#15 Antagonis Yang Merasa Dirinya Protagonis (b)

9.7K 1.4K 0
                                    

Lagi-lagi reaksi Alaraya yang justru berdiri diam membuat Levi paham bahwa keinginannya kembali ditolak. Tanpa tersambut baik, perasaan agak kesal sekaligus kecewa bersarang dalam hatinya kemudian.

Harga dirinya berhasil tercoreng. Alaraya tidak pernah menolak, jika dia meminta sebuah pelukan bahkan tak bersuara pun Alaraya selalu paham. Alaraya benar-benar menjaga jarak semenjak tahu adik tirinya menyimpan perasaan padanya.

Atau mungkin masih banyak alasan lain hingga ditiap kesempatan menggeleng mentah-mentah.

"Gue kangen." Levi berjalan maju, buku jarinya terkepal. "Seandainya... seandainya, gue lebih cepat pasti sekarang lo udah punya gue, bukan si Sehan sialan itu." Levi berujar dingin.

Alaraya terkesiap sesaat, belum sempat berlari hendak kabur, tangan kirinya lebih dulu disambar cepat disusul punggung gadis itu membentur pelan meja dapur.

Levi tersenyum tipis.

Alaraya langsung tegang dengan matanya sesekali melirik waswas pintu masuk ruangan.

"Kamu gila?!" Alaraya mendesis gagap sembari berusaha melepaskan cengkeraman Levi yang beralih ke pundaknya.

"Lo takut Caramel lihat." Levi terbahak hambar lama-kelamaan sengaja makin menyudutkan Lara. "Malah baik, siapa tau dia mengulangi kejadian satu tahun yang lalu, mau bakar lo hidup-hidup." Jemari Levi mengusap hati-hati pipi Alaraya.

Gadis berperawakan ramping dengan rambut kecoklatan ujungnya bergelombang itu sontak gemetaran kala merasakan embusan napas Levi menyapa wajahnya.

"Padahal tinggal sedikit lagi, tapi lo maksa gue mundur. " Levi berbisik. "Kita bisa aja lanjutin hubungan kita kaya dulu." Nada suaranya terdengar geram sewaktu-waktu bisa saja meledak.

Alaraya terpejam. "Lupain yang dulu, Levi, itu cuma ... cinta monyet bocah sd. Aku udah lupa." Alaraya mengungkapkan gagap.

Levi seketika mematung lama, kesempatan tersebut diambil Alaraya dengan mendorong tubuh tinggi di depannya sampai termundur selangkah, bibir terbungkam rapat, Alaraya berlari tergesa keluar dapur.



***






Menghadap meja rias, Caramel menyisir rambut panjangnya sesekali bersenandung merdu. Lewat pantulan kaca, Caramel memandangi sang kekasih yang duduk melamun di ujung ranjang.

Meja dengan kursi awalnya berada dekat jendela, dipindahkan ke tengah ruangan, di mana meja bundar itu terdapat nampan makanan dan kudapan manis belum tersentuh sedikit pun.

"Kamu enggak usah nungguin aku, jadi kalau lapar duluan aja." Ucapan Caramel bikin Levi tersentak kemudian.

Levi menoleh pada detik itu juga telunjuk Caramel mengarah ke meja dibalas jawaban berupa gelengan, Levi lebih memilih melangkah menghampiri, tanpa bicara, sepasang tangan cowok remaja tersebut melingkari perut Caramel.

"Aku cinta kamu, Cara." Levi berkata halus, mencuri kesempatan mengecup pipi gembil Caramel bergantian.

Caramel tertawa, jari lentik Caramel lalu memainkan rambut Levi yang menempelkan dagu ke pundak kanannya.

"Kalau sikap kamu mendadak manja kaya gini, pasti kamu minta sesuatu yang mengarah ke sana." Masih sisa gelak tawa yang mulai memelan, telapak tangan Caramel menahan kepala Levi, menghentikan gerakan Levi berniat mencium tulang selangkanya.

Tali jubah mandi terikat asal-asalan itu sudah sepenuhnya terlepas hanya sekali tarikan alhasil jubah mandinya nyaris melorot ke lantai, namun Caramel terlalu gesit ikut menahan.

"Apa maksud kamu dengan kata mendadak, secara nggak langsung kamu bilang aku mesum!" Levi protes.

Caramel mengangkat alis. "Kamu lagi punya masalah ya? Soalnya kamu agak beda hari ini." Balasan yang jauh dari dugaan membuat pihak lain tertegun.

Levi hilang kata agaknya raut wajahnya terbaca jelas oleh Caramel.

"Pas aku mandi tadi kamu ke lantai bawah, kan? Ada apa di sana?" Caramel memicing curiga.

Levi berdehem. "Mama nelpon," ujarnya memberitahu. "Minta aku syuting, kamu tau sendiri aku fokus sekolah." Diam-diam batin Levi tergelak geli dengan kebohongannya sendiri.

Caramel percaya dan Levi suka itu. Pacarnya ini terlalu mudah teperdaya. Gemas, dia mengangkat tubuh mungil Caramel lalu menggantikannya yang duduk di bangku.

"Padahal kamu punya tiket emas jadi aktor, jalur orang dalam." Caramel memeluk leher Levi, mencari posisi nyaman di pangkuan Levi.

Levi tidak menyangkal karena itu benar adanya. "Yang aku lihat dari Mama sejak jadi selebritas, privasi Mama terganggu, kamera di mana-mana. Paparazi kelas kakap yang menggila..." Levi mencium lembut puncak kepala Caramel.

"Alasan masuk akal." Caramel menyengir. "Kita makan dulu soalnya aku lapar, masih ada waktu kalau kamu mau yang itu." Mata Caramel berkedip genit.

Levi bergumam mengiyakan, bibir mengulum senyum, Levi membiarkan Caramel turun dari pahanya kemudian.





***






Kening Regra berkerut dalam dengan satu tangan memegang gelas kopi, tatapannya fokus pada layar di tab. Bertanya-tanya mengapa lingkaran merah kecil itu berkedip-kedip di satu titik.

Kenapa dia dipinggiran kota? Membatin linglung, satu jari Regra lalu menyentuh layar menunjukkan tempat lokasi lebih jelas.

"Gue pengen ke sini, putar balik mobilnya." Regra menoleh sambil melempar sembarangan tabletnya ke sosok laki-laki yang duduk di balik kursi kemudi.

Ibra berdecak lirih. "Tidak bisa, Papa anda sudah menunggu di rumah!" Penolakan bernada tegas tersebut berhasil membuat rahang Regra mengeras.

Mengacak rambut frustasi, Regra memandangi lurus Ibra. "Persetan dengan Papa, gue khawatir sama dayita ... maksudnya Cherry. Alat pelacak itu nunjukkin dia di kawasan pasar yang udah lama ditinggalin, bangsat!" Regra membentak kesal.

Alih-alih tersinggung atau selayaknya asisten pribadi penurut, Ibra malah tetap melanjutkan laju mobilnya.

"Kamu harus menemui Papamu dulu, baru setelahnya gadis kamu panggil dayita itu. Jangan lupa, Regra. Aku lah yang membawa jiwanya ada di dunia ini." Cara bicara Ibra sepenuhnya berubah, sarat akan teka-teki.











****







Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Cuma FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang