Hari sudah petang, Zita--8 tahun--berjalan di samping sang kakak. Ia sudah puas bermain-main di taman bermain selama seharian.
"I'm so happy," ujar Zita.
"Really?" tanya Mila dengan ekspresi tak kalah bahagia.
Zita mengangguk dengan pasti. Ya, ia sangat bahagia. Pergi ke taman bermain di hari ulang tahunnya adalah kado yang ia inginkan dari sang kakak. Walau sangat disayangkan kedua orang tuanya tidak bisa ikut karena harus pergi keluar kota untuk mengurus pekerjaan. Namun, pergi dengan Mila sudah cukup menyenangkan.
Mereka berjalan di trotoar hendak menuju ke halte bus terdekat. Angin senja hari itu terasa lebih dingin dari biasanya, tapi genggaman tangan Mila sudah cukup menghangatkannya. Gedung dan pertokoan di tepi jalan banyak yang tutup, mungkin karena sudah melewati jam operasional atau memang toko-toko itu tidak digunakan sejak awal.
Satu persatu lampu penerangan menyala, mulai menyinari jalanan yang menggelap karena ditinggalkan sang mentari. Entah akibat senja atau karena daerahnya yang tampak suram, tak nampak satu pun orang di jalanan itu selain mereka. Sepi. Sangat sepi. Sesekali ada mobil yang melintas, tapi tak mampu menghilangkan suasana hening di sekitar mereka. Zita tidak suka dengan situasi itu. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Namun tiba-tiba Mila menghentikan langkah. Zita menoleh dan melihat gadis itu menatap ke satu arah. Diikutinya arah pandang Mila hingga mendapati seorang pria diseret paksa seseorang untuk masuk ke dalam sebuah gedung.
Mila pun dengan cepat melangkahkan kakinya. Zita terpaksa membuntuti di belakang. Mereka baru berhenti saat sudah berada di depan sebuah gedung tinggi yang tampak gelap. Seperti gedung yang telah lama tidak digunakan. Gedung terbengkalai.
"Kak ...," panggil Zita dengan menarik lengan jaket Mila. Ia merasa takut berada di depan gedung yang tampak menyeramkan itu.
Mila menoleh pada Zita, kemudian membungkuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Zita lalu tersenyum. "Takut, ya?"
Zita mengangguk masih dengan melirikkan mata pada gedung gelap di depannya.
Mila lalu mengedarkan pandang tampak mencari sesuatu sebelum kembali menatap Zita. "Kamu tahu kan kalau tadi ada bapak-bapak yang diseret masuk ke dalam?"
Zita mengangguk.
"Di dojo tempat kakak latihan, ada anak seumuran kamu dan kalau nggak salah, bapak tadi orang tuanya. Kayaknya ada yang nggak beres. Kakak mau lihat ke dalam. Jadi, kamu tunggu di sana dulu, ya?" jelas Mila sambil menunjuk ke satu arah di belakang Zita.
Zita menoleh ke arah yang Mila tunjuk. Sebuah minimarket yang ada di seberang jalan. Gadis itu langsung menggeleng. Tangannya memegang erat tangan Mila.
"Hei, kamu lupa kakak bisa karate?" Mila menyombongkan diri lalu tertawa lirih. "Ya ... walau nggak terlalu mahir juga, sih!"
Zita hanya diam. Sama sekali tidak tertarik dengan gurauan Mila sekarang. "Kita pulang aja, yuk! Zita takut!"
Mila mengusap kepala Zita pelan. "Kakak juga takut. Tapi kalau ada apa-apa sama bapak tadi, kakak nggak bisa bayangin gimana sedihnya anak itu. Sama kayak kakak nggak mau lihat wajah jelek kamu kalau lagi nangis."
Zita masih menggenggam erat tangan Mila. Enggan melepaskan.
Mila lantas menghembuskan nafas kemudian berdiri, melepaskan kalung di lehernya. "Kamu selalu mau kalung ini, kan?"
Zita menatap kalung dengan liontin berbentuk kunci itu yang kemudian Mila pasangkan di leher Zita.
"Kalung ini kakak kasih buat kamu, tapi kamu tunggu di sana, ya? 30 menit. Nggak! Nggak!" Mila mengibas-kibaskan tangannya dengan cepat. "10 menit. Kalau kakak nggak keluar, kamu minta tolong sama kasir minimarket untuk telepon polisi. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My True Me (END)
Mystery / Thriller17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang terjadi kala itu, hingga ia bertemu seorang mahasiswa baru yang mengenalinya sebagai "Mila". Lelaki itu...