Cherry cepat memahami situasi, untuk sekarang dia perlu bersandiwara. Menikmati semuanya, menganggap yang terjadi berkah, bukan musibah. Mungkin di kehidupan dulu, dia punya kebaikan mengharukan hingga sang pencipta memberikan kesempatan.
Pemikiran itu setengah jam lalu di mana Cherry masih berbaring nyaman di kasur empuk, menikmati harum pewangi lavender memenuhi isi ruangan.
Di pagi buta pintu kamarnya sudah terbanting keras disusul kemunculan gadis bertubuh mungil berlari mendekat, tanpa bisa Cherry cegah, karena dia sibuk menormalkan jantungnya yang berdebar terkejut.
Caramel menyeretnya ke kamar mandi, memaksa Cherry bersiap-siap ke sekolah, mengoceh berisik bikin telinga pengang.
"Kamu mau ke mana?" Rencananya ingin pergi menggunakan mobil Caramel harus batal karena ban mobil gadis itu kempis, di halaman rumah besar nuansa putih gading langkah kaki keduanya di hentikan oleh pertanyaan tersebut.
Cherry berdiri diam, melirik Caramel di sampingnya menampilkan raut wajah sebal setiap berhadapan dengan protagonis cewek, Alaraya. Kakak tirinya Caramel.
"Ke rumah temen, si anjing. Puas lo? Minggir." Caramel menjawab agak sewot.
Cherry mendengarnya refleks mengeplak lengan Caramel, bisa-bisanya mulut itu mengatainya. Mobil Caramel yang kempis maka punya Cherry sebagai gantinya.
Di sisi lain gue gak bisa nyetir, mau gak mau mikirin alasan masuk akal biar nih antagonis kedua nggak curiga.
Cherry membatin resah, tatapannya kembali tertuju lurus pada Alaraya. Kesekian kali terpana, melihat rupa dan bentuk tubuh protagonis cewek bagaikan dewi.
Alaraya sama sekali tidak tersinggung, menegaskan bahwa dia telah terbiasa reaksi Caramel yang sensian.
"Kalian berangkatnya sama aku."
"Terus bertiga naik motor, lo kira kami cabe-cabean."
Caramel melotot jengkel sementara Cherry tidak tahan lagi menyaksikan perdebatan kecil ini, terlebih Caramel seperti menyimpan banyak bacotan.
"Gara-gara nyokap lo, gue berasa melarat. Kunci kendaraan di garasi hampir semuanya mama lo pegang. Dasar si lon---"
Cherry segera membekap mulut Caramel sambil berbisik. "Ingat, pacar lo Levi, pasti udah nungguin di parkiran sekolah."
Benar saja. Raut wajah Caramel berubah semringah dan Cherry merasa bangga dengan ingatannya tentang pawang Caramel yang pernah tertulis di novel. Namun, sayangnya menjelang akhir cerita, fakta menyedihkan diketahui oleh antagonis kedua sendiri.
***
Cherry menganga sejenak, tidak menyangka akan menonton perbuatan tidak senonoh meskipun lingkungan sekitar masih terkesan sepi, tetap saja Cherry jijik. Ingin sekali dia melemparkan kerikil di kepala pasangan itu supaya waras.
Kala hendak pergi lebih dulu kemudian, pergelangan Cherry mendadak di pegang. Cherry menatap datar Caramel.
"Mau ke mana?"
"Yang pasti gue nggak mau jadi obat nyamuk, silahkan lanjutin ciuman panas kalian."
"Tap---"
"Akhirnya sadar juga lo."
Cherry melirik lempeng sosok cowok berperawakan tinggi besar di hadapan Caramel yang tersenyum mengejek.
"Kamu jangan kaya gitu sama Cherry." Caramel menyikut perut Levi. "Jangan marah, gue cu---"
"Cherry Analema!"
Ketiganya kompak menoleh ke sumber suara. Kalau Caramel sudah kesal perkataannya di sela kembali, maka Cherry tertegun.
Luis!
Cherry butuh banyak penjelasan dari sosok yang kini menjadi saudaranya. Mengapa dia menetap sendirian di rumah sebesar itu.
Jangan sampai Luis curiga, cara bicara lo perlu hati-hati nanti.
Cherry makin menegak saat Luis berjalan mendekat. Netra biru itu seolah-olah mampu membekukan orang lain.
Tatapannya teramat menusuk, membuat Cherry berpikir ... apa dia kemarin sempat menyinggung Luis.
"Lo enggak bisa terus-terusan memonopoli adik gue atau jadi ekor lo, Cara!" Luis berujar ketus sembari menyentak genggaman Caramel di pergelangan Cherry.
Untuk kedua kali Cherry melongo, lain halnya dengan Caramel yang melotot lebar sedangkan Levi detik berikutnya sengaja menggandeng Caramel menjauh.
***
"Kenapa gue tinggal sendirian di rumah sebesar itu, lo ke mana sampai-sampai nggak pulang. Katanya cuma bentar, dasar penipu ulung!" Cherry tanpa sadar mengomel, pengendalian dalam dirinya gagal total.
Luis mengerjap, memiringkan kepala. Satu jitakan lalu mendarat di kening Cherry sampai pekikan protes memenuhi taman sekolah yang senyap.
"Lo aneh," ujarnya.
Cherry mencoba menyembunyikan kegugupan. Mengusap kening secara bersamaan dia membuang muka.
"Anggap aja ingatan gue sedikit terganggu," bisik Cherry.
"Yang ada saraf lo yang terganggu." Luis merogoh sesuatu dari saku celana dan meletakkan paksa ke telapak tangan Cherry kemudian.
Cherry mengamati heran botol kecil setinggi telunjuk tersebut, mendekatkan ke wajah, membaca tulisan tinta hitam yang tertera di sana.
Ekspresi gadis bermata bundar itu langsung muram. "Gue enggak gila!" katanya tegas, mendongak. Mungkin yang gila lo maksud itu Cherry Analema bukan gue, nama gue sekedar satu kata. Asal lo tau. Cherry melanjutkan dalam batin, perasaan gusar menetap di lubuk hati.
Dia tersinggung.
Entah, sisi emosional siapa? Cherry Analema atau dirinya yang memasuki tubuh ini.
"Jadi, gue sama sekali nggak butuh obat sedatif." Cherry berniat mengembalikan, tetapi gerakan Luis keburu cepat menahan.
"Jangan lupa di minum." Cowok itu bersikap tuli sekaligus buta dengan wajah Cherry yang memerah.
Luis berbalik, pergi meninggalkan Cherry di bangku pualam taman.
Awalnya memang begitu, namun sepuluh detik kemudian Cherry berlari menyusul. Sekitar lima langkah di belakang cowok jangkung itu, Cherry melempar botol tengah tergenggam tepat ke kepala Luis.
Obat mungil berhamburan di lantai koridor, termasuk mengenai sepatu sosok bermasker yang baru menginjakkan kaki di undakan tangga terakhir.
****
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Figuran
FantasíaBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh figuran? Berperan sebagai sahabat antagonis dan pernah satu kali menyelamatkan tokoh utama wanita diperkumpulan tawuran. Bodohnya, membiarkan badan sendiri yang terluka. Itu lah Cherry. Hidup kembali seba...