14. syukur deh

294 59 8
                                    

"Abang, what should we do during the christmas holiday? I have no idea." Kiki yang lagi rebahan di sofa sambil nonton TV bertanya pada raki yang lagi fokus ngetik sesuatu di laptop. Cowok itu duduk di lantai antara sofa dan meja.

"Staycation? Camping? We can go after going to the church—oh shit." Raki berdecak pas nggak sengaja pencet huruf V padahal mau nge-copy. Untung bisa di-undo. Geregetan banget padahal sudah mau selesai.

Kiki menggeleng. "Bang, tiap liburan kerjaan kita gitu doang. Nggak bosan?"

"Yaudah, buat acara aja di rumah?"

"Party with no adults here ... sounds confusing."

Raki menggaruk kepalanya. Lupa tadi mau ngetik apa habis dengar adiknya ngomong. "Terus Kiki kepengen apa?"

Jujur, Kirana juga nggak tahu. Berdasarkan pengalaman, dia jarang punya orientasi yang memorable soal hari raya yang melibatkan keluarga, sebab kedua orang tuanya kadang memang sesibuk itu. Kirana sudah malas mengeluh dan berharap, tapi seenggaknya di sini masih ada Raki. Dan itu sudah lebih dari sekadar cukup.

"Abang sendiri kepengen apa?" Kirana malah balik nanya.

"Didn't thinking about it yet, but how about baking some cookies and take them on randomly place—you know driving without maps for exemple." Raki meregangkan tangannya sehabis meng-klik panel save pada lembar kerjanya. "Yash, I've done this shitty paper."

Kirana nyengir. "Cookies? Emang Abang bisa buat?"

"Kan, bisa belajar." Raki menjatuhkan kepalanya ke sofa, lantas mendongak ke Kirana. "You like cookies more than chocopie these days."

Jelas, Raki tahu. Kirana dapat kiriman cookies dari mamanya Jeviar—which who is the same with someone who used to he called as Tante Rose long time ago—dan Raki mendapati jajanan di rumah mereka jadi bertahan sedikit lebih lama gara-gara Kirana sibuk nyemilin cookies. Raki nggak tahu mesti kesel atau bahagia dengan hal itu.

Tapi, satu kenyataan menghantamnya telak. Bahwa betapa jarangnya mereka menyantap hidangan rumah, yang dimasak oleh Mama, dan disajikan untuk dimakan bersama—Raki nggak ingat kapan terakhir mereka berada dalam suasana semacam itu. Seringnya mereka beli makan atau dikasih sama Tante Windy, kalau masak pun paling cuma hidangan simple hasil tutorial dari youtube.

Raki sendiri, tak punya masalah dengan hal itu. Meski di kala tertentu he miss a family atmosphere a lot, tapi, ya, Raki paham bahwa nggak semuanya yang dia inginkan mesti terwujud, terlebih untuk sesuatu yang beralasan. Orang tua mereka bekerja untuk memberikan yang terbaik, walau terkadang kehadiran mereka bisa menjadi sangat jarang dan terkesan mengabaikan, tapi bukan berarti kasih sayang itu tak ada lagi.

Kirana pernah bilang begini waktu Raki tanya apakah anak itu kecewa saat kedua orang tuanya malah jadi sosok yang absen dalam hari-hari pentingnya.

"Gimana, ya, Bang? Ya sedih, sih, tapi mau gimana lagi. Lagian bukan berarti kalau mama papa nggak ada di sini, sekarang, mereka jadi berhenti sayang sama aku. Yah, walaupun aku kurang suka cara mereka care ke kita, sih. But it's okay! Aku nggak bisa kecewa lama-lama sama orang yang sayang sama aku hehe!"

Terdengar sangat naif, iya. Tapi, apa pun yang dilakukan Kirana sedikit banyaknya adalah sesuatu yang Raki syukuri. Dengannya, Raki tak begitu merasa sepi. Orang yang membuat segalanya lebih mudah dijalani, hanya dengan hadir, Raki bisa menerima semuanya.

"Aku suka dua-duanya!" Kirana ketawa. "Kalau gitu, aku juga mau request the flavor!"

"Chocolote and strawberry?" Raki menebak.

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang