Cieee, ketahuan nih! Lagi baca cerita kita, ya?
Eh, ada salam dari Bang Banta buat kalian. Katanya, selamat menikmati bacanya!
Jangan lupa kasih vote, ya!
Target 500 votes aja deh gak muluk-muluk***
"Ketika dunia hening, jangan terlena. Itu adalah jeda yang memberi kita ruang untuk merangkul kekuatan dalam menghadapi badai."
***
Ruangan itu terasa begitu sunyi dan mencekam. Aqilla terbaring di tempat tidur, tak mampu menggerakkan kakinya yang patah. Hatinya hancur berkeping-keping, apalagi setelah mengetahui bahwa bayinya telah tiada.
"Kita udah pastiin tempat peristirahatan bayi lo tempat yang bagus," ujar Megan dengan suara bergetar, berusaha menahan tangis yang semakin mendesak keluar.
Bianca yang berada di samping Aqilla, sudah tak bisa lagi menahan isak tangisnya. Hatinya ikut tersayat melihat sahabatnya berada dalam kondisi seperti ini.
"Ini salah gue... Gue yang nggak jaga bayi ini. Walaupun gue belum bisa nerima dia sepenuhnya, tapi ini tetap salah gue," ucap Aqilla dengan suara penuh penyesalan. "Seandainya malam itu gue lebih hati-hati dan nggak keras kepala nolak diantar Banta, semua ini nggak akan terjadi. Gue... gue udah ngebunuh anak gue sendiri."
Tangisan Aqilla menggema dalam ruangan, suaranya pecah menandakan kedalaman kesedihan yang tak tertahankan. Air matanya mengalir tanpa henti, menetes satu per satu, seolah membawa setiap beban yang selama ini ia pendam. Megan dan Bianca berada di sampingnya, memeluk erat tubuh Aqilla yang lemah, mencoba memberikan kehangatan di tengah kedinginan yang menyelimuti hati sahabat mereka. Tak satu pun dari mereka yang berani mengucapkan sepatah kata; mereka tahu bahwa dalam momen seperti ini, kata-kata tak lagi cukup. Hanya kehadiran dan keheningan yang mampu menemani Aqilla dalam kesedihan yang mendalam ini.
Tangisan Aqilla perlahan mereda, hanya menyisakan isakan kecil yang sesekali terdengar. Ia mengangkat wajahnya yang masih basah oleh air mata dan bertanya dengan suara pelan, "Daddy sama Mommy tahu keadaan gue?"
Bianca mengangguk pelan, sementara Megan terdiam, terlihat sedang berpikir. Setelah beberapa detik, Megan akhirnya menjawab, "Om Barra nggak respon," ucapnya, suaranya datar. "Tapi Tante nggak bisa ke sini, bokap lo nggak kasih izin."
Aqilla terkekeh miris, suaranya lebih mirip dengan jeritan putus asa yang terpendam daripada sebuah tawa. Tidak ada yang lucu dalam situasi ini, Bianca dan Megan bisa merasakan setiap kepedihan yang tersembunyi di balik tawa itu.
"Jadi, ternyata Daddy benar-benar serius ngusir gue dari rumah, ya? Bahkan sekarang, waktu gue sekarat pun, mereka nggak peduli," ucap Aqilla, suaranya bergetar, mencerminkan rasa kecewa yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah kita
General FictionKISAH KITA: Harta, Tahta, Suka & Duka Dua Latar Belakang yang Berbeda Meet Teuku Banta Hendrik, seorang lelaki sederhana yang setiap hari bergulat dengan tanah dan keringat. Ia hidup di desa terpencil, mengais rupiah dari bekerja di ladang orang lai...