||16|| Wake up sayang

48 0 0
                                    


Hay
KISAH KITA
UDAH BISA DIBACA

Yuk absen dulu jam berapa kalian baca Kisah kita?

***
Meskipun bayi Aqilla masih berupa gumpalan dan jenis kelaminnya belum dapat diketahui karena usia kehamilan baru menginjak enam minggu, Banta tetap memutuskan untuk memberikan penghormatan terakhir dengan menguburkannya di pemakaman umum di desanya. Meski bayi itu belum sempat mengenal dunia, Banta merasa bahwa setiap kehidupan, sekecil apa pun, layak mendapatkan tempat peristirahatan yang layak.

Keputusan ini diambil dengan hati yang berat, namun dalam dirinya, Banta tahu bahwa setiap kehidupan, sekecil apa pun, memiliki arti yang mendalam dan layak dihormati.

Esok paginya, di bawah langit yang masih kelabu, Banta dan Megan berangkat menuju pemakaman umum di desanya. Hanya mereka berdua, tanpa ada orang lain yang menemani. Mereka memilih waktu yang tenang, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah duka yang mereka rasakan. Malam sebelumnya, mereka sepakat bahwa melakukan pemakaman di malam hari bukanlah pilihan yang bijak. Terlalu banyak resiko—baik dari segi emosi yang masih kacau maupun rasa takut yang mungkin timbul dalam gelapnya malam.

Saat tiba di pemakaman, suasana begitu sunyi, seolah alam pun turut merasakan kedukaan mereka. Dengan tangan mereka sendiri, Banta dan Megan menggali liang lahat yang kecil. Tidak ada upacara besar, hanya keheningan yang dipenuhi dengan doa-doa dalam hati. Ketika gumpalan kecil itu diturunkan ke dalam tanah, Banta merasakan campuran antara kesedihan yang mendalam dan kelegaan. Ia merasa sedih karena kehilangan yang begitu besar, namun lega karena ia telah melakukan yang terbaik untuk memberikan perpisahan yang layak.

Setelah menutup liang lahat, Banta menatap gundukan tanah kecil di hadapannya. Dengan suara yang bergetar, ia berbisik, "Beristirahatlah, papa akan mengunjungimu lagi nanti... mungkin dengan mamamu."

Pikirannya melayang pada Aqilla, yang belum mengetahui bahwa bayi kecil mereka kini telah bersemayam di tanah. Harapan Banta hanyalah agar bayi itu bisa menemukan kedamaian, meskipun mereka terpisah dalam dunia yang berbeda.

Megan yang berdiri di samping Banta, tak kuasa menahan air mata yang akhirnya jatuh. Ia menaruh tangan di bahu Banta, memberikan dukungan dalam keheningan.

Matanya berkaca-kaca saat ia berkata dengan suara yang lembut namun penuh emosi, "Qilla, lihat, bayimu sudah mendapatkan tempat yang layak."

Kata-kata itu menggantung di udara, menambah kesedihan yang sudah begitu mendalam di hati mereka. Kesunyian yang mengikuti seolah-olah memberikan ruang bagi perasaan duka yang begitu berat, namun juga penuh dengan cinta dan penghormatan.

Banta tahu bahwa perasaan ini tidak akan mudah hilang, bahwa rasa kehilangan ini akan terus menghantui mereka. Tetapi setidaknya, mereka telah memberikan perpisahan yang layak bagi jiwa yang tak sempat melihat dunia, dan dengan itu, mereka telah mengambil langkah pertama dalam perjalanan panjang untuk menerima kehilangan ini.

"Sudah, kita tidak bisa lama-lama di sini," ujar Megan akhirnya, meski suaranya bergetar sedikit.

Banta mengangguk pelan, menarik napas panjang sebelum berbalik meninggalkan tempat itu. Langkah mereka terasa berat, namun mereka tahu bahwa mereka harus terus berjalan, membawa kenangan ini bersama mereka, dan mencoba menemukan kedamaian di tengah badai yang tengah mereka hadapi.

***

Banta berdiri di samping tempat tidur Aqilla, tangannya gemetar saat ia mencoba meraih tangan wanita itu. Sentuhan dingin dari kulit Aqilla, yang terbungkus oleh berbagai alat medis, membuat hatinya terasa seperti diremas. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menancap dalam-dalam di dadanya, menyakitkan dan tak berujung. Suara monitor detak jantung yang monoton mengisi ruangan, mengingatkannya betapa rapuhnya hidup yang sedang mereka perjuangkan.

Kisah kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang