25. gula batu

258 43 9
                                    

Kirana selalu percaya bahwa dia punya perasaan yang sama seperti anak-anak gadis lain kepada ayahnya, punya pikiran yang sama seperti apa pun bentuk kalimat pertama yang bisa seorang anak permpuan jabarkan jika topiknya adalah seorang ayah; it's the fathers whose the first love of their daughters.

Sampai dia mendengar hal itu, it's her father who send that kind of thing to her.

Kirana tak mampu berkata apa-apa. Karena dia—tentu saja tak percaya. Alasannya sederhana. Sebab Papa yang ia kenal seumur hidupnya tak akan pernah melakukan hal itu, dan kenyataan tersebut tak mungkin berubah hanya karena satu kalimat dari orang yang bahkan tak dikenal. Lalu, satu hal menghantam kesadarannya, most all of the times, all she can remember about her father is his departures.

Semakin dipikirkan, semakin Kirana takut. Bahwa di dunia ini, terlalu banyak variabel kemungkinan yang sebagiannya tak tertebak, sebagian lagi terlihat begitu jelas, tapi kita memilih buta. Dan yang ia takuti, apa yang terjadi padanya adalah yang kedua.

"Adek—oh, wow, ternyata udah bangun. How's your sleep?"

Raki menampakkan kepalanya dari sela pintu, setelah mencipta derit yang bikin Kirana sedikit tersentak. "Aku nggak mimpi."

"Itu artinya tidur kamu nyenyak." Raki manggut-manggut. "Ayo turun, kita sarapan."

Kirana tak menjawab. Sebab ia tak bermimpi, karena ia tak memberi kesempatan mimpi itu untuk datang. Malam-malam ini ia selalu sulit memejamkan mata lalu berakhir tertidur di pagi hari, dan tak sampai dalam hitungan jam, ia mesti terbangun lagi diteruskan melakukan aktivitas sepanjang hari.

Ketika Kirana turun, Raki tengah menyiapkan sereal, lalu menuangkan susu ke gelas. Dia duduk setelah menarik satu kursi, dan mulai makan dalam diam.

"Ki, nanti Ree sama Jeno bakal belajar di sini. Abang mau ke luar sebentar, nanti kalau Jeno udah sampai, tapi Abang masih di luar, telepon Ree biar dia ke sini."

"Sip, Abang."

Terus betulan saja, Jeno datang dengan ransel dan seekor kucing. Sehabis menyilakan masuk dan menyuguhkan air, Kirana pergi ke depan terus manggil-manggil Ree. Nggak berselang lama, Ree keluar dari rumah itu cowok dengan muka rikuh.

"Raki udah pulang belum, Ki?" tanya Ree.

"Masih di luar, tapi Kak Jeno udah di dalam."

Ree mengangguk, terus nyelonong masuk ke dalam rumah Kirana. Akhirnya Kirana masuk juga, tapi pas dia melihat dua cowok itu mulai mengeluarkan buku dan alat tulis, ada satu hal yang melintas di benaknya. Aneh, tumben Jeno datang nggak bareng kembarannya? Apa para Abang menyabotase pertemuan ini tanpa kabar-mengabari itu cowok, ya? Atau jangan-jangan Jeviar sakit? Wah.

Kirana naik ke kamar buat ambil ponsel, terus mengirim chat ke Jeviar seandainya itu cowok nggak tahu—atau nggak dikasih tahu bakal ada acara belajar bareng lagi.

Kirana : Kak

Kirana : Kak

Kirana : Kak

Jeviar : yaaaaa, kiw

Jeviar : *Ki?

Jeviar : Ada apa nieeee cantik

Kirana : Abang-abang lagi belajar, nggak ikut?

Kirana : Jangan-jangan nggak dikasih tahu ya

Jeviar : oh, gue tahu, kokkk

Jeviar : guenya yang nggak bisa, ki. Ada urusan bentar

Kirana : urusan?

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang