"Mama jadi penasaran, deh, kamu itu bukannya selalu bilang kalau tipe kamu itu harus yang sebaya, nggak yang umurnya di bawah kamu, tapi tiba-tiba—wait, Kirana adik kelas kamu, kan? Nggak ada gap year masuk sekolah atau apa?"
"Iya, Ma. Beda setahun sama Panji sama Kale."
"Berarti dia ini kasus spesial, ya, Je?"
"Hehehe."
Jeviar lagi berbaring di sofa panjang depan TV berbantalkan paha Mama. Dari kecil, Jeviar memang anak mama banget, faktor anak tunggal dan sifat Jeviar yang sebelas duabelas sama bapaknya yang haus perhatian kalau sudah sama mama menjadi sebabnya. Meski sudah segede ini, kebiasaan Jeviar manja-manja nggak berubah, sampai-sampai pernah ribut sebab Jeviar dikatain ganjen dan kegatelan sama papa. Padahal, mah, sama aja.
Maka dari itu rasanya nggak aneh lagi kalau Jeviar curhat sama mama udah kayak sahabat. Soalnya dari dulu apa-apa Jeviar ngomongnya ke Mama, nyaman aja gitu sebab disamping sifat Mama yang loveable dan soft, orangnya juga pengertian banget. Nggak heran, sih, kalau Mama sampai tahu soal Kirana sampai ke akar-akarnya.
"Mama jadi penasaran, deh, kok bisa, ya, dia bikin anak Mama yang seleranya sama yang tua-tua jadi melipir ke dia?" kata Mama.
"Ma, tipeku bukan yang tua-tua, tapi yang dewasa!"
"Loh, kata papa kamu sama aja, Je."
"Mama jangan percaya omongan papa sepenuhnya gitu, dong. Papa, kan, suka bawa gosip gelap." Jeviar cemberut.
"Kan, papa kamu suami Mama, ya, harus percaya dong." Mama malah ketawa. "Kamu belum jawab pertanyaan mama yang tadi, loh."
Jeviar menatap langit-langit rumahnya, tengah berpikir keras. "Aku udah pernah cerita soal keran di belakang sekolah nggak, sih, Ma?"
"Belum, deh. Emang kenapa?"
Jadi hari itu, adalah satu dari sekian hari Jeviar jadi kuli angkut bola pas jam olahraga.
Bola basket yang habis digunakan itu, rencananya akan dikembalikan ke gudang penyimpanan yang terletak di belakang gedung kelas sepuluh. Habis mengunci pintu gudang, Jeviar beranjak hendak pergi ke kelas, mau ganti baju terus istirahat mandiri—ngertilah, ya—tapi, pas dia jalan di koridor gudang, Jeviar melihat Kirana lagi jongkok melepas sepatu dilanjut kaos kaki. Dilihat dari seragam yang dipakai, kayaknya itu anak habis kelar olahraga seperti Jeviar.
Awalnya, Jeviar kira Kirana itu mau cuci kaki di keran pendek yang ada di halaman gedung belakang, sebab tadi sempat lepas sepatu, kan. Tapi, niat Jeviar mau bodo amat terus lanjut ke kelas batal saat dia melihat gerak-gerik mencurigakan dari Kirana.
Di mana-mana, orang mau cuci kaki di keran yang cuma sedengkul, tuh, logikanya pasti berdiri atau menunduk biar nggak keciprat air. Tapi, Kirana malah jongkok, makin mendekatkan diri serta wajahnya ke moncong keran, habis itu apa yang terjadi berhasil membuat mental dan akal Jeviar anjlok ke dasar kerak bumi.
Jeviar yang seumur-umur nggak pernah menyentuh keran dengan tujuan meminum air mentah langsung keselek melihat aksi Kirana yang minum air keran langsung dari moncongnya. Itu anak nggak takut keracunan kaporit apa, ya?!
Gara-gara itu, Jeviar jalan ke kelas sampai bengong-bengong speechless, masih nggak bisa percaya sama apa yang dia lihat. Jeno sampai mengira Jeviar habis kesambet penunggu gudang yang katanya bersemayam pada kerangka tengkorak tak terpakai karena kepalanya copot.
Habis kejadian itu, nggak tahu kenapa Jeviar jadi ngerasa gimanaaaa gitu pas ngelihat Kirana nggak sengaja papasan sama dia. Rasanya kayak ngelihat makhluk pluto lagi jalan-jalan dengan santai di mall. Gara-gara itu, tanpa sadar Jeviar malah giving attention ke Kirana lebih daripada yang seharusnya, meski nggak pernah mencoba untuk berinteraksi lebih, cenderung hanya mengamati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Impression ✔
FanfictionKetika kisah cinta seorang Jeviar, si kupu-kupu sekolah, jadi sedramatis sinetron hidayah gara-gara naksir adik kelas yang nilai kepekaannya sejeblok harga salak yang dijual kemudaan di pinggir jalan. landnana, 2021 [book one, completed] [book two...