Mendengar suara pria asing diikuti sambungan telepon yang tiba-tiba terputus, membuat Theo mempercepat laju mobilnya. Begitu sampai, matanya melebar saat melihat apa yang terjadi di pos ronda. Ia bergegas turun, berlari, menarik tubuh lelaki yang berusaha melecehkan Moza, dan menghajarnya tanpa ampun.
Lelaki itu tersungkur, tersengal-sengal dengan muka penuh lebam di depan kaki Theo. Theo masih menatapnya berang dengan napas memburu seolah belum puas memberikan efek setimpal atas tindakan yang lelaki itu lakukan.
Saat lelaki itu beranjak untuk bangkit, kemudian lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu, ingin rasanya Theo mengejarnya, menariknya kembali untuk lanjut ia hajar sampai tak sanggup lagi berdiri. Namun, kewarasan menyadarkannya jika masih ada Moza yang tak mungkin ia tinggalkan seorang diri.
Ia lantas menoleh ke arah Moza yang masih telentang di atas lantai pos ronda. Tangan gadis itu menutup wajah, tubuhnya gemetaran, ada isakan yang coba gadis itu redam.
Theo mendekat, meski tak tahu harus berbuat apa. Dilihatnya kancing seragam Moza masih utuh. Entah, apa dirinya berhak bersyukur karena lelaki tadi belum sempat melakukan perbuatan yang lebih fatal terhadap Moza?
"Za ...."
Theo mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh bahu Moza, tapi gadis itu dengan cepat menepisnya. Tubuh Moza seketika bangkit, pandangan matanya menyorot waspada bercampur rasa takut.
Hati Theo seketika mencelos. "Za, ini gue ... Theo."
Moza masih menatap asing ke arahnya. Butuh sekian detik untuk membuat sorot mata itu perlahan berubah. Gadis itu mengedipkan mata beberapa kali seolah baru mendapatkan kesadaran yang sempat hilang hingga akhirnya sanggup mengenalinya.
Tangan Moza merapikan geraian rambutnya untuk menutupi leher, lalu merapatkan kerah seragamnya. Hal yang percuma karena Theo masih bisa melihat beberapa bekas kemerahan yang tercetak di kulit putihnya.
Theo berkerut dahi. Hanya butuh sekian menit baginya untuk sampai setelah panggilan Moza terputus, mustahil lelaki tadi bisa membuat bekas sebanyak itu. Belum lagi melihat sikap defensif Moza yang tampak ketakutan seperti barusan, slentingan jawaban sontak muncul di otaknya.
"Apa yang udah Iddar ...." Theo tak sanggup melanjutkan, berharap pemikirannya salah, tapi diamnya Moza seolah mengonfirmasi satu-satunya jawaban yang memenuhi pikirannya. Tangan Theo mengepal kuat. "Lo tunggu di sini."
Theo tak pernah mempermasalahkan gaya percintaan Iddar yang terbilang bebas, tapi mendapat telepon Moza di pagi buta dan melihat kondisi gadis itu sekarang jelas membuatnya meradang.
Theo berbalik, berniat menghampiri kosan Iddar, tapi Moza buru-buru turun dan menahan lengan jaketnya. Kepalanya menggeleng cepat, meminta Theo menghentikan apa pun yang hendak ia lakukan.
"Gue harus ke tempat Iddar. Gue butuh penjelasan kenapa lo ada di sini, di jam segini, dan dalam kondisi kayak gini," ujar Theo dengan penuh penekanan.
Moza lagi-lagi menggeleng, memohon, "Jangan! Please! Gue nggak apa-apa. Nggak terjadi apa-apa. Gue cuma mau pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
My True Me (END)
Mystery / Thriller17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang terjadi kala itu, hingga ia bertemu seorang mahasiswa baru yang mengenalinya sebagai "Mila". Lelaki itu...