6. rumah ree

528 84 3
                                    

Agenda Jeviar di hari minggu ini adalah bertolak ke rumah Ree buat mengantar kue bolu titipan mama. Berhubung mama lagi libur kerja dan lagi gabut di rumah, jadinya mama buat camilan, sekalian buat tante Windy juga, sebab kemarin mamanya Ree sudah mengirim buah mangga, sesuatu yang rajin perempuan itu lakukan tiap kali pohon mangga di belakang rumahnya lebat berbuah.

Sampai di sana, Jeviar disambut hangat oleh tante Windy, basa-basi bentar sebab hitungannya Jeviar sudah lama nggak main ke sana karena suatu hal yang nggak bisa dia jelaskan dengan pasti. Tante Windy bilang, Ree lagi ada di teras belakang rumah. Jeviar disuruh nyamperin sembari menunggu suguhan minum dan camilan.

Di teras belakang, Jeviar langsung disambut pemandangan Ree lagi bertengger di atas pohon mangga yang lagi berbuah rimbun, hanya memakai bokser dan kaos putih doang.

"Sungguh indah pemandangan melihat monyet ada di habitat yang seharusnya," sapa Jeviar.

Ree nyaris terjengkang dari dahan pohon kalau saja dia nggak berpegangan dengan kuat. Dia mengeratkan satu tangannya yang sibuk menggondol buah mangga dengan kaosnya. "Sopan banget, ya, lo baru dateng udah ngajak berantem."

Jeviar berdecak, ia memandangi Ree yang turun lantas berjalan mendekatinya. "Tumben lo rajin metik buah mangga, biasanya juga lo lebih milih pingsan di kasur daripada capek-capek ngerjain jobdesc monyet."

"Nggak usah sok tahu ketika lo bahkan nggak pernah ke sini." Ree mendengkus, tapi matanya langsung menyipit begitu sadar ada yang janggal. "Dan itu jadi mencurigakan. Ngapain lo ke rumah gue?!"

Jeviar malah geleng-geleng kepala. "Nggak heran kalau sampai saat ini lo masih nggak ada yang ngegebet. Mulut lo, tuh, bisa dialusin dikit nggak kalau ngomong?"

"Khusus buat orang yang minta dikirim ke Konoha pakai J&T express kayak lo, lo emang pantesnya dikasarin."

"Kayak kelakuan lo bener aja."

"Seenggaknya, gue nggak pernah jalan sama cewek lain ketika jelas-jelas gue udah punya pacar!"

Jeviar senyum kecut. "Emang. Kan, lo nggak pernah punya pacar."

Ini Ree udah siap banget mengkonfrontasi Jeviar ketika sosok lainnya datang dengan baskom dan seperangkat alat ngerujak mendahului niatnya. Malah, Ree jadi ketar-ketir sendiri.

"Bang Ree, aku punya nanas di rumah, mau nggak—loh, hng, Kak Janar?!"

Mendengar nama Jeno yang dialamatkan ke Jeviar, Ree kontan meringis. Jeviar sendiri tadinya mau tersipu-sipu pas melihat Kirana datang, tapi batal sebab ternyata, itu anak masih belum bisa mengenali dirinya. Perasaan dia sama Jeno nggak semirip itu, deh?!

"Ki, namanya Jeviar, bukan Janar. Kalau Janar itu yang mukanya sangar kayak preman pasar senen, kalau Jeviar—ini, nih—" Ree menunjuk tepat di depan muka Jeviar, "yang mukanya mirip Sasori habis kecebur empang. Tapi, nggak usah diingat mereka, mah, nggak penting juga."

"Oh ... aduh maaf, aku kelimpungan soalnya susah bedain, tadi asal nebak aja," kata Kirana. "Maaf, ya, Kak Je."

Ya, Jeviar bisa apa kalau Kirana udah kayak gitu. Dia senyum aja, sih. "Nggak apa-apa, Ki. Nanti kalau sering ketemu juga bisa bedain gue sama Jeno."

"Jeno?"

Jeviar menahan diri untuk nggak balik ngegaplok Ree di saat kakinya diam-diam tengah diinjak sekuat tenaga oleh cowok itu. Dia menyembunyikan ringisannya dengan seulas senyum kaku. "Nama—nama panggilannya Janar."

"Ki, siniin baskomnya." Ree melengos terus mengambil alih baskom di tangan Kirana, lantas memindahkan semua mangga yang tadi terwadahi baju bagian depan Ree ke dalamnya. Ia buru-buru memberinya ke Kirana lagi. "Kamu masuk ke dalam aja, terus cuci mangganya di dapur. Paham?"

Second Impression ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang