" Aduh capek juga lari ya. Ngomong-ngomong Dafhin lagi kesurupan atau gimana ya? " gumamnya dalam hati. Ia menoleh ke arah belakang dan tak melihat Dafhin berada. Mungkin ia lari terlalu jauh, saat ia hendak menghadap tiba-tiba ia dikagetkan oleh sahabatnya itu.
" Astagfirullah... Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta'khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa'u 'inda Huu, illa bi idznih, ya'lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min 'ilmi Hii illaa bi maa syaa', wa si'a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal 'aliyyul 'adziiim. " seketika bibir Rania spontan membaca doa ayat kursi. Takut-takut itu bukan sahabatnya, selesai membaca doa itu. Ia membuka kelopak matanya pelan-pelan dan alhamdulillah hilang. Baru lima langkah berjalan, Dafhin muncul dan membuat dirinya terkejut kembali.
" Gak lucu tahu! " omelnya.
" Lah siapa juga yang ngelawak, lagian lo ngapain baca doa ayat kursi? " ucap Dafhin cuek.
" Tadi Rania liat ada yang muncul di depan, terus ditambah lagi kamu kek kesurupan. " jawabnya ketakutan.
" Enak aje lo bilang, gue kagak kesurupan. Terus yang di depanmu itu tadi gue, bukan syaiton. Ganteng-ganteng gini disangka setan lagi. " jelas Dafhin sambil menata rambutnya itu.
" Idih pede sekali, lagian kamu kenapa jadi aneh sih? " pertanyaan yang Rania lontarkan pun diulang.
" Itu salah lo, segala ngehindar makanya gue kesal. " jawab jujur.
" Oh itu... Itu karena... " belum Rania selesai ngomong, Dafhin langsung menyuruh sahabatnya itu berhenti bicara.
" Gue udah tahu. " singkat, padat, dan jelas.
.
.
.
Sekitar jam 5 sore, Rania mendapat pesan dari Dafhin yang berisikan mengajak ia keluar beli makanan bareng. Ia menerima ajakan sahabatnya itu, habisnya kalau ditolak takutnya makin menjadi-jadi ya meskipun Rania masih trauma sih. Mereka berdua jalan bersama tapi yang pastinya saling menjaga jarak, mengingat bukan mahramnya. Di saat sedang menikmati langkah demi langkah, Dafhin membuka topik duluan.
" Rania, kalau suatu saat ada yang lamar kamu. Kamu terima gak? " tanya Dafhin, Rania yang mendengarnya sedikit bingung ini temannya kemasukkan apa lagi.
" Sehat? " tanya balik Rania.
" Gak, gue udah gila. " jawabnya ngawur.
" Ada ya, orang gila ngomong gila. " ujar Rania yang membuat Dafhin kembali ngambek.
" Dasar anak mami. " ledek Rania.
" Ya emang gue anak mami. " jawab Dafhin sambil menjulurkan lidah.
" Dafhin jelek kalau gitu tahu. " ucapnya jujur.
" Biarin, jelek-jelek gini calon suaminya Rania. " Dafhin menutup mulutnya rapat-rapat karena dia keceplosan.
" Ini mulut bisa gak sih jangan bocor. " batin Dafhin.
" Apaan sih Dafhin, ngomongnya jadi ngelantur ih. " Rania mempercepat langkah kakinya dan menuju ke tenda pecel lele.
Dafhin pun mengikuti Rania, sambil menunggu pesanan datang Dafhin kembali membuka topik lagi.
" Pertanyaan aku belum dijawab. " ucapnya. Tapi Rania pura-pura tidak dengar, karena dia malas kalau ngomongin yang belum ingin ia bahas.
" Rania denger gak sih? " mulailah sifat ngambeknya muncul.
" Apaan sih Daf? " dengan suara malas.
" Ih kok kamu yang ngambek sih, harusnya aku yang ngambek bukan kamu. " komen Dafhin.
" Kamu bawel ih, ok Rania jawab nih. Kalau ada yang melamar Rania duluan, Rania akan mempertimbangkan kembali. Meskipun itu laki-laki udah kenal banget sama aku tapi Rania harus memikirkannya matang-matang. Jadi Rania gak mau asal terima lamaran orang. " jelas Rania.
" Oh gitu, walaupun nanti aku yang melamarmu. Kamu bakalan mempertimbangkannya juga? " tanya Dafhin penasaran. Namun pertanyaannya tidak Rania langsung jawab, karena tanpa mereka sadari pesanannya sudah matang dan segera mengeluarkan uang sesuai nominal harganya. Setelah agak menjauh dari tenda itu, Rania langsung menjawab pertanyaan Dafhin.
" Iya, dah ah jangan bahas itu. Ntar nambah ngaco kamu. "
Di jalan menuju kost mereka, Dafhin terus bertanya hal-hal berbaur jenjang nikah. Jujur ia malas menjawab semua pertanyaan dari laki-laki itu. Ia berharap segera sampai di kost putri, agar ia tak perlu mendengar kembali pertanyaan itu.
" Alhamdulillah. " ucap Rania lega.
" Kok alhamdulillah? " tanya Dafhin.
" Alhamdulillah sudah sampai di kost putri, jadi aku sudah tidak perlu mendengar pertanyaanmu yang tidak jelas itu. " jawabnya bangga.
" Hm. " deheman Dafhin yang kesal.
.
.
.
Sesampainya di kamar kostnya, ia bersyukur kepada Allah karena sudah mempercepat langkah kakinya. Ia pun melakukan aktivitas seperti biasanya sampai jam 9 malam. Selesai belajar, ia mendapat pesan dari Dafhin yang masih membahas hal seperti itu.
" Aku kangen Kak Emran ya Allah... Jika ia memang jodohku dekatkanlah, jika bukan coba dicek lagi. " batin Rania. Ingin berkata jujur kepada temannya itu, kalau Rania sudah mengagumi sosok pahlawannya itu. Tapi ini bukan waktu yang tepat, dan Rania juga tak mau menyakiti hati temannya itu.
" Maaf ya Dafhin, sepertinya cintamu bertepuk sebelah tangan. " batinnya.
Tak sadar ia tersenyum ketika Dafhin berhenti mengirim pesan kepadanya, mungkin dia sudah nyerah. Tapi dipikir-pikir lagi, Dafhin ini bukanlah orang yang mudah menyerah. Rania akui Dafhin itu paket super komplit tapi dibandingkan dengan Emran, Emran lah paket super duper komplitnya meskipun mereka jarang atau bahkan tidak pernah bertemu kembali.
Happy reading, readers!
Tetap tersenyum meskipun doi tidak peka:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Prayer
Teen Fiction"Aku akan memohon kepada Allah untuk berjumpa denganmu dua kali, sekali di dunia ini dan sekali lagi di surga." Raina, perempuan shalihah yang mencintai seseorang dalam doa. Ia sama sekali tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada Emran dan dia...