Dua Puluh Tujuh

484 75 152
                                    

“Kay! Kayana!” panggil Zita sambil berlari-lari kecil mengejar Kayana--teman satu prodinya--yang tengah berjalan di koridor menuju ruang dosen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kay! Kayana!” panggil Zita sambil berlari-lari kecil mengejar Kayana--teman satu prodinya--yang tengah berjalan di koridor menuju ruang dosen.

Mendengar namanya dipanggil, gadis berkacamata dengan rambut dikuncir ponytail itu menoleh, berdiri di pinggir selasar menunggu Zita menghampirinya.

“Ini.” Zita memberikan beberapa lembar tugasnya kepada Kayana. “Lo mau ngumpulin ke Mbak Emma, kan?”

Kayana mengangguk sambil menerima lembaran yang Zita berikan.

“Nggak apa-apa telat?” tanya Zita dengan senyuman was-was , takut tugasnya itu ditolak mengingat Mbak Emma--dosen mata kuliah Komunikasi Massa--terkenal sebagai dosen killer yang akan menolak tugas mahasiswa ngaret sepertinya.

Kayana kembali mengangguk. “Nggak apa-apa. Hari ini Mbak Emma lagi ada urusan di luar kota, jadi masih aman kalau ada telat-telat dikit.”

Zita mendesah lega. Sebenarnya ia tak harus telat mengumpulkan tugas jika saja Theo dan Kayla tidak berdebat dengan saling lempar bantal hingga menyenggol teh yang akhirnya tumpah mengenai lembar tugasnya.

“Tumben telat,” ucap Kayana sambil memeriksa kelengkapan tugas Zita.

Bagaimana ia tidak telat jika sesampainya di rumah--setelah memindahkan semua barang-barangnya dari kosan ke kamarnya--dirinya langsung ketiduran. Ia terpaksa bangun pagi-pagi untuk mengetik ulang laporan tugasnya karena flashdisk tempatnya menyimpan file tugas terselip di antara kardus yang belum sempat ia bongkar.

“Ada trouble dikit,” jelas Zita singkat. “Oh, ya. Katanya lo nyari kosan, ya?”

Kayana mengangkat muka, menatap Zita lalu melirik ke belakang melalui bahu gadis itu, melihat Theo yang tengah menatap mereka dari jarak beberapa meter.

“Kebetulan kamar kos gue kosong. Lo bisa tempatin,” lanjut Zita.

Kayana kembali menatap Zita. “Lo udah nggak ngekos?”

Zita tersenyum hambar. “Iya, disuruh pulang ke rumah.”

Kayana mengangguk paham, tak berniat bertanya lebih lanjut. “Gue udah dapat kosan, kok. Lagian, kalau harus satu kos sama Kayla, kayaknya gue nggak sanggup, deh. Berisik soalnya.”

Dalam hati, Zita setuju. Satu waktu, Kayla memang sangat berisik. Gadis satu itu tak pernah kehabisan topik obrolan untuk dibahas. Jika digandengkan dengan Kayana, keduanya jelas seperti dua kutub yang saling tolak-menolak. Selama Zita mengenal Kayana, ia adalah gadis yang kalem dan tenang. Hanya berbicara jika diperlukan. Sangat berbanding terbalik dengan Kayla yang super heboh. 

Kayana melirik lagi ke arah Theo yang masih setia berdiri di tempatnya. Ia lantas menggerakkan dagunya ke arah lelaki itu. “Theo nungguin, tuh!”

Zita reflek menoleh ke belakang, mendengkus saat melihat Theo menggerakkan kepala sebagai isyarat agar Zita segera menyelesaikan urusannya. “Punya sepupu nggak sabaran banget.”

My True Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang