26. satu hari

267 42 0
                                    

Sewaktu mereka tiba di rumah sakit, di depan satu ruangan di lorong ICU tersebut terlihat padat oleh dokter, beberapa perawat, dan orang-orang yang seluruhnya nyaris dapat mereka kenali. Karina berdiri di sana, sibuk marah-marah kepada seseorang di telepon, di sisi lain Bayu—papanya Raki—tengah terdiam mendengar penjelasan dokter dengan satu lengan kemejanya tergulung ke atas, dan tangannya yang lain menahan kapas di atas bekas suntikan hasil tranfusi darah.

" ... sudah terpenuhi, kami masih belum bisa memastikan apakah tubuh pasien dapat merespon atau tidak. Ada trauma berat dalam kepala pasien karena benturan yang terjadi. Kita hanya bisa menunggu untuk saat ini, dan apabila tak ada kemajuan apa pun dalam waktu dekat," dokter menjeda kalimatnya, "kami menyerahkan seluruh keputusan sepenuhnya pada keluarga pasien, kami hanya bisa menyiapkan semua prosedurnya."

Kaki Raki terhenti saat mendengar kata-kata dokter selanjutnya mencakup, "tidak ada kepastian," "kita hanya bisa menunggu," dan, "mungkin akan lama." Ketika dokter melanjutkan, "jika pihak keluarga ingin menyerah—"

"Apanya yang menyerah?! Nggak, she'll be fine. Kenapa kita harus nyerah when all she does is wanting to live?!"

"Raki—"

Bayu mau menggapai bahu anaknya, tapi segera ditepis kasar oleh Raki. "Don't touch me."

Ada binar kejut di mata Tata mendapati nada dingin Raki pada suaminya. "Raki, what do you think you're doing?!"

"I am not going to talk with a liar, Ma." Raki berkata, suaranya bergetar menahan segala emosi yang sudah terlalu semrawut untuk dijelaskan. Matanya panas, entah oleh amarah atau air mata. "He betrays us."

Tangan Tata shaking saat mau menggapai wajah Raki. "Abang—"

Raki mundur selangkah. "Aku tahu, Ma. Aku udah tahu semuanya."

***


Siang itu Karina hanya berniat memberi tumpangan ke Kirana, sekalian membelikan kado buat itu cewek sebab Karina tahu, anak itu sedang berulang tahun.

She had no intention to make the situation being like this, but unfortunately Kirana nggak sengaja melihat papanya di seberang parkir. Kirana terkejut, karena setahu anak itu, papanya lagi ada di luar kota karena sebuah pekerjaan. And after that, the trouble comes. Dari satu mobil yang ditumpangi papanya, keluar satu anak gadis seuasia Kirana, dan seorang wanita paruh baya.

Eveything must be fine, if the girl didn't hug her father and called him 'papi' loudly.

Kirana mau nggak percaya, tapi apa yang dia lihat itu terlalu nyata untuk bisa ia abaikan begitu saja. Maka yang terbesit dalam benaknya hanyalah memastikan. Memastikan kalau semua yang ada di depan matanya adalah salah. Namun, ketika papa melihat tepat ke arah Kirana, saat mata mereka terkunci, lalu reaksi terkejut dalam gestur lelaki itu ... Kirana bertanya-tanya, apa yang mungkin lebih menyakitkan dari itu semua?

Ketika lelaki itu berpaling, Kirana tanpa pikir panjang melangkahkan kaki menuju titik di mana papanya berdiri. Matanya panas dan buram oleh air mata, tapi lebih dari segalanya, dada Kirana terasa remuk redam ketika wanita yang berdiri di samping papa mengusap tangan lelaki itu, dan dari gerak bibir juga kebingungan di matanya jelas terdengar sebuah tanya, "Kenapa, Mas?"

Kirana tahu apa yang akan ia dapati sehabis ini hanya akan semakin membuatnya sakit sendiri. Tapi, dalam hatinya masih ada harap papa dapat menjelaskan bahwa semuanya hanyalah salah paham. Bahwa apa pun yang Kirana pikirkan bukanlah kenyataan. Namun, sebelum ia menyadari bagaimana air mata sudah mengalir deras di pipinya, suara klakson entah apa itu sudah lebih dulu memecah atensi Kirana. Lalu ketika ia berpaling, yang mampu ia tangkap dengan seluruh indranya hanyalah suara-suara bising dan perasaan dingin yang ia rasakan di suatu titik setelah tubuhnya terhantam sesuatu, hingga gelap melahap kesadarannya pelan-pelan.

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang