24. Dimas & wildan

53 15 1
                                    

Sunyi, itu yang terdengar sedari tadi. Meskipun gak sepenuhnya sunyi karena mereka lagi di cafe, tapi dimas dan wildan lebih memilih untuk diam dan merenung.

"Anjing lah" keluh dimas memecah kesunyian diantara mereka

"Hahaha" wildan tertawa pasrah

Dan diam, mereka kembali terdiam lagi. Mereka berdua terlalu sibuk merenung melihat kertas kertas ulangan mereka masing masing.

"Kadang gue bingung, kok bisa gue lahir di keluarga dokter" kata dimas tetap melihat ke arah kertas ulangannya

"Iya, kadang gue juga mikir apa gue lahir di keluarga yang salah" balas wildan.

Sebenarnya nilai mereka tidak buruk, bagus malahan. Tapi ada beberapa mata pelajaran yang mereka benar benar tidak bisa. Wildan yang harus melanjutkan bisnis keluarganya malah mendapatkan nilai buruk di ekonomi, dan sedangkan dimas yang harus melanjutkan rantai dokter dikeluarganya malah mendapatkan nilai buruk di biologi.

"Kita ketuker gak sih? Gue bisa ipa tapi gak bisa ips. Lah lo bisa ips tapi gak bisa ipa" kata wildan yang dilanjutkan tawa kecil.

"Kayaknya iya deh" jawab dimas terkekeh

"Sialnya kita sama sama anak tunggal" wildan menambahkan fakta yang makin membebani mereka

Keduanya pun sama sama menghela nafas panjang.


"Lo pulang kira kira diapain?" Tanya dimas ke wildan

"Paling disuruh ngamatin statistik perusahaan sama perkembangan saham 1 minggu full gak boleh main" jawab wildan yang sudah hafal akan hukuman yang akan ia terima setiap dia gagal dalam pelajaran ekonomi dkk.

"Lo gimana?" Tanya wildan bergantian

"Paling disuruh baca buku anatomi sambil ditanya tanyain" jawab dimas sama lelahnya dengan wildan

Mereka pun kembali terdiam merenungkan nasib yang akan mereka lewati. Mereka sama sama lelah dengan tekanan yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Meskipun mereka sudah berulang kali mencoba untuk menentang permintaan kedua orangtua mereka, tapi hasil yang mereka peroleh justru nihil. Orangtua mereka pun semakin memperketat jadwal belajar mereka dibidang yang harus mereka jalani

"Lo emang pada awalnya gak ada minat gitu di kedokteran?" Tanya wildan yang sekarang berganti menyeruput minumannya, mencoba untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak

"Ada, gue dulu malah tertarik banget sama kedokteran waktu kecil karena dulu gue pikir kalo orangtua gue itu keren. Tapi waktu orangtua gue mulai maksa biar gue jadi dokter, gue makin gak pengen jadi dokter" jawab dimas

"Masih untung dulu lo bisa nikmatin masa masa lo minat jadi dokter, gue dari dulu gak pernah minat sama dunia perbisnisan" jawab wildan. Dimas pun menatap wildan sendu, setidaknya dimas sekarang bisa berterimakasih ketuhan karena memberinya sedikit waktu untuk tidak merasa terbebani untuk menjadi dokter.

"Kenapa?" Tanya dimas

"Dari dulu papa gue emang sibuk sama bisnisnya sampe jarang banget dirumah buat ngeluangin waktu buat mama sama gue. Entah mungkin itu perkara utama nya apa bukan, tapi yang gue jadi alasan kenapa gak suka perbisnisan ya karena papa gue sendiri. Gue merasa dunia perbisnisan itu udah ngebutain orang sama orang orang di dekatnya. Seakan akan bisnis mereka itu semua yang mereka punya" jelas wildan, dimas pun mengangguk angguk setuju

"Perasaan orangtua lo dari dulu jarang dirumah kok bisa sih minat ke kedokteran?" Tanya wildan bingung. Dari sudut pandangnya, hal yang membuatnya membenci dunia perbisnisan ya karena papanya yang seakan gak peduli dengan keadaan wildan dan mama nya.

"Emang, gue awalnya marah ke orangtua gue karena jarang dirumah dan ninggalin gue sama pengasuh. Tapi waktu tau pekerjaan mereka apa, gue seakan kayak ke sihir gitu. Gue langusng pengen kayak orangtua gue yang bisa nyelamatin orang lain" jelas dimas, wildan pun kini yang bergaintian mengangguk paham.

"Dokter emang pekerjaan yang bagus, sedangkan pembisnis? Bisa aja mereka korupsi" kata wildan terkekeh

"HEH, FILTER ANJING OMONGAN LO" Sahut dimas kaget

"Lah, napa? Bener kan gue?" Tanya wildan

"Ya itu papa lo sendiri anjir, kalo misalnya iya kan lo kenak imbasnya juga" jawab dimas. Wildan pun kembali terkekeh

"Bagus lah, gue bisa bebas dari papa gue. Gue juga akhirnya bisa buktiin ke mama sama papa gue gimana dunia perbisnisan itu gak sebaik yang selama ini kita lihat" jelas wildan.

Dimas pun membanti 'sebenci ini kah wildan sama dunia perbisnisan?'

"Pikiran lo negatif banget anjir, bingung gue. Sebenci bencinya gue sama kedokteran sekarang, gue gak pernah mikir hal negatif kek gitu anjir" kata dimas yang awalnya speechless mendengar perkataan wildan

"Dim, dokter itu pekerjaan yang baik. Tugas dokter tuh nyelamatin orang, mau gimanapun pekerjaan dokter tuh baik dan bakal di pandang baik sama orang lain. Pembisnis? Banyak orang yang ketauan korupsi, banyak orang yang nyuap demi bisnisnya berkembang, bahkan ada yang saling menjatuhkan bisnis lain dengan cara yang gak sehat cuma buat investasi. Pembisnis tuh cuma menang di duitnya doang. Taunya aja kaya, tapi apa mereka tau gimana orang bisa jadi orang yang kejam banget demi ngehasilin duit sebanyak itu" jelas wildan. Dan sekali lagi, dimas pun speechless. Dimas bingung entah pemikiran wildan yang terlalu luas atau wildan yang pikirannya terlalu negatif.

"Kicep kan lu?" Kata wildan tersenyum Pasrah

"Mungkin mereka bisa sekejam itu, but we're talking about you here. Mungkin orang lain bisa ngelakuin hal hal keji kayak gitu, tapi apa lo bisa? Lo gak bisa nyimpulin suatu komunitas tuh kayak gimana" jelas dimas

"Sekarang gue tanya ke lo, kalo lo nerusin bisnis papa lo. Apa lo bakal sekeji itu ke orang lain?" Wildan pun terdiam, dia tidak berpikir seperti itu. Dia selalu menunjuk para pembisnis dengan penggaris dan mengatakan seberapa buruknya mereka, dan sekarang wildan merasa bahwa penggaris itu menunjuk dirinya sendiri di sisi satunya.

"People change dim. Bisa aja gue gak sekeji itu, tapi bisa aja waktu gue mulai ngejalanin perusahaan papa gue, gue berpikir beda" jawab wildan

"And who's fault is that? Apa itu salah bisnis? Apa itu salah orang lain lo jadi gitu?. No, lo sendiri yang bikin diri lo kayak monster. Lo tamak akan harta, kedudukan, atau entah apalah yang bisa bikin lo jadi sekeji itu. Tapi kalo lo emang pada dasarnya orang waras yang make otak sama hati lo, lo gak bakal jadi gitu" jelas dimas, sekarang wildan lah yang terdiam

"Dim, udah ya? Gue capek" kata wildan yang meminta dimas untuk menghentikan pembicaraan mereka. Dimas pun mengangguk, memberikan ruang agar wildan bisa berpikir

"Lo sebenernya benci sama perbisnisan apa benci sama papa lo?" Tanya dimas, baru sesaat wildan bisa menarik nafas dengan tenang. Tetapi sekarang dimas sudah kembali membuat pikirannya menjadi kacau lagi.

"Ya lo sendiri juga benci sama orangtua lo yang maksa lo apa lo emang pure benci kedokteran?" Balas wildan. Kini mereka berdua pun terdiam

Pada akhirnya, wildan dan dimas tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka bingung, keduanya saling berhubungan dan mereka gak bisa nyari jawabannya.

.


.



.



.



.


.

—————————————————————————

HAIIIII, I'M BACK!!!

Udah selesai pts nih, jadi gue bisa update lagi. Di chapter ini gue agak menegluarkan keluh kesah gue karena gue juga di paksa sama orangtua gue buat ngikutin harapan mereka. Maaf ya, kesannya kayak lagi curhat. Wkwkwk

Oh iya, kalo kalian belom tau. Gue udah upload side story nya jevan ya di twitter, side storynya jevan gue jadiin short au. Buat nyari tinggal nyari aja di pin twitter gue.

Yaudah, see you next chapter ya!


Update information: @shofinotsapi (twt)

Surat untuk desember (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang