06. her truth

176 14 10
                                    

 "Kirana?"

Jake yang nggak paham sama sekali, tapi sadar betul namanya lagi diungkit-ungkit jelas nggak cuma diam. "... guys, one thing you should know is that I can't understand what did y'all just saying."

"You. Shut. Up." Raki menatap ganas Jake, bikin yang ditatap langsung membekap mulut. Dia kemudian beralih ke adiknya lagi, meminta penjelasan.

"B-bentar," Kirana jadi rada gemeter kalau ditatap semua orang kayak gini, "Ini—aku bisa jelasin, kok!"

"Siap, silakan jelaskan dengan sejelas-jelasnya Kirana Iluvia Yuki." Ree juga berkata, hampir nggak bisa menahan diri buat memberi Jake bombastic side eyes.

"Ki, itu semua nggak bener, kan?" tanya Jeviar juga ikutan.

"Kalau bener juga nggak apa-apa, Ki." Jeno nyeletuk jahil. Terus berakhir dapat tatapan silet dari empat manusia yang lain. Tebak aja siapa.

"Ngaco! Nggak mungkin Kiki suka sama dia!" Raki kemudian menatap adiknya dengan komuk maksa. "Iya, kan?!"

"Eum, okay ... I don't know what I've done so wrong, but excuse me???" Jake menyela dengan bingung, tapi tutup mulut lagi begitu dipelototin Raki.

Kirana yang mendadak jadi terdakwa bingung sendiri. Mana ini pada ribut, orang-orang pada ngelihatin kemari lagi. "Oke, jadi—"

"Jadi???"

Kirana meneguk ludah. "Aku tadi emang bilang suka sama Ja—"

Nindi mengangguk penuh semangat mendengar pengakuan Kirana. "Iya, kan??? Tadi kamu bilang suka sama yang namanya Ja—"

"Ki! Enggak, kamu belum memenuhi syarat buat bisa suka-sukaan sama lawan jenis dari Abang!" Raki berseru dramatis. "Kamu nggak tahu aja, semua lelaki itu brengsek, kamu itu terlalu bagus buat mereka!"

"Eum sorry menyela, tapi lo juga lelaki by the way," celetuk Jeno.

Jeviar kemudian bertanya dengan muka memelas. "Gue kira selama ini hubungan kita spesial, Ki."

Kirana jadi makin kelabakan soalnya Jeviar malah ikut-ikutan. "Kak, nggak—"

"Makanya jadi manusia jangan kebanyakan halu. Gini, kan, jadinya. Orang yang lo spesialkan ternyata menspesialkan orang lain. Alias lo, tuh, sadar diri dikit." Ree berkata rada nyelekit kepada oknum Jeviar. "Tapi, gue setuju sama Raki. Kiki belum memenuhi kaderisasi buat bisa pacaran."

Terus Septa sama Nindi saling pandang.

"Kenapa?" tanya Septa tiba-tiba.

Semua orang menoleh. Baru sadar ada orang lain di luar sirkel mereka yang terlibat dalam cekcok internal ini.

"Kenapa apanya?" Ree yang jawab. "Dan—sorry kalau boleh tahu lo siapa dan ada keperluan apa, ya, di sini?"

"Gue Septa," jawab Septa. Terus dia menunjuk Kirana. "Kenapa dia nggak bisa pacaran?"

Nindi menganga menatap Septa. Rada syok dikit soalnya anjir ini orang berani betul, Nindi aja rada gentar menghadapi abang-abang tiang listrik yang lagi menginterogasi Kirana kayak itu anak habis maling jemuran tetangga.

Jeviar beda lagi. Yang tadinya nggak menghiraukan manusia bernama Septa ini sama sekali jadi menelitinya dari atas sampai bawah. Tapi, dia masih berusaha tenang, tapi isi kepalanya nggak bisa buat nggak ninu-ninu. Dia kemudian menatap Kirana, terus diam-diam menghela napas capek. Kirana ini cakep, bego aja kalau nggak ada yang naksir selain dia.

"Gue rasa, gue nggak perlu menjelaskan semua itu sama lo." Raki yang dari tadi sudah melihat gelagat mencurigakan dari diri Septa nggak repot-repot bersikap sopan lagi. "Intinya, Kirana belum boleh pacaran. Titik."

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang