11. kancing baju

390 62 3
                                    

“Lo aneh, deh, Bang.”

“Aneh gimana?”

“Maksud gue bukan lo, tapi Bang Jeviar, tuh.” Panji berkata pas Jeno menjawab, menunjuk Jeviar yang lagi merem rebahan di kursi sisi lapangan. Ya, kalau tidur biasa, sih, nggak apa-apa, ya. Cuma anaknya pakai ketawa-ketawa kayak orang mengigau, tapi Jeviar sadar, buktinya pas dipanggil nyahut.

“Oh, bukan aneh itu namanya, tapi gila.” Jeno menjawab santai, lanjut main game.

“Makasih hehe.” Jeviar malah jawab bahagia.

Panji menatap Jeviar yang kayak nggak habis pikir. “Kalau dibiarin kayak gitu bahaya nggak, sih?”

“Tergantung alasannya dia gila karena apa.” Jeno menekan layar ponselnya dengan sepenuh nafsu.

“Hah?”

“Dia, tuh, begitu karena lagi naksir orang, kan. Kalau orang yang dia taksir udah ada pawangnya atau tiba-tiba itu cewek naksir gue, sih, bahaya.”

Mata Jeviar terbuka, langsung melotot ke arah Jeno. “Nguimpi! Mana ada Kiki naksir lo?!“

“Tuh, lihat sendiri, kan?” Jeno berdecak. “Bisa-bisa perang dunia keempat meletus gara-gara ini bocah sinting.”

“ … perang dunia ketiga kali, Bang.” Panji mengoreksi.

Jeno mengendikkan bahu. “Itu, mah, bagian lo sama si Kale.”

“ … “

“Lagian lo ada-ada aja, udah tahu si Kale naksir si Ratna—“

“Lasna, Bang. Ratna, mah, pacarnya Galih.” Panji berkata, bikin Jeno mendengus.

“Itulah si Lasagna—eit, mau ngomong apa lo? Diam, terserah gue mau manggil dia apa karena itu nggak penting.” Jeno menyela pas Panji sudah mau buka mulut untuk memotong omongannya. “Sampai mana gue ngomong tadi? Oh, oke gue lanjut. Udah tahu dia naksir itu cewek masih aja lo DDEM-in.”

Panji bingung. “DDEM?”

“Diam-diam lo embat.”

Panji cuma bisa menghela napas dalam. “I know, I was wrong. Sorry.”

“Gue bilang gitu bukan biar lo feeling guilty, ya. Jadi, nggak usah bilang maaf, apalagi ke gue. Gue bukan Kale.”

“Jen, lo pintar nasehatin hubungan orang, tapi hubungan yang lo punya sejauh yang gue tahu kayaknya cuma sama kucing-kucing lo, deh.” Jeviar bangun dari posisi rebahannya. “Ngaku, lo berguru ke dukun mana?”

“Idih, lo kira gue kayak lo mainnya dukun-dukunan?” Jeno meledek.

Panji Keselek. “Bang—lo dan dukun—for real?!”

“Duh, ini bocah.” Jeviar memutar bola mata jengah. “Kapan begonya ilang, sih?”

“Permanen kali, kayak lo.” Jeno nyeletuk. “Tingkah lo sama Kale sempat bikin emak gue curiga tahu nggak? Tinggal nunggu aja lo berdua jadi bahan gibahan emak-emak sekomplek. Sebelum itu terjadi, mending lo mediasi dulu sama yth. Tuan Muda Chen.”

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang