Kamar bercat lembayung itu berantakan. Seprai sekaligus selimut tergeletak asal di lantai, kapuk bantal guling mengotori tiap sudut ruangan.
Meraung marah, bibir tipis tersebut tiap menit berlalu terus-terusan mengumpat. Caramel menginjak kuat bantalan sofa hingga penyek.
Cherry tidak pernah berbicara dengan nada dingin padanya. Apapun Caramel lakukan, Cherry akan mendukung walau salah apalagi tentang Alaraya, kakak tiri sampahnya itu.
Namun, akhir-akhir ini sahabat penurutnya itu layaknya menjadi sosok yang berbeda.
"Rekam medis Ceri tertera depresi bukan kepribadian ganda," ujarnya bermolong, mengingat jelas di masa lalu membaca dokumen penting Cherry letakkan sembarangan di meja dengan botol obat penenang di sebelahnya.
Caramel ingin Cherry selalu berada di pihaknya. Membelanya di depan sang papa meskipun pembelaan itu harus terselip kebohongan.
Alaraya yang menyaksikan kebersamaan mereka. Caramel sangat suka gadis sok cantik itu melihat dari kejauhan, menyiratkan sorot terluka bercampur iri.
"Sampai kapanpun lo tetap di pihak gue." Caramel mengambil figura mungil yang teronggok di ujung kasur, meremas bagian pinggirnya erat.
"Lo punya alasan benci sama anak lonte itu, dia udah rebut Jovano dari lo..." lanjutnya berbisik tajam.
***
Cherry menggeliat dengan matanya mulai terbuka. Mengerang perlahan, merasakan tubuhnya kesulitan bangun dari posisi setengah berbaring. Butuh waktu mencerna apa yang terjadi.
Langit-langit ruangan ini jelas asing bukan kamarnya, bukan juga ruang tengah tempat dia ketiduran disaat menonton film.
Tepat kepalanya menunduk, Cherry melotot lebar nyaris berteriak mendapati seseorang yang bersandar di dadanya, spontan Cherry menjambak rambut hitam berjarak sekitar sejengkal dari mukanya lalu mendorong kencang.
Perawakan jangkung itu seketika terjatuh ke lantai dengan lutut membentur sisi meja kaca.
"Cowok sialan!"
Regra merintih.
Tidak membiarkan Regra berdiri tegak, Cherry mencengkeram kaos abu-abu melekat di tubuh Regra.
"Apa yang udah lo masukin ke minuman gue?!" tanyanya setengah membentak.
Bisa-bisanya dia tertidur pulas apalagi di tempat bukan familiar, biasanya Cherry akan kesulitan, butuh beradaptasi lebih dulu.
Alih-alih mendapat jawaban justru tawa manis yang keluar, Regra memandangi sosok gadis berpenampilan berantakan di hadapannya, tanpa takut pihak lain menyambut dengan tatapan permusuhan.
Regra menunduk. Tergelitik oleh sikap Cherry yang tetap bergeming. Tidak berubah sama sekali.
Dia sungguhan tidak sabar membongkar segalanya.
Sorot mata itu kembali seperti di masa lalu, menyiratkan cinta mendalam.
Regra menggengam sejumput rambut yang terjatuh ke pundak. Kuciran rambut tidak lagi serapi tadi siang.
"Dayita." Regra berbisik halus, menikmati sosok ramping di dekatnya menegang dengan tangan gemetar kemudian, tak lama melangkah mundur.
Cherry mengerjap linglung, sudah lama sekali tidak mendengar panggilan itu atau mungkin terakhir kali ada pesan masuk tanpa nama tertulis dayita satu bulan lalu.
Kekesalan dan ingin menuntut penjelasan mengapa dia sempat kehilangan kesadaran bagaikan tersapu angin, Cherry menatap waspada Regra.
Hanya satu orang yang memanggilnya dayita.
"Dasar gila." Cherry menyahut dingin sambil meraih tas bahunya tergeletak di atas karpet. Dia harus pulang.
Berjalan tergesa ke pintu apartemen, kali ini tidak akan lagi kejadian dirinya dicegat lalu dengan bodohnya percaya begitu saja oleh ucapan Regra.
"Ini udah hampir tengah malam." Regra menyambar lengan Cherry, memaksa berhenti.
"Lepas, sialan. Gue nggak kenal lo, cowok gila!" Cherry mencoba menyentak tangan Regra, namun semakin Cherry tetap ngotot mencoba lepas, Regra justru bertambah mengeratkan.
Kulitnya sakit bahkan sekarang mulai tercetak kemerahan. Hilang kesabaran, tangan Cherry yang satu kosong menonjok kalap pipi Regra alhasil Regra terhuyung mundur.
Mengambil kesempatan Regra yang tampak kesakitan, Cherry kembali mendorongnya.
"Gue anggap kejadian ini enggak pernah terjadi, jadi tenang aja Luis gak akan sampai tau," ujarnya lempeng tepat setelah pintu terbuka lebar.
"Luis tau juga nggak papa." Memegang pipi kirinya agak ngilu Regra membalas tenang.
"Aku nggak peduli orang-orang di dunia ini, dayita. Sekarang yang aku peduli, kan, satu-satunya kamu." Regra melanjutkan disusul senyuman tipis.
Panggilan itu... Cherry muak mendengarnya.
"Padahal aku udah siap menjawab semuanya, kalau kamu kebingungan." Regra tertawa, melirik buku jari sang lawan bicara terkepal kuat. "Aku Kanigara, Gara..."
***
Cherry mengusap wajah, melangkah lemas di trotoar. Nama itu kembali dia dengar dari seseorang yang tidak Cherry kenali.
Regra Algavero, temennya Luis.
Aku Kanigara, Gara.
Dayita.
Mata yang berkabut air, Cherry mengigit ujung bibir. Regra sialan! Dasar cowok gila! Bisa-bisanya mengingatkan Cherry dengan nama itu.
"Ngapain di sini? Mana Luis?" Suara tersebut membikin Cherry mendongak kaget.
Dia mengenakan kacamata bening, rambutnya agak kecokelatan jatuh menutupi kening, netra biru terkesan jernih, tapi air mukanya detik ini tampak menahan kekesalan, tangan itu terulur menyentuh bawah mata Cherry yang basah.
Mendapati bibir pucat itu terkantup rapat, Darka menghela napas. Pada akhirnya memutuskan merangkul sang adik, berjalan bersisian di sepanjang trotoar.
"Menurut lo, apa gue pantas punya saudara?" tanya Cherry tiba-tiba.
Darka melirik aneh dan Cherry dapat mengartikannya, seolah-olah Darka kini tengah menonton alien berjoget di jalan raya.
Cherry terbahak, gilirannya mengejutkan Darka dengan memeluk tubuh laki-laki itu.
"Kayaknya gue punya kebaikan menakjubkan di masa lalu sampai-sampai punya dua kakak yang tampan." Cherry bergumam konyol alhasil Darka terbatuk kering.
****
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Figuran
FantasyBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh figuran? Berperan sebagai sahabat antagonis dan pernah satu kali menyelamatkan tokoh utama wanita diperkumpulan tawuran. Bodohnya, membiarkan badan sendiri yang terluka. Itu lah Cherry. Hidup kembali seba...