Dua Minggu setelah Biel dinyatakan koma, sampai detik ini keadaan Biel tidak kunjung ada perubahan. Orang tua Biel sudah berada di Jakarta sejak dua Minggu yang lalu. Orang tua Biel memaksa untuk menetap di Jakarta sampai anak mereka siuman. Namun Gerald melarang mereka. Karena kedua orangtuanya akan merasa kelelahan jika hanya menunggu Biel siuman. Akhirnya Gerald berhasil membujuk kedua orangtuanya untuk pulang ke Kalimantan.
“Disini juga ada Ziva, Ma. Kami berdua akan selalu temani dan pantau keadaan Biel” Ujar Gerald yang mendapat anggukan juga dari Ziva.
“Tenang Tante, Om, saya akan terus temani Biel sampai dia bangun” Ziva melirik kearah Biel yang masih betah dengan tidur panjangnya.
Kedua orangtua Biel akhirnya pergi darisana “Jaga Biel ya, nak Ziva. Tante sama Om percaya sama kamu”
Ziva mengangguk “Pasti Tante, pasti. Sehat-sehat Tante” Ziva memeluk ibu Biel yang bersiap pergi.
Ibu Biel menuju brankar anaknya. Mengelus rambut Biel halus dan mencium kening Biel “Cepat bangun, nak” Setetes airmata ibunya jatuh dipipi Biel.
“Ayo, Ma, Pa. Ge antar” Gerald merangkul ibunya.
“Titip ya, Ziv. Aku antar mama papa dulu”
Sepeninggal mereka, kini hanya ada Ziva yang masih setia menatap Biel yang tidur dengan wajah tenangnya.
“Kamu nggak mau bangun? Hmm?” Ziva mengelus rahang Biel yang semakin kurus.
“Betah banget, sih. Aku rindu kamu acak-acak rambut aku. Kalau kamu bangun, aku janji, deh, nggak marah lagi kalau rambut aku kamu acak-acak. Tapi kamu cepat bangun, Biel”
“Bangun” Lirih Ziva yang langsung menangis lagi dan menundukkan kepalanya.
Pintu kamar ruangan Biel terbuka, memperlihatkan Mahalini dan Tiara disana. Saat mereka berdua membuka pintu, mereka berdua menemukan Ziva yang sedang menunduk dengan bahu bergetar.
Pemandangan itu membuat mereka saling tatap dan menghela nafas.
“Nangis lagi” Ujar Mahalini yang langsung menghampiri Ziva.
Mahalini menyentuh bahu Ziva dan menarik Ziva dalam pelukannya.
“Sstt.. Udah. Nanti Bielnya sedih, kalau lo gini terus” Mahalini mengelus lembut rambut belakang sahabatnya itu. Setelah lima menit berpelukan, Ziva melepaskan pelukannya.
“Maaf, Lin, baju lo basah jadinya” Mahalini hanya meggeleng.
Tiara menyerahkan tisue kearah Ziva “Lap tuh, hidung lo”
“Udah makan, Ziv?” Tiara membuka totebag yang tadi ia sudah siapkan. Ziva hanya menggeleng. Lalu Tiara menyerahkan makanan yang ia bawa kepada Ziva.
“Makan dulu, nih”
Ziva menerima makanan dari Tiara dan mulai memakannya. Belum habis setengah, Ziva menyudahi mengunyah makanannya dan meletakkan makanan itu di samping meja.
“Kok nggak habis? Masakan gue nggak enak, ya?” Ziva menatap kearah Tiara lalu menggeleng.
“Gue kenyang, Ti” Selera makannya tidak akan membaik sebelum Bielnya bangun.
“Itu belum habis setengah. Tadi pagi juga pasti belum sarapan. Gimana bisa kenyang sih, Ziv” Omel Mahalini.
“Sedih boleh. Nggak ada yang larang lo buat sedih. Tapi lo harus pikirin kesehatan lo juga. Lama-lama kayak gini, lo bisa-bisa jadi pasien juga tau nggak?” Mahalini kalau sudah soal begini, pasti galak.
Ziva terkekeh. Itu kekehan pertamanya setelah dua Minggu yang lalu. Mahalini mendelik, meskipun hatinya menghangat melihat sahabatnya itu tersenyum“Senyum-senyum lagi”
Ziva meraih kembali makanan yang ia letakkan tadi, lalu memakannya hingga tandas “Lo kalau marah serem, Lin. Jadi, mending gue habisin aja daripada gue pusing”
“Bener-bener sialan” Tiara yang melihat kedua temannya itu tertawa dan menggeleng.
Mahalini dan Tiara menetap dan menemani Ziva disana sampai langit berubah menjadi gelap.
Nuca dan Samuel datang untuk menjemput kekasih mereka. Mereka datang bersamaan dengan Gerald sampai.
Samuel mengelus pundak Ziva “Semangat, Ziv”
Ziva yang disemangati Samuel tersenyum dan mengangguk.
“Kalian sudah mau pulang?” Gerald berdiri disamping Ziva.
“Iya nih, Ge. Besok kerja soalnya” Samuel menanggapi Gerald. Gerald hanya mengangguk.
“Kamu juga pulang, ya, Ziv. Istirahat” Ujar Gerald sambil menyentuh pundak Ziva lembut. Ziva hanya mengangguk.
Gerald menatap Nuca dan Mahalini yang ia tau rumah mereka searah dengan Ziva “Nuc, titip Ziva, ya” Nuca dan Mahalini hanya mengangguk.
Sebelum berpamitan pulang, Ziva menyempatkan menatap Bielnya sekali lagi.
“Kalau aku kembali besok, aku harap kamu sudah bangun, Bi” Gumam Ziva dalam hati.
“Yuk, Ziv. Ge, kita duluan, ya” Mahalini berpamitan kepada Gerald dan mereka semua meninggalkan Gerald sendirian.
“Lihat tuh, Biel. Temen-temen lo perduli sama lo. Nggak ada niatan untuk bangun? Kasihan Ziva” Gerald mengajak Biel berbicara meskipun ia tau tidak akan pernah ada jawaban dari saudaranya itu.
***
Nuca dan Mahalini sudah mengantar Ziva sampai di rumahnya dengan selamat. Setelah mengantar Ziva, Nuca akan mengantar Mahalini pulang ke rumahnya.
Nuca menggenggam erat tangan Mahalini dan menciuminya sedari tadi. Nuca baru ingat, ada hal yang ingin ia sampaikan kepada Lini.
“Lin, besok malam, mama ku mau ketemu sama kamu” Ujar Nuca tanpa menatap Mahalini.
Mahalini yang mendengar ucapan Nuca sedikit terkejut “Ada acara apa memang?”
Nuca melirik Mahalini “Nggak ada acara apa-apa, sih. Mama kepingin ketemu aja”
Mahalini meremas jari jemarinya “Aduh, aku takut, Nuca”
Nuca yang menatap kepanikan dari mata Lini terkekeh “Kenapa takut, sih. Emang mama ku makan orang?”
Mahalini memukul lengan Nuca pelan “Nggak gitu, aku deg-degan kalau ketemu orang tua kamu”
“Kan kamu udah kenal, Sayang. Biar terbiasa nanti kalau kita menikah”Mahalini cukup terkejut mendengar Nuca berbicara soal pernikahan. Mahalini hanya membuang pandangannya keluar jendela.
Nuca memutar setirnya memasuki perumahan kediaman Mahalini dan berhenti tepat di depan rumahnya.
Nuca membuka pintu untuk Mahalini. Mahalini memeluk Nuca sekilas.
“Kamu hati-hati, ya”
Nuca hanya mengangguk dan mencium puncak kepala Mahalini lalu mengacaknya.
“Sudah siap kan?” Tanya Nuca sambil menatap Mahalini lekat.
Mahalini menatap bingung “Apa?”
“Menikah” Wajah Mahalini bersemu merah. Lalu menggeleng salah tingkah. Lalu ia meninggalkan Nuca.
Baru lima detik, Mahalini kembali.
Mahalini berjinjit sedikit dan mencium pipi Nuca sekilas “Lupa”.
Mahalini lalu meninggalkan Nuca dan menutup pintunya. Nuca memegang pipinya yang baru saja dicium oleh Mahalini tadi, tersenyum.
Bisa-bisanya, laki-laki dingin ini tersenyum salah tingkah hanya karna diberi kecupan singkat di pipinya.
Mahalini mengintip Nuca yang baru saja memasuki mobilnya dan beranjak pergi.
Sebenarnya, jantungnya hampir berpindah tempat tadi. Hanya saja, Mahalini cukup pandai menyembunyikan keterkejutannya.
Ternyata gadis ini, berhasil membuat laki-laki dingin itu menjadi... Bucin.
***Selamat hari Jumat, hehe. Maaf ya, aku updatenya kesorean.
Semoga suka bab ini. Makasih udah tetap nunggu cerita ini update. Kita sama-sama kelarin cerita ini, ya?
Happy reading, sayang-sayangku
Big Love
Cayon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Selesai [Completed]
General FictionBerjuang itu berdua, bukan sendiri. Jika hanya aku yang berjuang, maka hanya aku pula yang takut kehilangan dan kamu tidak.