana, aku juga menemukan sebuah gaya hidup yang membuatku tertarik yaitu zero waste. Gaya hidup minim sampah. Ini hampir sejalan dengan apa yang beberapa bulan ini aku lakukan. Seminggu sekali dengan Kak Rani membuat ecobrick yang sudah berhasil dibentuk menjadi sebuah kursi kecil dan sudah kami jual.

Aku mulai rutin memilah baju yang sering dan jarang aku pakai lagi. Setelah itu aku akan menjualnya lewat aplikasi toktok. Sekarang aku jauh lebih bahagia karena tak terlalu banyak barang di kamar dan lemariku.

***

Randy mengirim pesan kalau dia sedang sakit perut, padahal pesanan sedang banyak sekali. Terpaksa aku meminta Melisa untuk mengantar pesanan kepada pelanggan yang memesan lewat toko online. Tak terlalu banyak pesanan, tetapi perjalanannya cukup melelahkan karena pesanan setiap pelanggan di daerah yang berjauhan. Ada satu pelanggan yang membuat aku dan Melisa bergidik horor karena kami tahu ini tempat paling terpencil di kota ini dan terkenal sebagai tempat pembuangan sampah akhir.

Sepanjang perjalanan kebanyakan kami melewati jalanan sepi yang dikelilingi dengan pepohonan rimbun. Aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga kami tidak nyasar. Beruntung kami menemukan rumah pelanggan itu yang rumahnya sangat dekat dengan tempat pembuangan sampah.

Sepanjang melewati TPA hatiku sedikit tercubit nyeri melihat tumpukan sampah yang luar biasa banyaknya. Membuat sedikit tergerak ingin merealisasikan ajakan Kak Rani tadi malam untuk membuat bank sampah agar sampah-sampah hasil konsumsi masyarakat tidak berakhir di tempat pembuangan akhir.

Aku jadi dilema, apa sebenarnya panggilan hidupku, apakah menjadi seorang ASN atau sociopreneur. 

JALAN MASIH PANJANG (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang