#22 membasuh luka hati (a)

7.8K 1.1K 7
                                    

Levi memegang lengan kanan Cherry memaksanya berhenti mengambil langkah, tanpa kesusahan Levi membenturkan punggung Cherry ke dinding kayu. Dia adalah seorang pendendam, harga dirinya berhasil Cherry lukai dengan kata-kata pedas yang sempat gadis itu lontarkan.

"Setau gue, lo ini cewek kalem." Dia mencengkeram dagu Cherry mengambil kesempatan kondisi Cherry yang tampak kurang fokus.

"Beberapa jam lalu minuman yang gue kasih ke lo itu gue tetesin racun, cuma sedikit kok. Sama sekali nggak bahaya. Palingan bikin lo lemes," katanya memberitahu.

Siapa yang menduga usai Levi berbicara, dua detik kemudian satu tinjuan menghantam rahang Levi. Tidak terlalu sakit, tapi setidaknya berhasil membuat Levi terkejut.

"Taik." Cherry menepis tangan Levi, bergeser menjauh membentuk jarak. Mata biru tersebut melirik dingin.

Levi mengusap rahangnya seiring buku jari terkepal, memandangi sosok gadis itu yang telah berbalik memunggungi, kemungkinan tidak jadi ke tempat tujuan awal, hendak ke kamar Ryla.

"Sini, gue bantu lo jalan."

"Gue tau niat jahat lo, sialan."

Levi bersiul pelan lalu tersenyum samar, tetap ngotot berdiri di samping Cherry, lagaknya bersiap membantu Cherry yang beberapa kali mau jatuh.

"Jangan sentuh-sentuh gue," katanya bernada geram, kembali mundur dengan delikan sayu. Mata itu mengerjap-ngerjap, mencoba mengusir buram lagi-lagi datang.

"Karena gue udah punya pacar dan dia bukan orang sembarangan!" sambung Cherry.

Levi terdiam pada detik yang sama Cherry berlutut lemas di lantai. Levi hanya mematung begitu lama, tanpa berniat membantu saat gadis di hadapannya mulai kesusahan bernapas.


***




Dalam tidurnya, dia memandangi bagaimana bahagianya bersama Gara. Kepercayaan itu terbentuk seiring mereka selalu bersama, dua tahun berteman dekat, lalu pada tahun ketiga berubah menjadi sepasang kekasih.

Barangkali kala itu bernasib nyaris serupa, yaitu sama-sama anak yatim piatu. Jika Gara masih punya dua sepupu perempuan begitu menyayangi Gara, maka Cherry diusir kasar dari rumah mendiang orang tuanya sendiri.

Kanigara sosok yang baik sekaligus hangat. Kanigara pantas disebut bendera hijau berjalan dengan Cherry merasa sangat beruntung sebagai pacarnya.

Namun, semuanya tidak lagi indah saat di tahun keempat, di mana waktu itu mereka masih remaja berseragam putih abu kelas sebelas ... Gara mulai bersikap janggal, tiap Cherry bertanya, Gara selalu pandai mengelak. Entah itu mengalihkan pembicaraan atau tiba-tiba memeluk tubuhnya.

Air mata Cherry mengalir, seandainya masa itu dia tidak gampang luluh sikap manis Gara dan lebih banyak merecoki dengan pertanyaan bawel, bisa jadi dirinya mendapatkan jawaban jujur Gara.

Sama sekali tidak berakhir terluka. Cherry juga ikut salah di sini, seharusnya tak perlu menghakimi Gara. Gara masih belum percaya padanya itu saja walaupun mereka telah bertahun-tahun bersama.

"Cery, Cery! Bangun!"

"Jangan teriak dekat kuping adik gue!"

"Oh, sori."

Jika tidak ada suara berisik itu sudah pasti Cherry tetap dalam mimpi berselimut duka, mata basahnya terbuka perlahan dengan erangan lirih menyusul.

Tangan kanan tengah Luis genggam yang kini bersimpuh tepat di sisi ranjang, lama-kelamaan Cherry terbiasa melihat riak khawatir dari mata Luis.

"Bukannya lo ikut turnamen basket?" Cherry menyambut kuyu tatapan Luis, kening berkerut heran. "Ini kita di mana? Masih di kota summer, kan?" Sementara batin Cherry mengumpati tindakan Levi yang telah meracuninya hingga dia harus berbaring lemah seperti sekarang.

"Kita udah balik ke kota, semuanya kacau pas lo pingsan terus kejang-kejang. Sumpah, gue panik banget belum lagi Ryla nangis." Bukan Luis yang menyahuti, tapi Caramel. "Untung aja ada Levi, dokter bilang lo keracunan makanan." Caramel mengusap dahinya yang berkeringat dingin saking dibuat ketakutan sepanjang perjalanan.

Cherry berkedip, memutuskan bungkam membiarkan Caramel dengan segala pemikiran baiknya tentang Levi.

"Turnamennya udah selesai." Luis berbisik sembari mengelus rambut pirang sang kembaran. "Kami menang." Dia mengecup sebentar punggung tangan dingin Cherry.

Entah mengapa satu nama terlintas di benak, suasana hati sentimental, Cherry menyambar lengan kanan Luis, menahan gerakan Luis yang hendak bangun.

"Gue pengen ketemu Regra." Cherry menelan saliva. Air bening mengalir lebih deras, mengabaikan Luis tampak kaget, Cherry melanjutkan memohon. "Tolong, minta Regra ke sini."








****



Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Cuma FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang