#17 Dangerous Relationship

9.4K 1.3K 6
                                    

Sebagai seseorang yang menghargai kehidupan meski jalan hidupnya penuh ranjau, tidak ada dalam rencana Cherry bakal memutuskan bunuh diri sewaktu-waktu. Kematiannya harus ketetapan takdir, masa hidupnya memang sudah habis.

Diberikan kesempatan kedua setelah tewas tertimpa atap halte lalu dengan segala kejadian aneh yang lain, dia mustahil menyia-nyiakan semuanya.

Jadi, saat Regra meremas batang lehernya dengan tatapan ingin membunuh, Cherry spontan mencengkeram lengan Regra sejengkal di bawah dagunya.

"Hah ... lepas, ugh. Gue bersumpah ... benci lo ... kalau cekikan ini, ninggalin ... bekas." Cherry berbicara gagap dengan bola mata berair.

Dua detik kemudian, Cherry terduduk keras di lantai secara bersamaan kakinya tremor hebat.

Hanya keheningan yang terjadi, bermenit-menit lamanya. Jika gadis berperawakan ramping itu tengah bersandar di tembok berdebu, bermaksud menenangkan dirinya dari debaran jantung yang sempat menggila, maka lain halnya Regra berdiri tegak, raut wajah Regra teramat datar.

Air mata Cherry berjatuhan. Jujur saja dia sakit hati oleh ucapan Regra dan itu aneh, Belum lagi kesal karena ancaman si bajingan Jovano dan dirinya tidak mampu berbuat apa-apa sekarang.

Secepatnya Cherry akan memikirkan rencana untuk membungkam mulut Jovano.

"Lo, nyesel aja sampai mampus sana." Cherry tertawa hambar sambil beranjak. "Kalaupun kedatangan gue emang di dunia ini berkat lo, gue mana sudi berterima kasih atau nurut semua kata-kata lo!" lanjutnya membentak nyaring.

Cherry tidak kaget dengan Regra mendadak menahannya yang hendak pergi, sesuai kepribadian laki-laki ini suka memaksa. Tubuh depan Cherry kembali membentur dada bidang Regra.

"Maaf, aku emosi. Maaf, dayita." Regra berbisik serak disusul sepasang tangan tersebut membelit lebih erat pinggang Cherry. "Aku enggak menyesal..." Perasaan Regra langsung kacau balau mendapati gadis dalam pelukannya tetap diam.


 
  

***




Regra mengecup satu-satu jemari lentik Cherry, sebanyak apapun merapalkan maaf tidak ada balasan berarti. Bibir pucat itu benar-benar terkantup rapat hampir satu jam lamanya.

"Sekarang kamu di rumah aku, dayita, bukan griya tawang." Regra menelan ludah beralih menggengam lembut punggung tangan Cherry. "Jadi, sebentar lagi Papa datang. Aku bakal kenalian kamu, boleh, kan?" tanyanya.

Cowok remaja bermata coklat gelap itu mengira bakal gila-gilaan lama-kelamaan karena sang lawan bicara bertingkah seperti patung. Menarik napas, Regra mencoba tenang.

Ada begitu banyak alasan mengapa Cherry tidak mudah percaya, seharusnya Regra memaklumi dari awal.

Posisi masih menekuk kaki, Regra menjatuhkan kepalanya di paha Cherry yang duduk di sofa tunggal.

"Maaf, aku gak bisa jadi Kanigara yang dulu," ujarnya lirih sambil terpejam.

Cherry menunduk, kukunya bergerak perlahan menyusup ke rambut lebat Regra kemudian.

"Bisa-bisanya gue sakit hati sama omongan lo, padahal itu bukan gue banget. Luar biasa prik. Ya, gue murahan terus tolol," tutur Cherry lempeng.

Regra tertegun. Rasa bersalah semakin menumpuk tinggi layaknya gunung, ingatan Regra mulai mengenang masa lalu.

"Jangan di ingat. Kamu sama sekali nggak murahan. Aku terlanjur emosi tadi." Regra mendongak, menekan tiap kata terucap.

"Kayaknya gue bakal ingat itu sampai seratus tahun ke depan." Cherry menyahut main-main, namun pipi itu untuk kedua kali kembali basah. "Mungkin, karena gue sempat percaya kalau lo itu Gara," sambungnya pelan.

Satu tangan Regra terkepal kencang, suaranya agak gagap menjawab kemudian. "Aku emang Gara, dayita. Tapi, maaf ... aku nggak bisa lagi jadi Kanigara yang kamu kenal dulu." Regra beralih menangkup pipi Cherry hati-hati.

Mata berbeda warna saling tatap, untuk kesekian kali tak ada yang bersuara, tanpa tahu diam-diam para pekerja rumah besar itu, mencuri kesempatan melirik tercengang, mendapati Tuan Muda mereka sungguhan bersama seorang gadis.









***








Menjelang pukul delapan malam, barulah tiba di parkiran restoran pusat kota, menyapu pandangan ke sekitar kala keluar mobil lalu perhatiannya berhenti ke satu titik. Telapak tangan yang terulur terabaikan begitu saja, hingga laki-laki berkemeja biru dongker menunjukkan tampang merengut.

"Aluna!"

Mendengar nama itu dipanggil Caramel tiba-tiba membuat Levi terkejut, berikutnya Levi berbalik cepat. Tanpa bertanya pun dia sudah tahu tujuan Caramel.

Dua orang selalu membuat keributan di sekolah, benar-benar berjalan menghampiri Levi kini.

"Makasih, udah nerima undangan double date gue." Caramel tersenyum manis, melirik sosok berwajah rupawan di sebelah Aluna kemudian.

"Kalian beneran pasangan serasi, Sehan. Seharusnya emang kaya gini, kan? Raja pantasnya bersanding sama Ratu!" sambung Caramel serius.

Sehan mendelik tajam disusul Levi yang membuang muka, batinnya mengumpati tingkah laku Caramel sengaja memprovokasi.

Aluna tertawa, pelukannya pada lengan sang calon tunangan mengerat. "Ya, bukan sama babu rendahan itu aliasnya kakak tiri lo, Cara," balas Aluna ketus.

Menyadari Caramel hendak kembali menyahuti, Levi buru-buru berkata. "Tempatnya udah aku reservasi, jadi daripada kita berdiri lama di sini lebih baik masuk sekarang." Secara bersamaan Levi merangkul pinggang Caramel.

"Jangan sampai acara malam ini hancur cuma karena kalian membahas satu nama, sayang." Satu tangan Levi yang lain di balik punggung mengepal.

Bisa-bisanya Caramel mengundang orang lain di acara mereka malam ini, apalagi sampai membicarakan sahabat kesayangannya.

Caramel cemberut, mau tak mau patuh. "Jujur aja, sebuah penghormatan gue bisa satu meja sama kalian berdua." Setidaknya itu Caramel katakan sebelum mereka berjalan bersisian.

Suasana hati Levi telah sepenuhnya memburuk, telinganya sakit mendengar celotehan kedua gadis tersebut. Jika posisinya tidak bersandiwara, dia pasti akan menarik kasar taplak meja.








***









"Luis emang pergi ke luar kota sampai empat hari ke depan, karena ada turnamen basket, jadi kamu di rumah sendirian," ujarnya usai mengintip layar ponsel berada dalam genggaman Cherry.

Cherry bergeser mundur dengan ekspresi kesal, sikapnya yang tidak hati-hati itu alhasil punggungnya menabrak gerbang besi di belakang.

Regra tertawa. "Cepetan masuk atau kamu mau aku berubah pikiran," seloroh Regra sembari mengerling licik.

Dengan pelototan galak, Cherry berujar sinis. "Kan, udah gue bilang berhenti ngomongnya pakai aku-kamu, gue risih." Telunjuk Cherry mengarah tepat sejengkal dari wajah Regra. "Gerak-gerik lo ini keliatan sales mesum. Dasar menjijikkan!" lanjutnya agak membentak.

Alih-alih tersinggung Regra justru mengukir senyuman tipis.

"Oke, kalau itu mau lo." Regra melangkah maju, ujung matanya sejenak melirik CCTV terpasang di tembok sisi gerbang. "Soal ancaman Jovano, mari kita susun rencananya malam ini juga..."












****









Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Cuma FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang