Dengan napas sesak dan keringat bercucuran, Mila mencoba berlari sekuat tenaga. Setelah melewati dua gang, ia memasuki gang ketiga sesuai arahan yang Adifa berikan. Sebuah gang yang sepertinya mengarah ke perkampungan padat penduduk.
Ia lantas menuju motor Adifa yang terparkir di tepi gang, buru-buru merogoh saku jaket yang tersampir di atas setir untuk mencari ampul dan alat suntik yang tersembunyi di dalamnya.
“Please! Please!” rapal Mila yang tak kunjung menemukan dua barang itu dari setiap kantong yang dirogohnya.
Tubuh Mila bergetar, luka di tangan kanannya semakin berdenyut nyeri akibat darah yang tak kunjung berhenti mengucur. Mila pun mengerang saat rasa sakit di abdomennya terasa semakin menyiksa. Kakinya mendadak lemas hingga tubuhnya jatuh terduduk di tanah.
Dirinya tak boleh mati sekarang!
Di sela rasa sakitnya, sebelah tangannya menarik jaket Adifa ke hadapannya. Mengabaikan darah yang kini mengalir dari hidungnya, Mila mencoba fokus mencari keberadaan ampul yang bisa menghentikan pendarahannya.
Ada sedikit perasaan lega saat ia berhasil menemukan dua benda itu. Ia segera memindahkan isi ampul ke dalam suntikan meski harus mengandalkan rahang dan sebelah tangan kirinya karena tangan kanannya yang terluka.
Setelah isi ampul berhasil masuk ke barrel, dengan tangannya yang bergetar Mila mengarahkan ujung jarum ke lipatan siku bagian dalam tangan kanannya, bersiap menusuk gurat hijau kebiruan yang terlihat jelas di kulit putihnya.
Mila menarik napas, berharap tremor di tangannya dapat berhenti walau hanya sesaat. Sayangnya, saat ujung jarum baru menyentuh permukaan kulit, gerakan tangannya terhenti. Tangannya mendadak kebas. Jari-jarinya tak dapat ia gerakkan. Ia bisa saja mendorong ujung jarum untuk menembus kulitnya, tapi tak ada gunanya jika ibu jarinya tidak mampu bergerak untuk menekan plunger.
Ah, sial!
Bahkan sekarang kepalanya terasa sakit, pandangannya mengabur, ia merasa mual, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Suntikan di tangannya terlepas dan jatuh di pangkuan. Ia terduduk lemas dengan napas yang semakin terasa berat. Belum lagi, hawa dingin yang berhembus di malam hari terasa menusuk hingga ke tulang.
Ingin rasanya ia menyerah karena sudah tak sanggup lagi. Kepalanya lantas menengadah, menatap langit gelap tanpa bintang, sambil kembali merasakan sesuatu mengalir turun dari hidungnya.
Ia tertawa miris. Apakah sudah saatnya ia mati?
Jika dipikir-pikir, keadaan Galen mungkin tak kalah parah, bahkan mungkin lelaki itu sudah lebih dulu mati darinya. Nahasnya, penyesalan yang ia harapkan keluar dari bibir lelaki itu tak berhasil ia dapatkan. Usahanya melakukan semua ini terasa tak berguna, kematiannya akan sia-sia.
Tidak!
Dirinya mungkin pantas mati, tapi tidak dengan Zita.
Raga itu bukan miliknya seorang. Sudah sepantasnya ia mengembalikan apa yang telah ia pinjam. Bukankah ia muncul untuk menjadi protector, bukan eksekutor?
KAMU SEDANG MEMBACA
My True Me (END)
Gizem / Gerilim17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang terjadi kala itu, hingga ia bertemu seorang mahasiswa baru yang mengenalinya sebagai "Mila". Lelaki itu...