Setelah Adifa pergi, Mila yang tersembunyi di bawah terpal segera merogoh saku celananya. Diambilnya ponsel yang sempat Theo berikan padanya tempo hari.
Sore tadi, Mila sudah mengirim pesan pada Theo untuk tetap stand by, meski ia sama sekali tak berharap akan menghubungi sepupunya tersebut.
“Halo, Mil.” Padahal saat itu nyaris jam dua pagi, tapi Theo menjawab panggilannya dengan cepat seolah benar-benar berjaga untuknya.
Mila menelan ludah, mencoba mengatur napasnya yang masih terasa sesak. “Gue nggak ada waktu buat jelasin. Lo pasti tahu gue ada di mana sekarang.” Mila menarik napas sebelum lanjut bicara. “Jemput gue, sekarang. Secepatnya.”
“Oke. Gue berangkat sekarang. Mungkin 30 men--”
“10 menit,” potong Mila. “Gue nggak yakin bisa bertahan lebih lama lagi.”
“Lo gila, ya? Posisi lo tuh butuh 30 menit perjalanan, paling cepet juga 25 menit.”
“Gue sekarat!” geram Mila. Napasnya terengah. “Kalau lo mau Zita tetap hidup, lo harus bawa gue dalam 10 menit, atau lebih cepat dari itu.”
Mila mematikan ponselnya lalu menyandarkan kepalanya pada tumpukan kayu yang ada di belakangnya. Matanya memejam merasakan sakit di sekujur badannya, berharap Theo bisa datang secepatnya.
Di sisi lain, Theo yang mendapatkan telepon Mila jadi kalang kabut. Ia segera masuk ke mobil dan melajukannya secepat yang ia bisa.
Dari suara yang terdengar serak dan sedikit bergetar, Theo tahu jika Mila tak sedang bermain-main. Entah apa yang sudah terjadi, gadis itu sepertinya benar-benar dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Theo memutar otak, mencoba mencari cara bagaimana cara agar dirinya tiba di tempat Mila lebih cepat. Kemudian, ia teringat jika tiga hari lalu Moza sempat mengatakan jika gadis itu dapat ijin menyewa rumah mendiang neneknya yang sudah terjual.
Beruntung Theo ingat jika letak rumah itu dekat dengan posisi Mila saat ini. Karena ia sedang bertaruh dengan waktu untuk keselamatan Mila, ia terpaksa menghubungi Moza, berharap gadis itu dapat membantunya menemukan Mila lebih dulu.
...
Moza baru saja mematikan telepon dari ayahnya saat mendengar suara gaduh yang berasa dari pintu depan. Ia lantas mengintip ke ruang tamu dan menemukan seorang pria tengah terduduk di depan pintunya dengan napas terengah.
“Kamu mal--”
Belum sempat Moza menyelesaikan kalimatnya, lelaki itu dengan cepat beranjak ke arahnya. Beruntung Moza menguasai bela diri, dengan sigap ia menangkap satu tangan yang berusaha membekap mulutnya. Ia lantas memutar lengan lelaki itu ke arah punggung.
“Gue ... bukan ... maling,” kilah pemuda itu sambil terengah.
Mendengar jawaban itu, cekalan Moza melemah. Lelaki itu memanfaatkan hal itu dengan buru-buru memutar badan. Satu tangannya balas mencekal tangan Moza dan memelintirnya ke belakang. Sedangkan tangan yang lain ia gunakan untuk membekap mulut gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My True Me (END)
Детектив / Триллер17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang terjadi kala itu, hingga ia bertemu seorang mahasiswa baru yang mengenalinya sebagai "Mila". Lelaki itu...