Gracia memejamkan matanya sebentar untuk meredakan emosinya setelah melihat apa yang Anin sodorkan padanya. Beberapa butir obat yang ia genggam erat adalah obat yang sangat ia kenali jika ia butuh mengkonsumsinya.
"Kak Gre, kita nggak bisa biarin ini terjadi terus menerus kak. Aku nggak tega liat Shani kayak gini." ucap Anin bergetar. Tanpa Anin sadari, ia menitikkan air matanya karena hal yang paling menyesakkan bagi Anin setelah kematian orang tuanya adalah melihat Shani terluka fisik dan batinnya tanpa ia bisa berbuat banyak.
"Kamu tau kan Nin, Shani sekeras apa kalau sedang dalam dunianya sendiri?" tanya Gracia keras menatap kosong Shani yang tak bergerak sama sekali padahal suara Anin begitu nyaring.
"Kenapa Shani nggak pernah berubah sih dari dulu?" ucap Anin. Kini keduanya duduk bersebelahan di sofa kamar Shani.
"Maksud kamu?" tanya Gracia bingung. Baginya Shani sudah berubah. Terutama sejak Shani mengenalkan cinta pertamanya padanya. Ia merasa sudah begitu jauh dengan Shani apalagi Shani sebagai siswa berprestasi menjadikan Shani sibuk lebih darinya.
"Setiap Shani ada apa dia selalu pendam sendiri, dia cuma mau jadi pendengar baik buat orang lain tapi dia seakan gak peduli kalau dia juga butuh orang lain buat jadi pendengar dia." miris Anin jika mengingat masa lalunya bersama Shani yang tak pernah menjadi bawel.
"Mungkin itu cara dia untuk tenang." balas Gracia tenang. Ia hanya berusaha berpikir positif bahwa Shani takkan sebodoh itu untuk melakukan tindakan nekat diluar batas.
"Kakak udah pernah coba buat bujuk Shani cerita?" tanya Anin kini menoleh ke arah Gracia.
"Udah beberapa hari ini dia udah bangun lebih pagi dari aku jadi aku gak pernah tau dia melewatkan sarapan atau tidak." jelas Gracia yang selalu tak pernah melihat Shani di setiap paginya. Sesedih atau sekecewa apapun pada masalahnya Shani tetap berusaha memperhatikan kesehatan Gracia dengan membuatkan sarapan sederhana meski Gracia tak tau apakah Shani sudah sarapan atau belum sebelum berangkat ke rumah sakit.
"Apa kakak pernah peluk Shani lagi hanya untuk sekedar menguatkan hatinya?" singgung Anin membuat Gracia terdiam.
💫💫💫
Siang yang terik tak menyurutkan semangat seorang gadis tomboy memasukkan bola basketnya kearah ring tapi selalu mengarahkan ke arah yang lain bahkan memantul ke arah seseorang ia kenal.
"Kalau kamu emosi, bola itu nggak pernah masuk." ujar seseorang itu yang sebelumnya berhasil menangkap pantulan bola basket yang mengarah kepadanya.
"Ka Anin? Ngapain disini?"
"Dulu kan aku juga sekolah disini. Emang salah kalau mampir? " tanya Anin lalu duduk di pinggir lapangan basket. Anin tak begitu peduli bila baju dan celana kantornya menjadi kotor.
"Nggak sih. Tapi kakak lagi nggak sibuk?"
"Kata Aldo, setiap sepulang sekolah kamu selalu menghabiskan waktu di sini terus dan kamu pilih buat cuti seminggu buat nggak kerja dulu. Kamu kenapa?" tanya Anin khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nagai Hikari (Love, Lost, Sacrifice) - END
FanficCinta bukanlah api asmara yang membara Kehangatan angin yang bagai cahaya matahari Oh, cahaya yang panjang, selama nafas berhembus Tanpa perlu ditahan, teruslah engkau bersinar Di malam ketika tak berbintang sekalipun Kau pasti merasakan sesuatu di...