"Terkadang, tidak semua hal perlu dijelaskan. Biarkan orang berspekulasi, karena apa yang tak terucap seringkali lebih tenang dari kebenaran yang terburu-buru."***
"hana pu ka karat ka mita wanita karier, singeh wate bacut meu langgeh. ma keuh laam uruek ie kueh. jadi, hana pu bangga uronyo na wanita karir" Itu yang Banta dengar kala berhenti sebuah kios untuk mengisi bahan bakar motornya
Jika ditelaah ucapan tersebut terdengar toxic, orang-orang yang bicara begitu terlalu patriarki dengan alasan untuk apa mencari wanita karir, jika suatu saat terjadi pertikaian, mungkin ibunya yang sudah dikuburkan disuruh gali. Jadi, jangan bangga dulu kalau sekarang punya wanita karir sebagai pasangan
Banta hanya diam mendengar ucapan-ucapan mereka yang mulai bergeser ke arah yang tidak disukainya. Ucapan mereka yang terdengar merendahkan perempuan, terutama wanita karir, membuat Banta merasa risih. Ia tahu, meskipun obrolan itu tidak langsung diarahkan kepadanya atau entah untuk siapa, pemikiran seperti itu tak bisa diterima.
Seorang dari mereka tiba-tiba menimpali, "sabab ijieh na peng ro ih, ie kerja keuro, ie usaha keuro. hana yum le ie ru oeh geutanyo." Ya, gimana lagi. Mereka punya penghasilan sendiri, jadi kita kerja keras ini seolah enggak ada harganya lagi di mata mereka.
"jadi, meurasa droeih ka sukses merasa droeih mandiri"
Banta memandang ke arah orang itu sekilas, merasakan desakan di dalam dadanya untuk menegur. Namun, ia memilih menahan diri. Di dalam hatinya, Banta merasa malu. Pemikiran seperti itu, menurutnya, benar-benar cetek.
'Serendah itukah mindset mereka?'pikirnya.
Bukannya kagum pada perempuan yang bisa berdiri sendiri, mereka malah merasa terancam. Seharusnya, tinggal di kampung bukan berarti berpikiran sempit, apalagi sampai merendahkan orang lain. Pemikiran semacam itu sudah seharusnya ditinggalkan. Dunia berubah, begitu pula pandangan terhadap peran perempuan.
Dengan sikap yang tetap tenang, Banta mengabaikan mereka, tidak ingin terlibat lebih jauh dalam pembicaraan yang menurutnya tidak sehat. Ia melirik ke arah pemilik kios yang berdiri di dekatnya.
"Cek, Minyeuk Siploh ribe," katanya datar, meminta pemilik kios untuk mengisi minyak sepuluh ribu.
Pemilik kios segera mengisi tangki motor Banta, sementara obrolan di belakangnya masih berlanjut, meskipun Banta sudah sepenuhnya memutuskan untuk tidak lagi mendengarkan. Baginya, tidak ada gunanya melanjutkan perdebatan dengan orang yang pikirannya tertutup. Yang terpenting adalah ia sendiri tahu apa yang benar, dan bagaimana ia harus bersikap terhadap orang lain, terutama terhadap perempuan.
Banta baru saja hendak melanjutkan perjalanan ketika suara siulan dan ejekan kecil terdengar di belakangnya. Agam dan Andi, yang baru tiba, segera menghampiri sambil memandangnya dengan senyum penuh arti. Mereka, seperti biasa, sudah siap melontarkan candaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah kita
Fiksi UmumKISAH KITA: Harta, Tahta, Suka & Duka Dua Latar Belakang yang Berbeda Meet Teuku Banta Hendrik, seorang lelaki sederhana yang setiap hari bergulat dengan tanah dan keringat. Ia hidup di desa terpencil, mengais rupiah dari bekerja di ladang orang lai...